Kebo nusu gudel (Indonesia: seekor kerbau yang menyusu anaknya) memiliki arti bahwa seorang guru yang harus belajar dari muridnya atau seorang tua yang harus belajar dari anaknya. Bisa pula berarti orang yang lebih tua belajar kepada yang lebih muda. Inilah kondisi yang saya alami saat ini, saya harus menimba ilmu kepada orang yang lebih muda. Tadi malam. 11 Februari 2024 saya belajar dengan orang yang lebih muda tentang pengambilan keputusan. Bahagia rasanya, saya bisa melakukan zoom metting dengan salah satu kepala sekolah yang masih muda, yaitu kepala SMK Akpelni Semarang, yaitu Mbak Diana Bedagama. Saya lebih familiar memanggil Mbak ketimbang bu, karena dari sisi usia jauh lebih muda dari saya, namun dari sisi pengetahuan dan pengalaman dalam memimpin jauh lebih mapan dan berpengalaman. Mbak Diana Bedagama dulu di saat menjadi pelajar di SMK Kimia Industri Theresiana, saya sempat menjadi gurunya. Sudah empat tahun ini, Mbak Diana sudah menjadi kepala sekolah di SMK Akpelni Semarang sebagai sekolah pusat keunggulan di bidang nautika dan teknika perkapalan niaga.
Sengaja malam ini saya melakukan wawancara untuk menggali informasi terkait bagaimana cara pengambilan keputusan dari masalah yang banyak mengandung dilema etika. Berikut hasil wawancaranya.
“Selama ini, bagaimana Mbak Diana dapat mengidentifikasi kasus-kasus yang merupakan dilema etika atau bujukan moral?”, pertanyaan yang saya ajukan kepada Mbak Diana mengawali pertanyaan wawancara di malam itu.
“Biasanya saya temukan ketika saya dalam penentuan pada hal-hal yang bersifat pada pertentangan antara perasaan dan bagaimana baiknya. Ketika kita harus memutuskan sesuatu hal yg bersifat tidak populer dan memuaskan banyak pihak atau tidak. Hal ini sering terjadi dan kita alami terutama saat memimpin suatu organisasi. Di sini pilihan terkait dilema etika dan bujukan moral menjadi sangat besar dan berpengaruh. Bisa juga ketika kita melihat siapa saja yg terlibat dalam menentukan keputusan”, ungkap Mbak Diana.
“Selama ini, bagaimana mbak Diana menjalankan pengambilan keputusan di sekolah, terutama untuk kasus-kasus di mana ada dua kepentingan yang sama-sama benar atau sama-sama mengandung nilai kebajikan?”, tanya saya lebih lanjut.
“Asesmen terhadap kasus merupakan hal yang sangat penting, hal ini berhubungan tentang dampak dan resiko dari pilihan yang akan saya ambil, urgency mana yang harus didahulukan, importance atau keutamaan dari hasil dan nilai-nilai yang dipegang. Dari situ saya akan memilih mana yang jauh lebih harus diutamakan, penting, dan sudah mempertimbangkan resikonya. Pada akhirnya tiga hal itu yang akan menentukan bagaimana kita akan membuat keputusan. Hal ini akan menentukan langkah-langkah keputusan yang diambil, bisa jadi malah tidak sesuai dengan dua nilai benar dan kebajikan awal tersebut”, jawab Mbak Diana secara jelas.
“Langkah-langkah atau prosedur seperti apa yang biasa mbak Diana lakukan selama ini?”, tanya saya untuk mengungkap prosedur yang dilakukan dalam pengambila keputusan.
“Pertama-tama kesampingkan perasaan terlebih dahulu, karena hal ini yang sering membuat manusia menjadi bias dalam mengambil keputusan, kedua kumpulkan data, data apapun yang bisa kita buat bahan pertimbangan. Ketiga lakukan asesmen kasus, dengan tiga hal yang tadi sudah saya sebutkan. Keempat, jika memang keputusan yang harus kita diskusikan berhubungan dan mempengaruhi sistem dan organisasi secara cukup besar/luas, kita harus melibatkan manajemen dalam melakukan asesmen kasus. Terakhir, buat keputusan walaupun sulit dan beresiko, saya yakin ketika kita sudah mempertimbangkan segala hal di depan baik resiko dan dampak akan bisa kita lewati dengan baik”, penjelasan mbak Diana semakin mendalam.
“Hal-hal apa saja yang selama ini mbak Diana anggap efektif dalam pengambilan keputusan pada kasus-kasus dilema etika?’, tanya saya terkait dengan hal yang dipandang efektif dalam pengambilan keputusan.
“Hal-hal yg saya anggap efektif adalah intuisi dan penilaian resiko”, ungkap mbak Diana. Intuisi adalah istilah untuk kemampuan memahami sesuatu tanpa melalui penalaran rasional dan intelektualitas. Kata intuisi berasal dari kata kerja Latin “intueri” yang diterjemahkan sebagai “mempertimbangkan” atau dari bahasa Inggris, “intuit” yakni “untuk merenungkan”. Pemahaman intuisi ini datang seketika dari dunia lain dan di luar kesadaran diri manusia. Misalnya saja, seseorang tiba-tiba saja terdorong untuk membaca sebuah buku. Ternyata, di dalam buku itu ditemukan keterangan yang dicarinya selama bertahun-tahun. Atau misalnya, merasa bahwa ia harus pergi ke sebuah tempat, ternyata di sana ia menemukan penemuan besar yang mengubah hidupnya. Namun tidak semua intuisi berasal dari kekuatan psikis. Sebagian intuisi dapat dijadikan sebagai landasan berpikir untuk mendapatkan kebenaran objektif. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa orang-orang yang berada dalam jajaran puncak bisnis atau kaum eksekutif memiliki skor lebih baik dalam eksperimen uji indra keenam dibandingkan dengan orang-orang biasa. Penelitian itu sepertinya menegaskan bahwa orang-orang sukses lebih banyak menerapkan kekuatan psikis dalam kehidupan keseharian mereka, yang mana dapat menunjang kesuksesan mereka. Salah satu bentuk kemampuan psikis yang sering muncul adalah kemampuan intuisi. Tidak jarang, intuisi menentukan keputusan yang mereka ambil. Namun banyak orang beranggapan intuisi sering dianggap tidak rasional dan tidak dibenarkan sebagai metode pengambilan keputusan yang utama. Padahal, intuisi dapat bernilai benar karena merupakan hasil dari pengetahuan dan pengalaman yang disaring untuk dijadikan acuan pengambilan keputusan. Dalam wawancara tersebut, Mbak Diana juga menegaskan bahwa kemampuan intuisinya serting dipakai untuk mengambil keputusan. Intuisi dapat dilatih dan harus sering dilatih dengan banyak membaca, melihat situasi dan kondisi lingkungan secara cermat dan sering mengambil keputusan dengan baik.
“Hal-hal apa saja yang selama ini merupakan tantangan dalam pengambilan keputusan pada kasus-kasus dilema etika?”, tanya saya lebih lanjut terkait dengan tantanga yang paling sering dialami oleh Mbak Diana. “Tantangannya lebih pada mengatur emosi dan perasaan kita, karena ketika dalam hal seperti ini biasanya kita harus menekan perasaan, terutama ketika menyangkut pada penilaian banyak orang pada keputusan kita”, ungkap Mbak Diana. Dalam kasus ini, ia sering berusaha untuk mengatur emosi dan perasaannya. Baginya musuh paling berat adalah mengalahkan dirinya sendiri sehingga harus berdamai dengan dirinya sendiri.
“Apakah mbak Diana memiliki jadwal tertentu dalam sebuah penyelesaian kasus dilema etika, apakah mbak Diana langsung menyelesaikan di tempat, atau memiliki sebuah jadwal untuk menyelesaikannya, bentuk atau prosedur seperti apa yang Anda jalankan?”, tanya saya terkait dengan waktu pengambilan keputusan. “Tidak ada, kecuali misalkan ada kasus penting yang menyangkut lembaga, biasanya kami melakukan rapat koordinasi, jika masih bersifat kasus yag bisa diselesaikan secara personal bisa langsung menyelesaikan di tempat”, jawab mbak Diana. Dalam wawancaranya, mbak Diana bahkan memberikan penjelasan tentang perlunya hening sejenak sebelum mengambil keputusan. Jika langsung reaksi, maka dikhawatirkan, keputusan yang diambilnya lebih banyak karena faktor emosional sehingga tidak bijak hasil keputusannya.
“Adakah seseorang atau faktor-faktor apa yang selama ini mempermudah atau membantu Anda dalam pengambilan keputusan dalam kasus-kasus dilema etika?”, tanya saya lebih lanjut. “Di dalam lembaga, karena faktor usia dan juga pengalaman saya yang belum banyak, biasanya saya bertanya juga kepada para senior dalam menghadapi kasus/permasalahan yang sama dan bagaimana pengalaman mereka menyelesaikan kasusnya atau saya berdiskusi dengan teman-teman yang memiliki in charge/tanggung jawab di bidang kasus tersebut, selain itu, pengalaman memang menjadi hal utama yang membantu kita untuk cepat mengambil keputusan”, jawab mbak Diana.
“Dari semua hal yang telah disampaikan, pembelajaran apa yang dapat mbak Diana petik dari pengalaman mengambil keputusan dilema etika?”, tanya saya mengakhiri wawancara. “Jangan hanya terjerumus pada rasa kasihan, atau perasaan dalam mengambil keputusan, jangan hanya mengedepankan emosional kita, setiap kasus tentu ada resiko dan dampak yang harus dihadapi, kadang dampaknya besar/kecil, baik negatif/positif, tapi jika kita benar-benar mempertimbangkan hal yang baik apapun resikonya pasti kita akan jauh lebih siap. Selain itu, satu keputusan saat ini pasti akan menghasilkan keputusan-keputusan yang lain di masa yang akan datang beserta resiko-resiko yang lain. Banyak hal, yang kita putuskan karena berdasarkan nilai-nilai perasaan/moral, berujung tidak berkembangnya suatu organisasi, tetapi kembali lagi kita tidak bisa menyenangkan semua pihak”, ungkap mbak Diana penuh makna.
Hari ini saya merasakan benar-benar belajar dengan orang yang lebih muda dan keren dalam pemikiran dan pengambilan keputusannya. Dari hasil wawancara ini, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa untuk mengambil keputusan hendaknya tidak terejerumus dengan perasaan dan emosi, namun harus mempertimbangkan sisi resiko yang paling kecil dan memberikan dampak yang lebih baik. Setiap ketupusan harus dipertanggungjawabkan, karena satu keputusan akan menghasilkan keputusan-keputusan lainnya beserta resiko-resikonya. Hari ini saya juga belajar untuk terus belajar, meskipun terhadap orang yang lebih muda. Jangan malu untuk belajar kepada orang yang lebih muda. “Kebo nusu gudel”.
Terima kasih pak Diyarko, guru saya saat sy menempuh pendidikan di SMK Kimia Industri Theresiana, salah satu guru favoritku jaman sekolah.
Sangat senang sekali diberikan kesempatan utk berbagi hal luar biasa, dan membuat saya merefleksikan diri kembali apa sy sudah bijaksana dalam membuat keputusan selama ini?
Dilema etika dan moral sering kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari tanpa disadari, dan ketika direnungkan dan direfleksikan ternyata luar biasa dampaknya.