“Assalamualaikum pak Diyarko, mohon maaf ganggu malam-malam begini pak. Cuman mau ngabarin aja pak, progressnya Sinar selama kurang dari 3 bulan ini meroket banget. Alhamdulilah”, ungkap Mas Malik dari Keytoto Studio, sambil menunjukkan hasil karya Sinar Tauladan.
Ini adalah karya Sinar Tauladan beberapa minggu ini yang jauh meroket dibandingkan karya-karya sebelumnya. Mas Malik juga mengirimkan hasil karya sebagai perbandingannya.
“Insya Allah setelah ini akan kita coba latih buat animasi/micro interaction untuk setiap 3D nya”, ungkap Mas Malik selanjutnya. “Terima kasih, luar biasa mas”, respon saya kepada mas Malik, sebagai ungkapan terima kasih telah membimbing Sinar Tauladan di tempat magangnya.
Ungkapan dan respon dari industri tersebut mengajarkan kepada kita sebagai pendidik bahwa kompetisi itu penting. Namun kompetisi yang dimaksud adalah kompetisi terhadap pencapaian dirinya sendiri. Sebuah perubahan yang terus meroket atas pencapaian sesuatu yang dibandingkan dengan kondisi sebelumnya itulah yang disebut kompetisi sejatinya, sehingga seseorang akan puas ketika mampu mengalahkan dirinya sendiri. Cara pandang ini memang agak berbeda dengan cara pandang sebelumnya bahwa kompetisi itu membandingkan dengan orang lain dengan standar yang sama. Cara pandang ini yang sering digunakan oleh para pendidik dengan mindset lama, sehingga lahirlah ranking 1, ranking 2, dan seterusnya. Padahal setiap orang memiliki bakat, talenta dan passion yang berbeda-beda, kenapa harus dikompetisikan? Coba dapat dibayangkan seseorang yang memiliki ranking terakhir di suatu kelas, bagaimana beban psikologis yang harus ditanggung. “Orang yang terbiasa ranking pertama saja, memiliki beban psikologi yang berat, karena dirinya juga memiliki kecemasan dan takut apabila rankingnya naik menjadi ranking 2,3,4 dan seterusnya”, ungkap salah seorang kepala sekolah ketika bercerita tentang dirinya. Bahkan tremor pernah dialami, dan mulai sembuh ketika dirinya harus lebih banyak menenangkan diri dan harus menciptakan kebahagiaan dirinya.
Sudah berapa banyak korban dari proses perankingan yang mungkin tidak terlihat secara langsung. Jangan-jangan ketidakpedulian seseorang terhadap orang lain, karena dunia pendidikan lebih mementingkan kompetisi dengan membandingkan seseorang dengan orang lain. Jiwa individualistis semakin berkembang, sehingga empati semakin tumpul. Bisakah kita memberikan kemerdekaan kepada anak didik kita supaya menjadi nomor satu, dan tidak ada nomor 2,3,4 dan seterusnya? Karena setiap anak didik kita, sebenarnya bisa menjadi nomor satu sesuai versi terbaiknya masing-masing.
Ketika Sinar Tauladan dibandingkan karya sekarang dengan karya sebelumnya yang jauh meroket, itu sebenarnya konsep kompetesi yang sejati. Dari proses inilah justru akan memicu Sinar Tauladan untuk berkarya yang lebih baik lagi. Kita sudah diajarkan tentang makna waktu. Orang yang beruntung adalah orang yang hari ini lebih baik daripada hari kemarin. Semoga menginspirasi.