Sudahkah Menjadi Pendengar yang Baik?

Sore ini, 17 September 2022 batin saya kembali tersentak ketika Bu Winda sahabat Bu Novi yang tinggal di Belanda ketika menyampaikan materi tentang Couching. Mengapa tersentak, karena selama ini sebagai guru sulit menjadi pendengar yang baik bagi anak-anak didik kita. Kita cenderung memberi nasehat, bahkan ketika ada siswa yang tidak mendengarkan dan cuek kita menjadi marah.

Menjadi pendengar yang baik ternyata ada tingkatannya yaitu menyimak secara internal (level 1), menyimak dengan fokus (level 2) dan menyimak secara global (level 3). Dari materi ini saya tersentak kembali, ternyata saya sering menjadi pendengar  pada level 1. Ketika di kelas seringkali saya mendengarkan apa yang disampaikan anak didik, namun saya masih berfokus pada pikiran saya, fokus pada solusi apa yang akan diberikan bahkan saya terjebak untuk segera mungkin memberi nasehat atas permasalahan yang dihadapi anak didik kita. Sepertinya kita sudah menjadi pendengar yang baik dengan cara-cara ini, ternyata kita masih berada pada level 1. Dapat dibayangkan ketika ada anak yang sedang berbicara, guru justru acuh tak acuh, atau hanya mendengarkan sambil lalu, sedangkan anak sebenarnya sangat ingin didengarkan. Jangan salahkan ketika kita sedang berbicara, banyak anak yang cuek dan tidak mendengarkan kita. Meskipun maupun mendengarkan, mungkin karena keterpaksaan, atau karena ada ancaman atau peringatan untuk mendengarkan.

Menjadi guru yang baik minimal sudah menjadi pendengar pada level 2 yaitu fokus pada siapa yang sedang berbicara. Fokus pada permasalahan yang dihadapi dan menaruh perhatian penuh. Pada level ini, guru hendaknya memahami setiap kata yang sedang disampaikan, menaruh perhatian, menangkap emosi yang sedang terjadi yang mungkin saja keluar dari gerak mimik wajah, sinar matanya ataupun bahasa tubuh lainnya. Ketika kita mampu menaruh perhatian penuh dan menangkap kesan emosi yang terjadi sehingga timbul empati kita kepada anak didik yang sedang ingin didengarkan.  Perubahan nada bicara dari anak didik harus mampu kita tangkap sehingga kita bisa mengetahui bagaimana perasaan dan emosi yang menyertai pembicaraan tersebut.  Ketika kita sebagai pendengar pada level 2 ini harus mampu berempati, mengklarifikasi permasalahan yang sedang diutarakan sehingga pada level ini guru harus mampu menjadi pendengar dengan kecerdasan emosional.

Ketika guru sudah mampu menjadi pendengar pada level 2, maka apa kemampuan mendengarkan ini akan ditangkap oleh anak didik sehingga mereka akan percaya pada guru. Trust guru akan terbangun dengan sendirinya, sehingga kedekatan guru dengan siswa akan meningkat. Sudah berapa sering dalam seminggu ini mampu menjadi pendengar pada kualitas level 2?

Kualitas pendengar yang tertinggi adalah pendengar secara global. Dalam level ini, pendengar mampu melampui kontekstual pembicara dan pendengar, bahkan mampu mempertimbangkan kontekstual lingkungan, dan makna yang tersirat serta menggunakan intuisi ketika memberikan pertanyaan pemantik selanjutnya agar mengoptimalkan potensi yang ada sehingga anak didik mampu membuat perencanaan dan akhirnya membuat keputusan. Semoga kita bisa menjadi pendengar yang baik. selamat mencoba terus.

 

 

 

 

4 thoughts on “Sudahkah Menjadi Pendengar yang Baik?”

  1. Sudah hampir 32 tahun saya menjadi guru. Selama itu saya sering mendengarkan curhatan atau keluhan anak-anak. Saya tidak tahu apakah saya mendengarkan suara anak itu baru level 1, 2, atau 3. Yang saya tahu, anak mampu bercerita dan terbuka dengan saya. Ada beberapa peristiwa yang saya ingat, salah satunya ada anak yang mencari saya dan minta waktu saya untuk berbicara secara pribadi. Anak saya ajak ke kantor guru di unit 2 dan kami memilih duduk di kursi agak belakang. Awal mulanya anak itu merasa sedih dan kecewa karena ibunya tidak menghargai sebagai anak. Dia merasa selalu diremehkan kemampuannya dan selalu dibandingkan dengan anak tetangganya yang mempunyai banyak prestasi. (Lagu dibanding-bandingke/disaing-saingke nih🤭)
    Dia mempunyai hobi bermain sepak bola. Dan saat itu terpilih sebagai pemain inti klub sepak bola. Setiap berpamitan mau berlatih, ibunya selalu mengejek: dolanan bal-balan apa bisa wareg, apa bisa dadi pinter? Saat curhat itu anak sampai menangis. Dia merasa kalau ibunya itu tidak menyayanginya, bahkan sempat keluar ucapan dari mulut ibunya bahwa dia merasa rugi punya anak seperti itu.
    Anak saya suruh menangis sampai puas meskipun dia laki-laki. Biar lega perasaannya. Karena menurut saya, bukan hal yang tabu bagi seorang laki-laki untuk menangis. (Menangislah kalau itu dapat menyembuhkan sakit hatimu, tapi jangan menangis untuk hal yang sama. Keluarlah dari tangis itu dan hiduplah dalam-dalam udara realita 😭🤭).
    Kemudian anak itu minta tolong saya untuk meminjami uang karena ingin membeli sepatu sepak bola. Syarat untuk berlatih di klub harus memakai sepatu bola. Selama ini dia berlatih memakai sepatu biasa. Dia akan mengembalikan uang saya dengan cara mengangsur setiap hari dari sisa uang sakunya. Saya katakan pada anak itu untuk mengangsur setiap minggu saja, saat saya mengajar di kelasnya. Bukannya saya pelit atau apa, tapi saya ingin melihat kesungguhan dan kejujuran anak itu. Sambil sedikit saya nasihati agar tetap belajar. Hobi jalan dan nilai akademik juga tetap bagus. Pada minggu berikutnya ketika saya mengajar di kelasnya, anak itu mendekati saya dan menyerahkan uang sepuluh ribu rupiah sebagai angsuran pinjamannya. Minggu berikutnya memberikan lima belas ribu rupiah. Berikutnya dia mengangsur lagi. Ketika pada angsuran yang keempat, saya sudah melihat kesungguhan dan kejujuran anak itu. Uang angsuran darinya saya ambil dari tas kemudian saya serahkan kembali ke anak itu. Ini uang yang kamu kumpulkan, saya berikan kepadamu, pakailah untuk membeli kaos atau seragam sepak bolamu. Saya sudah melihat kesungguhanmu. Saya juga ingin melihat prestasi sepak bolamu dan juga akademikmu. Anak itu berkaca-kaca, ingin menangis tapi saya ejek: cowok koq cengeng. Sambil tertawa dan anak itu juga tertawa. Semoga tercapai apa yang kamu cita-citakan, Nak. Sayangnya saya tidak ada komunikasi lagi dengan anak tersebut.
    Semoga Tuhan selalu memberkati yang terbaik untuk anak-anakku yang hebat.🙏🙏

  2. Mantap mas Di… Ada berapa level ya mas di, jika Iqro’ ada jilid 1-10… Saya juga sedang melatih diri saya untuk mendengarkan keluh kesah bpk/ibu guru swasta, pertalit bbm mundak, inflasi harga barang dan rupiah kejar kejaran,… Padahal awal th ajaran baru kemarin perjam gaji guru sdh mencoba menaikan dg tujuan keperuntukan sedikit membantu uang transportasi bpk/ibu guru … Tp bulan september naik lagi BBMnya, saya harus mendengarkan lagi … Bulan besok keluh kesahnya apa lagi? Ini blm orang tua /wali murid, biasanya keluh kesahnya blm bisa bayar uang sekolah, uang praktik dan uang lainnya… Sering menerima tamu dirumah isinya mendengarkan permasalahan permasalahan klrg, ada istri jd,tkw tdk pulang, anak lg sesot minta ini itu tdk dituruti dll… Ternyata jd Guru itu harus meningkatkan level pendengaran setelah level IQRO’ jilid 1-10 selesai dibaca …he he he …

    Salam GSM

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *