Refleksi tentang Pembelajaran Sosial Emosional

Mendidik pikiran tanpa mendidik hati bukanlah pendidikan sama sekali (Aristoteles). Ungkapan ini rasa-rasanya banyak miripnya dengan kondisi yang dialami oleh murid-murid saat ini. Kasus bullying, kasus tindak kekerasan, bahkan kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa sebagai bukti betapa rapuhnya hati para murid. Generasi strobery benar-benar memperlihatkan betapa rapuhnya kesehatan mental para murid. Kalau kita lihat lebih mendalam dari apa yang terjadi dalam dunia pendidikan kita, apakah hal ini tidak imbangnya antara mendidik pikiran dan mendidik hati? Kalau kita kembali tengok pada masa lalu, bahkan orang tua saat inipun masih sering menanyakan ketika rapport dibagikan. “Rangking berapa anak saya?”, ini pertanyaan yang masih sering ditanyakan oleh orang tua. Latahnya pertanyaan ini menggambarkan bahwa sudah berpuluh-puluh tahun pendidikan kita lebih banyak mengejar pada persaingan antara murid sehingga endingnya berupa ranking kelas. Prestasi ini lebih berfokus pada pengetahuan akademik, sedangkan pembentukan karakter murid menjadi terabaikan.  Bersyukur saya mengenal pembelajaran sosial emosional sudah sejak 2019 sebelum kurikulum merdeka ini diberlakukan oleh Kemendikbudristek Republik Indonesia. Pada saat ini saya bertemu langsung dengan Founder dan Cofounder Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), Bapak Muhammad Nur Rizal dan Ibu Novi dalam acara workshop GSM  yang dikunjungi oleh Gubernur Jawa Tengah, Pak Ganjar Pranowo saat itu. Workshop yang dilakukan selama 3 hari terasa begitu cepat berlalu, hal tersebut menunjukkan bahwa workshop tersebut sangat menarik untuk diikuti. Kegiatan workshop tidak hanya memberikan materi perubahan mindsheet tentang pendidikan sesuai filosofi Ki Hajar Dewantara, namun langsung praktik bagaimana membangun budaya dialektika dengan murid. Pertama kali yang saya peroleh adalah kegiatan Circle time. Setiap peserta duduk secara melingkar dan setiap peserta mendapatkan kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya dan yang lainnya mendengarkan. Semua peserta mendapatkan bagian mengungkapkan perasaan tersebut. Dalam perjalanannya, circle time tersebut salah satu bagian dari kegiatan pembelajaran sosial emosional. Morning sharring yakni kegiatan sharring di pagi hari mengawali kegiatan workshop juga menambah perbendaharaan saya bagaimana membangun budaya dialektika dan membangun keterbukaan yang bisa diterapkan nantinya di kelas. Berjalannya waktu, saya semakin memperdalam materi  tentang pembelajaran sosial emosi melalui workshop baik secara daring maupun luring yang diselenggarakan oleh Gerakan Sekolah Menyenangkan dengan narasumber Cofounder GSM yaitu Bu Novi. Yang masih saya ingat sampai saat ini dan terus diterapkan adalah materi Restorasi Justice dan Coaching dengan narasumber dari Coach yang berada di Belanda maupun Coach Pramudianto yang menambah amunisi saya ketika menerapkan pembelajaran sosial emosional. Materi restorasi justice secara konten sama dengan materi pada modul yang telah saya pelajari sebelumnya yaitu budaya positif melalui segitiga restitusi. Ketika mempelajari materi segitiga resitusi yang meliputi menstabilkan identitas, memvalidasi tindakan yang salah dan menanyakan keyakinan kelas sangat erat dengan bagaimana menyelesaikan suatu masalah murid dengan cara restorasi justice. Guru bukan lagi menghakimi, guru bukan lagi menasehati, guru bukan lagi memarahi, namun melakukan pertanyaan-pertanyaan yang powerfull sehingga mengarahkan murid untuk mencari solusi sendiri dan mau melakukan dengan kesadaran dirinya. Materi ini sangat erat dengan ilmu coaching yang saya pelajari sebelumnya melalui kegiatan-kegiatan yang difasilitasi oleh Gerakan Sekolah Menyenangkan.

Bersyukur saya belajar tentang pembelajaran sosial emosinal sehingga saya semakin memperdalam dan memperluas pengetahuan tentang bagaimana menerapkan pembelajaran yang berfokus pada pengembangan kompetensi sosial dan pengelolaan emosi. Sebelum mempelajari modul ini, saya sudah mempelajari tentang pembelajaran sosial dan emosional, bahkan sudah banyak melakukan praktik tersebut. Setelah mempelajarinya saya semakin tertarik untuk melaksanakan pembelajaran sosial emosi secara kontinyu.

Berkaitan dengan kebutuhan belajar dan lingkungan yang aman dan nyaman untuk memfasilitasi seluruh individu di sekolah agar dapat meningkatkan kompetensi akademik maupun kesejahteraan psikologis (well-being), Ada tiga hal mendasar dan penting yang saya pelajari yaitu: 1) perlunya penciptaan lingkungan belajar yang tepat serta terkoordinasi untuk meningkatkan pembelajaran akademik, sosial, dan emosional semua murid; 2) Kemitraan/kerjasama sekolah-keluarga-komunitas untuk membentuk lingkungan belajar dan pengalaman yang bercirikan hubungan/relasi yang saling mempercayai dan berkolaborasi; 3) Kurikulum dan pembelajaran yang jelas dan bermakna, dan evaluasi secara berkala. 

Berkaitan dengan tiga hal yang penting tersebut, saya memiliki tekad untuk melakukan perubahan yang akan saya terapkan di  kelas dan sekolah. Untuk murid-murid, saya akan terus melakukan pembelajaran sosial emosi dengan menerapkan berbagai hal antara lain: proses mindfulnees di setiap awal pembelajaran, melalukan morning sharring  atau circle time di setiap pembelajaran, melakukan kegiatan yang menambah daya konsentrasi atau mengurangi kepenatan melalui brain game atau game-game lainnya, memberikan tantangan di luar kelas berupa project sosial untuk mengasah kepekaan empati, kolaborasi, keterampilan berelasi dan pengambilan keputusan yang bertanggungjawab.  Keteladanan dalam pembelajaran akan terus saya tunjukkan sehingga waktu dan hasil yang akan menjawabnya. Praktik pembelajaran sosial emosi yang dilaukan akan saya share melalui tulisan-tulisan yang akan terus saya posting di http://diyarko.com. Dalam event-event tertentu akan saya sharringkan materi tentang pembelajaran sosial emosi ini kepada teman sejawat.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *