Olah rasa, olah pikir dan olah laku merupakan tiga hal yang penting dalam pembentukan karakter. Perasaan seseorang akan tumpul ketika tidak sering diajak olah rasa melalui stimulus tertentu sebagai bahan diskusi. Sudah saatnya anak didik tidak lagi banyak diberikan nasehat, namun lebih efektif dengan pertanyaan pemantik yang memberdayakan agar mereka mencapai kesadaran diri. Melalui stimulus tersebut dapat pula sebagai bahan untuk olah pikir, memantik daya pikir peserta didik sehingga memunculkan rencana tindakan dan akhirnya melakukan proses tindakan atau olah laku. Ketiga-tiganya merupakan satu kesatuan saling berkesinambungan. Budaya dialektika inilah yang seharusnya banyak dilakukan oleh seorang guru, bukan sekedar menasehati. Di era saat ini, artificial intelegensi mendominasi bahkan dapat menggantikan pekerjaan rutin manusia, tentu memberikan dampak yang luar biasa sehingga mempermudah pekerjaan manusia, namun di sisi lain perkembangan tersebut juga memberikan dampak negatif. Kepekaan terhadap lingkungan dan empati semakin berkurang, beriringnya sifat manusia yang semakin hedonis karena terbawa sifat serba cepat dan instan. Kehadiran guru di kelas yang dibutuhkan peserta didik bukan lagi sekedar mengisi materi dan menjejali tugas-tugas yang belum tentu menjadi kebutuhan siswa saat ini, namun kehadirannya dibutuhkan untuk mengisi jiwa peserta didik supaya tidak tumpul rasanya, agar lebih peka terhadap dirinya dan lingkungannya dan menjadi problem solver yang handal.
Olah rasa merupakan salah satu cara yang hendaknya dilakukan secara kontinyu untuk mempertajam kepekaan peserta didik. Inilah yang sering saya lakukan, meskipun hanya lewat group whatsaap. Stimulus yang digunakan bermacam-macam, dari hal-hal yang paling sederhana. Bangkai burungpun bisa digunakan untuk stimulus olahrasa tersebut.
Malam-malam usai Tarawih, saya menemukan gambar yang unik yaitu di sebuah sarang terdapat beberapa tulang belulang anak burung. Gambar tersebut menarik untuk pemantik agar peserta didik memiliki kepekaan rasa. Segera saya kirim ke group whatsapp kelas X Animasi di mana saya mengampu mata pelajaran dasar-dasar animasi.
“Gambar di atas merupakan tulang belulang dari anak-anak burung yang mati kelaparan mungkin karena induknya tidak bisa memberi makan. Dari ilustrasi tersebut apa yang kalian pikirkan?”, tanya saya ke group tersebut. Beberapa menit kemudian muncullah tanggapan salah satu peserta didik memberikan respon. Banyak cara pandang peserta didik dalam menanggapi gambar tersebut, sehingga memperkaya sudut pandang dan tidak ada salah benar, karena ini bukan soal yang sering kita berikan selama ini dalam bentuk ulangan. Ketika hanya sedikit yang menanggapi kita tidak usah berkecil hati, biarkan saja dan berlangsung secara alamiah. Saya punya keyakinan, meskipun beberapa siswa yang menanggapi, pasti ada siswa lain yang membacanya dan akan membawa dampak terhadap kesadaran diri.
“Pentingnya tanggung jawab. Anak burung tersebut mati dikarenakan induknya yang kurang akan tanggung jawabnya sebagai induk. Dan pesan ini sebenarnya sangat menusuk diri saya karena saya juga masih sering meninggalkan tanggung jawab saya sendiri”, ungkap Iqbal. Sudut pandang siswa ini melihat dari aspek apa yang dilihat dan ilustrasi pada tulisan saya yang menyatakan bahwa anak burung mati karena kelaparan. Ia belum berpikir lebih jauh lagi mengapa sampai induknya tidak memberi makan anak-anaknya. Berbeda dengan tanggapan Aditya berikut ini.
“Kasihan pak anak burungnya tidak mendapatkan asupan dari induknya dan mati kelaparan. Tapi lebih kasihan lagi induknya, induk tidak mungkin meninggalkan anaknya begitu saja mungkin saja induknya juga mengalami musibah di perjalanan pulang pasti induknya sangat mengkhawatirkan anaknya. Lebih takutnya induknya ternyata di pelihara manusia di dalam kurungan pasti induk itu akan menangis setiap harinya”, ungkap Aditya. Pemikiran Aditya ini sangat menyayat hati dan sudah berpikir sejauh itu.
“Kadang kala kita menangkap si induk burung dan dikurung. Kita bahkan menikmati suaranya berkicau terbang ke sana kemari. Di kira suara kebahagiaan, namun sebenarnya suara kegelisahan dari sang induk. Maafkan anakku, saya gak bisa berbuat apa-apa, tidak bisa memberi makan kalian”, tambah saya usai peserta didik menanggapi.
Ketika saya menanyakan kepada Aditya tentang apa yang akan dilakukan selanjutnya setelah mencermati gambar tersebut, jawaban Aditya di luar dugaan. Aditya memiliki keinginan untuk melepaskan burungnya yang ada di rumah. Sebuah kesadaran diri yang luar biasa. Tentu rencana ini dilandasi dengan perasaan cinta kasih yang universal. Dalam bahasa Pali rasa cinta kasih ini disebut meta atau dalam bahasa sanskerta disebut maitri.
Ungkapan Aditya ini apabila dicermati lebih mendalam akan berdampak pada pembaca dan memantik rasa yang lebih halus sehingga akan memiliki perasaan yang lebih tajam untuk mencintai alam semesta ini. Burung pun juga mahkluk yang memiliki hak untuk dikasihani. Sabbe satta bavantu sukhitata, semoga semua mahkluk hidup berbahagia.