Sore ini, 6 Januari 2023 sambil menunggu hujan reda kami bertiga ngobrol di selasar gedung animax. Obrolan yang awalannya menyangkut tentang loyalitas tegak lurus seorang guru yang sejatinya berhamba pada peserta didik. Di tengah obrolan tersebut, Bu Desyana menanyakan tentang seperti apa “me time” saya.
Pertanyaan ini menggelitik untuk direnungkan lebih mendalam, tentang kapan dan seperti apa “me time”. Istilah “me time” memiliki makna waktu untuk diriku sendiri yang lebih mengarah kapan dan bagaimana saya memanfaatkan waktu tersebut untuk memperoleh kebahagiaan untuk diriku sendiri. Dari renungan ini justru saya berselancar ke teori stoikisme, “temukan kebahagiaan pada dirimu sendiri”. Kebahagiaan yang sejati bukan diperoleh dari orang lain.
Kembali pada pertanyaan awal, seperti apa “me time”? Dari hasil perenungan lebih lanjut, setiap saat waktu yang terus berjalan ini sebenarnya adalah “me time”. Mengapa? Karena saya adalah raja, sayalah yang mengendalikan diriku sendiri. Sehingga setiap saat adalah “me time”. Ketika saya memiliki peran sebagai guru dengan waktu kerja formal antara pukul 07.00 sampai dengan 15.30, yang secara umum bekerja untuk melayani anak didik supaya mendapatkan layanan pendidikan yang lebih baik, sebenarnya itu juga “me time”. Nampaknya saya bekerja untuk orang lain, namun jika direnungkan lebih mendalam, semuanya kembali pada diri saya sendiri. Ketika kita mampu membahagiakan orang lain, sebenarnya kita mencapai kebahagiaan diri kita sendiri. Ketika menjadi guru adalah panggilan hati, bukan semata-mata sebuah pekerjaan yang dibayar, maka apa yang kita lakukan semata-mata demi mendidik yang menuntun segala potensi yang dimiliki anak didik sehingga dapat tumbuh, berkembang mencapai versi terbaiknya.
Waktu formal dari pukul 07.00 sampai dengan 15.30 tersebut ternyata tidak cukup untuk melaksanakan tugas sebagai pendidik. Bagi saya, selama tubuh ini masih bisa berpikir dan fisik belum tidur ternyata waktu itu sebenarnya adalah mendidik. Ketika waktu kita bersama keluarga kita, bersama anak-anak kita juga bagian dari proses mendidik.
Dari renungan inilah, saya mengambil kesimpulan bahwa setiap saat adalah “me time”. Entah bekerja, entah bersama keluarga, entah bersama masyarakat, sebenarnya adalah “me time”, karena semuanya akan kembali hasilnya untuk diriku sendiri.
Kadang kala sambil menemani anak di rumah, dan ada karya yang dikirim anak didik saya di group whatsapp dan saya segera memberi respon feedback, itupun bagi saya adalah “me time”. Kebahagiaan yang dirasakan anak didik atas penghargaan baik melalui feedback, unggah karya di status whatsapp itupun bagian dari kebahagiaanku. Itulah “me time”. Apalagi di saat tidur, yang memberi penghargaan bagi tubuh secara fisik terhadap diri diri sendiri, juga “me time”.
Pesan moral dari pembahasan ini, jadikan setiap saat adalah “me time” yang berkualitas. Karena waktu yang sebenarnya adalah saat ini. Waktu kemarin, menjadi sejarah, waktu besok adalah misteri.