Kembali ke Jati Diri Nusantara

Malam ini saya melihat sebuah postingan video dari Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia di instagram. Video tersebut menurut saya merupakan tamparan keras bagi kita dan sekaligus mengingatkan kepada kita sebagai orang nusantara yang seharusnya kembali kepada jati diri kita. Jangan sampai sedikit-sedikit kita berkiblat pada luar negeri. Dari hal yang paling sederhana saja, kita sudah dengan mudahnya memberikan salam saranghaeyo. Itu artinya, hal paling kecil saja ketika memberikan salam kepada orang lain sudah berkiblat kepada Korea.

Sumber: https://www.instagram.com/reel/C6n1LCLS31u/?igsh=MWU1eTI0aDZxZzc3cg==

Apakah kita memang sudah krisis jati diri, krisis budaya yang sebenarnya memiliki ribuan budaya yang sudah terwariskan di nusantara ini? Pertanyaan ini yang patut kita renungkan kembali. Jangan-jangan krisis kebanggaan pada generasi saat ini karena kurangnya peran kita dalam mewariskan budaya yang dimiliki. Jangan-jangan kita sebagai guru sekaligus orang tua ini tidak mau mewariskan budaya nusantara ini kepada anak cucu kita. Jangan-jangan memang kita sendiri memang sudah tidak memiliki rasa memiliki budaya dan jati diri kita yang konon sebagai pusat peradaban. Kalau kita tengok sejarah yang belum tentu tertulis di buku sejarah, bahwa kita memiliki universitas tua yang menjadi peradaban dunia yaitu di Sriwijaya dengan guru yang terkenal Dharma Kirti atau guru Swarna Dwipa atau lebih dikenal oleh Dalai Lama sebagai Serlingpa. Peradaban dan perkembangan  Tibet tidak lepas dari peran Atisa Dipankara yang selama 15 tahun berguru kepada Dharma Kirti di Sriwijajaya, menunjukkan bahwa nusantara menjadi salah satu pusat peradaban dunia. Namun mengapa di era saat ini saya merasakan ada krisis kebangggan terhadap budaya nusantara dan krisis jati diri?

Kecemasan inilah, yang mendorong saya untuk terus melakukan refleksi yang mengajak murid untuk mengemukakan pendapatnya terkait dengan budaya nusantara yang semakin hari semakin terkikis. Malam ini juga saya mengajak murid-murid untuk melakukan refleksi dengan memberikan video tersebut dan meminta untuk menyampaikan apa yang dipikirkan setelah melihat video tersebut.

“Menurut saya, apa yang dikatakan oleh beliau di video sangatlah menginspirasi dan menyadarkan kita semua agar lebih dulu mencintai budaya dan bangsa kita, Indonesia. Terlebih lagi kita harus bangga kepada budaya dan kebiasaan yang kita miliki tanpa harus membandingkan dengan negara sebelah seperti contoh pada video (Korea). Mungkin dengan adanya video reels yang Pak Diyarko bagikan, dapat menyadarkan bahwa Indonesia tidak kalah dengan budaya apik nan khasnya dengan negara sebelah. Jadi, tanpa menengok ke negara sebelah, lebih baik melihat negara kita terlebih dahulu karena negara kita tak kalah kaya ragam budayanya”, ungkap Fildza, murid kelas X Animasi SMK N 11 Semarang.

“Dari video tersebut saya menyadari dan berpikir bahwa sebenarnya bangsa kita telah benar benar berada pada masa globalisasi. Dimana unsur unsur budaya dari bangsa lain dapat mudah sekali untuk masuk ke dalam diri seseorang. Contohnya adalah pose sarangheyo yang diadaptasi dari negara korea selatan. Budaya yang sebenarnya tidak muncul dalam kebudayaan Indonesia, namun di masa sekarang ini, pose tersebut dapat benar benar melekat pada setiap orang di berbagai kelangan di Indonesia. Jarang kali menemukan orang yang tidak paham akan arti pose jari tersebut. Sebaliknya dengan pose jari mudra yang tidak diketahui orang secara merata. Saya setuju tentang pose tersebut harus dibiasakan kepada anak anak muda maupun orang dewasa. Agar dapat menyimbangi budaya budaya lain dan menjadi Identitas bangsa. Mulai dari diri sendiri dan perlahan demi perlahan mengalir ke orang lain. Terimakasih, Pak Di”, ungkap Vivian.

“Mantap. Bahkan kita punya sikap mudra yang sudah dilakukan oleh nenek moyang kita. Ketika kita praktikan hening sejenak dg sikap mudra, maka pikiran dan perasaan akan menyatu yang akan memancarkan cinta kasih, sebagai landasan hidup kita. Kehalusan rasa, tutur kata akan terpancar”, respon saya kepada mereka yang sudah memberikan refleksinya. Saya bahkan menambahkan tentang salah satu mudra yang dipakai oleh orang-orang nusantara yaitu mudra Vitakra.

Ini adalah salah satu salam mudra yang sudah dilakukan oleh orang nusantara yang artinya konsentrasi. Maka orang Jawa lebih mengenal dengan kata-kata eling lan waspada dengan mudra vitakra. Ketika kita membiasakan penggunaan mudra vitakra ini untuk mengajak murid-murid untuk tenang dan konsentrasi dan dilakukan secara serempak, maka secara langsung kita telah mengajak kembali kepada jati diri kita sendiri sebagai orang nusantara yang tetap memegang teguh nilai-nilai ketenangan jiwa. Dari hal yang paling kecil, ketika kita bebricara kepada anak. Anak-anak yuk konsentrasi dengan menampilkan mudra vitakra, maka saya yakin, lambat laun dunia akan kembali melihat Nusantara sebagai peradaban yang lebih maju. Semoga.

Leave a Comment Cancel Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Exit mobile version