“Terima kasih SMK Negeri 11 Semarang yang telah memberi kesemaptan buat semua siswanya untuk terus berkarya. Bangga rasanya menjadi bagian dari keluarga SMK Negeri 11 Semarang. Seringkali orang tua belum bisa melihat akan kemampuan anaknya tetapi sekolah melihat potensi yang besar dalam diri siswanya. Lebih baik sederhana tetapi mendalam daripada luas tapi dangkal”. Sebuah ungkapan dari orang tua siswa Benedictus yang diposting di status whatsappnya yang terbaca tadi malam. Tulisan ini sebagai ungkapan yang tulus dari orang tua ketika melihat anaknya mendapatkan perhatian dari sekolah, dari pendidik yang berusaha memahami setiap karakter yang dimiliki anak didiknya. Tulisan ini bisa juga bukan sekedar ungkapan namun justru harapan orang tua terhadap pendidik untuk lebih memahami lagi karakter setiap anak didik yang berbeda-beda. Sebuah harapan yang patut kita realisasikan sebagai wujud dari penerapan pembelajaran berdiferensiasi.
Sebelum tulisan refleksi orang tua Benedictus tersebut muncul, saya bersama Pak Ronald dan Pak Taufiq mengumpulkan beberapa siswa kelas X yang memiliki minat untuk project riil pembuatan asset digital modeling 3D yang akan dipublish di market place. Benedictus salah satu siswa yang memiliki minat untuk mengikuti project tersebut. Malam-malam saya berkomunikasi dengan orang tua Benedictus melalui whatsapp. “Ben, mulai besok sudah masuk project riil pembuatan asset digital modeling 3D tema natal dan tahun baru. Apakah sudah punya laptop?”, tanya saya mengawali pembicaraan melalui whatsapp. “Maaf belum Pak, sedang diusahakan. Kalau belum jadi bagaimana Pak?”, ungkap orang tua Ben. “Ya tetap ikut, pakai komputer sekolah dulu, jika sudah punya akan lebih optimal”, penjelasan lebih lanjut saya sampaikan. “Baik Pak. Maaf sebelumnya. Saya mau bertanya apa yang menjadi pertimbangan sekolah memilih Ben Pak? Karena saya lihat Ben belum terlalu mahir Pak”, tanya orang tua Ben karena ingin tahu lebih lanjut. Kekhawatiran orang tua pasti terjadi ketika anaknya harus mengikuti kegiatan project riil, namun menurut pandangan orang tua, anak tersebut belum mahir. “Karena Ben lebih fokus ke animasi 3D. Kemampuan gambarnya kurang, tetapi ada potensi besar di 3D”, jawab saya memberikan penjelasan untuk menepis kekhawatiran orang tua Ben.
Selama ini kita sering kali terjebak dengan cara pandang yang lebih fokus pada kekurangan seseorang. Jika melihat ada sebuah satu titik di atas kertas putih yang lebar, sering kali kita akan lebih fokus pada titik noda tersebut. Kita lupa bahwa masih banyak warna putih yang lebih mendominasi. Cara pandang inilah yang perlu kita ubah untuk melihat anak didik kita secara lebih bijaksana. Ketika kita fokus melihat kekurangan Benedictus yaitu kurang bisa menggambar, maka kita tidak akan tahu potensi lain yang dimiliki Benedictus yang dapat dikembangkan dan dilejitkan. Namun ketika melihat kekurangan Benedictus dan beralih melihat kelebihan yang dimiliki, maka akan ditemukan potensi mana yang dapat dikembangkan lebih lanjut. Benedictus memiliki potensi di bidang pembuatan cerita dan storytelling, namun ia juga memiliki ketekunan ketika berhadapan dengan komputer atau digitalisasasi. Dari beberapa kali mengikuti diklat tentang modeling 3D, Benedictus mampu membuat modeling 3D secara baik.
Dari karakteristik anak didik yang berbeda-beda tersebut, maka perlu diterapkan pembelajaran berdiferensiasi. Pembelajaran diferensiasi tidak hanya melihat tipe belajar anak didiknya saja, namun bisa dikembangkan diferensiasi proses dan produknya. Project riil yang diikuti oleh beberapa siswa tersebut bagian dari pembelajaran diferensiasi, karena beberapa siswa tersebut memiliki passion, bakat dan talenta dalam pembuatan modeling 3D, sehingga dalam pembelajarannya tidak harus diseragamkan dengan pembelajaran animasi 2D. Ketika mereka tahu bahwa dirinya lemah di animasi 2D, maka mereka diberikan kesempatan untuk mengembangkan potensinya di animasi 3D. Inilah yang kami terapkan dalam pembelajaran diferensiasi. “Sederhana tapi mendalam, daripada luas tapi cethek”.