Menambah Simpul GSM di KKG Gugus Plangkowati Banyumanik

Usai kegiatan sharing tentang perubahan mindset dengan guru-guru di SD Negeri Gedawang 01 pada bulan Juli 2022 yang lalu, ternyata kegiatan tersebut dilirik oleh Kelompok Kerja Guru Gugus Plangkowati Kecamatan Banyumanik.  Rabu, 7 September 2022, di SD Negeri Pudak Payung 01 Kecamatan Banyumanik, akhirnya bisa terlaksana kegiatan sharing bersama 75 guru di gugus tersebut.

Kali ini saya mengambil tema Perubahan Mindset Arang-Arang Pendidikan. Mengapa para guru ini disebut sebagai arang-arang pendidikan, karena ketika arang-arang diberikan api, maka api akan semakin membesar ketika arang-arang tersebut terus ditambah. Secara filosofis, ketika para guru berkumpul dengan kekuatan kecerdasan kolektifnya dalam wadah sebuah komunitas belajar, maka di komunitas tersebut terjadi saling asih, asah, asuh. Semangat untuk belajar akan semakin berkobar sehingga diharapkan akan semakin besar nilai kebermanfaatan untuk pendidikan ini.

Di awal sharring saya pantik dengan berita tentang kejadian penganiayaan hingga menyebabkan kematian di sebuah lembaga pendidikan yang di dalamnya terjadi budaya senioritas. Saya paparkan pula tentang ungkapan salah satu siswa kelas XI Animasi SMK N 11 Semarang yang sebelumnya pernah mengenyam pendidikan di lembaga pendidikan tersebut selama 1,5 tahun dan akhirnya keluar. “Tingkatan yang ada di pondok tersebut adalah kelas 1 SMP sampai kelas 1 SMA itu anggota yang diasuh oleh kakak kelasnya yang kelas 2 SMA (pembina). Setiap peraturan yang diterapkan pondok harus dipatuhi. Dan yang membuat peraturan adalah ustadnya. Ustad adalah santri yang telah lulus dan wajib mengabdi selama 1 tahun. Jadi kalau ada adik asuh yang melanggar aturan, yang kena hukum itu pengasuhnya atau kakak kelas yang kelas 2 SMA, biasanya hukuman yang diberikan ustad pada pengasuh berupa fisik dan tidak jarang menggunakan senjata seperti pipa, kayu, selang dan lain-lain. Setelah pengasuh menerima hukuman biasanya membalaskan dendam pada adik asuhnya berupa hukuman fisik dan biasanya juga menggunakan senjata. Kalau kita membalas saat dipukul, hukuman yang diberikan adalah dikeluarkan dari pondok karena berani melawan seniornya. Dan selama saya pondok  tersebut sudah ada 2 teman saya yang meninggal karena senioritas, dan juga biasanya keluarga korban itu disuruh menutup nutupi kejadian tersebut baru kali ini terpublish karna langsung ditangani oleh pengacara Hot Man Paris”, ungkap anak didik saya yang pernah belajar di pondok tersebut.  Anak tersebut juga mengalami tindak kekerasan di saat mengikuti kegiatan pendidikan tersebut. “Saya sendiri juga pernah yang namanya dipukul menggunakan besi hingga bengkok, tidak jarang dapat luka lebab di tubuh saya. Memang tidak semua, tapi 90% seperti itu, karena itu merupakan didikan turun temurun, adik kelasnya mencontoh kakak kelasnya”, ungkap Shafwan.  Saya memiliki keyakinan bahwa di lembaga pendidikan tersebut tidak mengajarkan kekerasan, namun senioritas tersebut yang justru menjadi budaya turun-temurun. Alih-alih untuk menegakkan peraturan, namun justru terjadi tindak kekerasan.

Para guru saya ajak untuk berdiskusi. Dari pantikan berita tersebut, apa yang dirasakan, apa yang dipikirkan dan apa yang akan dilakukan.  Para pendidik tentu saja merasa sedih dengan kejadian tersebut, ungkap salah satu peserta di kegiatan KKG tersebut. Berharap tidak akan terjadi di dunia pendidikan lainnya. Mengapa hal ini terjadi?, pertanyaan saya lanjutkan.

“Pendidikan kita selalu mempercayai otak reptil yang mampu mengubah perilaku. Pendidikan kita memberikan ruang dan porsi besar pada penciptaan disiplin melalui rasa takut, ancaman dan hukuman, yang dipercaya mampu mengubah perilaku. Lupa membangunnya dengan cara kesadaran diri”, ungkap saya selanjutnya untuk menjawab mengapa terjadi kondisi seperti itu.  Dari sinilah, para guru peserta KKG Gugus Plangkowati ini saya ajak untuk berdiskusi tentang bagaimana teori otak. Ada salah satu otak yang namanya otak reptil yang berfungsi mengatur gerak refleks dan keseimbangan pada tubuh manusia. Otak inilah yang memerintahkan kitauntuk bergerak jika terhadi bahaya ataupun melindungi kita dari bahaya fisik. Otak reptik akan aktif apabila orang merasa takut, stres, terancam marah atau saat lelaj. Pada saat otak reptil aktif, orang tidak dapat berpikir dan yang berperan adalan insting. Jadi apa yang terjadi ketika anak-anak kita mendapatkan tekanan dan acaman? Ada dua kemungkinan yang terjadi yaitu berontak ketika berani dan menghindar ketika takut. Jadi wajar ketika di rumah anak-anak sering dimarahi, anak kita semakin bebal dan akan mencari kebahagiaan di luar. Namun sayangnya, alih-alih untuk menegakkan aturan, justru dengan tekanan, ancaman, point-point pelanggaran yang ditonjolkan yang sering dilakukan di dunia persekolahan. Wajar, ketika yang terjadi justru pelanggaran-pelanggaran yang muncul.

Selanjutnya saya paparkan juga tentang otak pada bagian sistem limbik yang berperan dalam pembentukan tingkah laku emosi. Ketika sistem limbik ini mendapatkan rangsangan secara baik akan muncul hormon kebahagiaan yakni dopamin, oksitosin, serotonin, endofin.  Hormon dopamin, akan mengaktifkan keinginan belajar, dan memotivasi menemukan tujuan dan mimpinya. Hormon oksitosin akan memunculkan kepercayaan dan membangun hubungan. Hormon ini dipicu melalui kalimat positif. Hormon serotonin membuat seseorang memiliki perasaan penting. Hormon endofin akan memunculkan eforia untuk mengurangi kecemasan. Namun apakah ekosistem sekolah kita sudah mampu membuat munculnya hormon kebahagiaan? Sudahkah  kita lebih banyak tantangan yang memicu hormon dopamin sehingga siswa memiliki rasa ingin tahu dan ingn belajar untuk mencapai tujuan dan impiannya? Sudah kita sebagai pendidikan memberikan ekosistem sehingga memicu hormon oksitosin sehingga siswa percaya diri dan mampu mebangun hubungan? Sudahkah kita sebagai pendidik memberikan tantangan sosial yang memicu hormon serotonin sehingga apa yang dilakukan anak didik kita memiliki kebermaknaan dalam hidupnya. Sudahkah kita sebagai pendidikan memberikan rasa aman, rasa senang sehingga memicu hormon endofin sehingga memunculkan eforia untuk mengurangi kecemasan? Pertanyaan ini sebagai pemantik agar para guru berefleksi sejenak tentang hal-hal yang sudah dilakukan selama ini apakah sudah memicu hormon kebahagiaan pada anak didiknya.

Diskusi selanjutnya saya paparkan tentang neo cortex yang hanya dimiliki oleh mansua sebagai pusat pikiran rasional, sehingga menjadi logis, analitis dan membuat keputusan secara baik. Sayangnya neo cortex ini akan berkembang baik ketika sistem limbik sebagai penghasil hormon kebahagiaan berkembang dengan baik.  Wajar ketika perundungan masih banyak terjadi di sekolah berdampak pada rendahnya penalaran. Wajar ketika skor PISA kita masih pada urutan bawah di skala internasional dan ini sebanding dengan tingginya angka perundungan di dunia pendidikan.

Realita yang ada  bahwa kita saat ini sering berfokus pada memberikan konten pengetahuan,  sedangkan memberikan ruang-ruang bagi siswa untuk belajar mengambil keputusan, empati, mengasah kemampuan sosial dan penalaran  masih belum menjadi perhatian, padahal kemampuan yang dibutuhkan di era saat ini bergeser pada pemecahan masalah, penalaran dan sosial.

Di sesi akhir, para guru di KKG ini saya ajak berdiskusi tentang Social Emotional Learning dengan beberapa contoh penerapan di sekolah. Inilah kegiatan  memperkuat dan menambah simpul GSM di KKG Gugus Plangkowati. Dengan harapan simpul-simpul ini akan bertambah pada gugus-gugus lainnya, sehingga mindset tentang pendidikan yang memanusiakan dan memerdekakan anak didik kita semakin menyebar luas. Salam GSM, berubah, berbagi, berkolaborasi.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *