Sudah sejak lama Praktik Kerja Lapangan (PKL) merupakan kegiatan pembelajaran yang melibatkan sekolah (SMK) dengan dunia usaha dan dunia industri untuk memberikan kesempatan kepada peserta didik dalam menginternalisasi dan menerapkan keterampilan karakter dan budaya kerja (soft skills) serta menerapkan, meningkatkan, dan mengembangkan penguasaan kompetensi teknis (hard skills) sesuai dengan konsentrasi keahliannya dan kebutuhan dunia kerja, serta kemandirian berwirausaha. Mata pelajaran ini merupakan penyelarasan akhir atau kulminasi dari seluruh mata pelajaran. Pembelajarannya diselenggarakan berbasis proses bisnis dan mengikuti Prosedur Operasional Standar (POS) yang berlaku di dunia kerja melalui tahapan mengamati, memahami, meniru tindakan, bekerja dengan bantuan dan pengawasan, bekerja mandiri, serta aktualisasi dan eksplorasi. Kegiatan perencanaan, pelaksanaan, asesmen dan evaluasi harus berorientasi pada ketercapaian tujuan pembelajaran mata pelajaran (mapel) ini. Tujuan mata pelajaran PKL ini meliputi: internalisasi soft skills di dunia kerja, penerapan hard skills yang dikuasai pada pekerjaan yang sesungguhnya sesuai dengan Prosedur Operasional Standar (POS) yang berlaku, peningkatan dan pengembangan hard skills dalam bidang tertentu sesuai dengan kurikulum dan kebutuhan dunia kerja serta penyiapan kemandirian peserta didik untuk berwirausaha.
Berdasarkan kurikulum merdeka, pelaksanaan PKL dilaksanakan di kelas XII untuk SMK yang menyelenggarakan kegiatan pembelajaran selama 3 tahun dan dilaksanakan di kelas XIII untuk SMK yang menyelenggarakan kegiatan pembelajaran selama 4 tahun. Yang menjadi pertanyaan, apakah pelaksanaan PKL tersebut harus di kelas XII atau kelas XIII? Bagaimana jika sejak senini mungkin mengenal budaya kerja melalui kegiatan PKL di kelas bawah?
Pertanyaan tersebut tidak untuk dijawab, karena jika sudah mengacu pada aturan berdasakan SOP yang berlaku, maka yang ada adalah siap laksanakan. Namun saya akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan fakta dan pengalaman yang kami alami di SMK Negeri 11 Semarang. Pada awal bulan Mei 2023, ada 12 peserta didik animasi yang portofolionya diterima di studio Animars Yogyakarta dan Keitoto Kota Semarang. Berbekal portofolio berupa gambar maupun modeling 3D, ke-12 peserta didik tersebut diberi kesempatan untuk belajar di studio tersebut selama 6 bulan. Entah saya sebut PKL atau magang, saya tidak bisa menyebutkan. Jika saya sebut PKL, secara aturan belum bisa mengikuti PKL karena tidak sesuai dengan SOP yang berlaku. Dengan demikian saya sebut belajar bersama industri saja. Sejak bulan Mei 2023 tersebut peserta didik tersebut benar-benar belajar bersama industri, belajar melaksanakan budaya industri, belajar menghargai waktu deadline dan belajar meningkatkan kompetensi sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh industri.
Hari ini, 11 Juni 2023 berarti belum genap 2 bulan mereka menjalankan kegiatan belajar bersama industri. Tiba-tiba saya mendapatkan pesan whatsapp dari pemilik studio Keitoto, Mas Malik namanya. “Assalamualaikum pak Diyarko”, pesan Mas Malik sambil mengirimkan sebuah gambar.
“Satu bulan lebih anak-anak magang, dari yang saya perhatikan, si Rafi sangat kuat sekali imajinasi nya dalam character development nya. Detailnya pun terlihat di sketsanya. Kami pinjamkan iPad ke dia agar mempermudah proses kreatifnya. Untuk si Rafi ini saya liat dia sangat kuat di imajinasinya, tapi lumayan lemah di modeling 3D nya. Sebaliknya, Benedictus dan Yasin sangat kuat modeling 3Dnya, namun lumayan lemah di imajinasinya”, ungkap Mas Malik melaporkan perkembangan Rafi secara detail. Mungkin kita sebagai guru saja masih kurang detail dengan pelaporan perkembangan kompetensi peserta didik, apalagi sudah terbiasa dengan ending berupa angka-angka nilai. “Alhamdullilah. Terima kasih mas Malik”, ungkap saya sebagai bentuk rasa bahagia dan bersyukur peserta didik meskipun baru kelas X sudah menunjukkan peningkatan yang luar biasa.
“Berarti bisa saling melengkapi ketika kerja kolaborasi ya mas”, ungkap saya kepada Mas Malik. “Kedepan, kami akan coba untuk membuat tim, dimana satu tim bakal ada orang yang jago 3D dan jago imajinasi. Sehingga semuanya melengkapi”, ungkap Mas Malik.
Mas Malik dari studio Keitoto ternyata memiliki jiwa menilai kompetensi secara detail. Bahkan setiap peserta didik yang mengikuti proses belajar di studionya dikupas satu demi satu. “Untuk Neysya, Bintang, dan Makabe. Alhamdulilah mereka oke progressnya. Jujur saya suka banget sama semangatnya Bintang. Karyanya pun semakin bagus. Tapi sayang banget terhalang sama device laptopnya yang kurang memadai. Kami bakal coba fasilitasi laptop gaming buat dia. Neysya sendiri masih dalam tahap pengembangan. Dia paham apa yang kita ajarkan, paham briefnya, namun eksekusi masih kurang rapih. Insya Allah di bulan ke-3 pasti membaik. Untuk Makabe sendiri mungkin kami bakal bimbing dan membentuk karakternya dia dulu njeh pak. Karena di beberapa momen, Makabe lumayan kurang mengikuti instruksi dari kami. Untuk prospek ikut LKS, mungkin saat ini yang terlihat baru 3 orang yaitu Benedictus, Yasin dan Rafi. Tapi saya yakin Bintang jadi rising star nanti diakhir-akhir magang, karena effort & semangatnya jujur melebihi yang lain”, ungkap Mas Malik secara detail.
“Monggo. Sudah saya pasrahkan ke mas malik. Mau dididik dengan cara yang terbaik mas Malik. Kami yang berterima kasih. Kita terus terang tidak mau tergesa gesa. Biarlah mereka berproses semua. Masalah LKS itu dampak saja. Tujuannya agar mereka bisa mencicipi cara kerja industri”, ungkap saya dalam menanggapi mas Malik. “Siap, mugi-mugi kedepan diparingaken kelancaran semuanya njeh pak. Saya jujur suka banget sama didikan e Panjenengan. Anak-anak SMK N 11 Semarang saya perhatikan hebat semua”, ungkap Mas Malik dengan perasaan bahagia, sambil mengirim hasil karya milik Benedictus.
Karya modeling 3D oleh Benedictus nampak riil. Secara detail, Benedictus mampu membuat modeling 3D berupa laptop dan karakter hewan yang seakan-akan berada di atas laptop. Itu bukan gambar 2D, namun hasil modeling 3D menggunakan blender. Ini hasil Benedictus selama 1 bulan di Keitoto Studio yang berada di Ngaliyan Kota Semarang.
Sebagai bentuk kebahagiaan, Mas Malik juga mengirim hasil karya milik Yasin. Karya yang unik dan sudah sampai pada proses animate.
“Alhamdulilah pak. Mereka memang suka ngulik dan eksperimen sendiri di rumah. Jadi skill sudah terbentuk banget. Saya sama taufik selalu dorong anak-anak biar jangan mengambil ilmu dari tempat magang saja, tapi sepulang magang mumpung masih muda harus cari waktu latihan”, ungkap Mas Malik.
Dari dialog antara saya dan Mas Malik sebagai pemiliki studio atau industri kreatif yang mau menerima peserta didik belajar di sana, memperkuat alasan bahwa PKL tidak harus menunggu waktu siswa di kelas XII atau kelas XIII. Bukankah ini di era merdeka belajar, setiap peserta memiliki kecepatan yang berbeda-beda serta memiliki passion dan talentanya masing-masing. Ketika mereka di rasa sudah siap, apakah mereka harus menunggu sampai kelas XII atau XIII harus mencicipi budaya kerja di industri? Apakah dari sisi waktu harus ada keseragaman dalam belajar? Hanya sekolah yang bisa menjawabnya. Kepemimpinan kepala sekolah dan guru yang hendaknya mampu mengambil cara yang fleksibel sehingga peserta didik mendapatkan pelayanan sesuai dengan passion, talenta dengan waktu yang tidak harus seragam. Kita sebagai guru hendaknya mampu menuntun dan mengakomodasi peserta didik untuk mengembangkan passion dan talentanya sehingga mencapai versi terbaiknya masing-masing. Merdeka belajar atau belajar Merdeka?