Pandemi Covid 19 yang dipandang mengubah tatanan yang ada secara cepat dari semua lini kehidupan. Dampaknya sangat terasa dari perubahan sistem pembelajaran yang ada di dunia pendidikan yang tadinya hanya sebatas tatap muka di ruang kelas beralih menjadi pembelajaran jarak jauh (PJJ). Banyak yang mengatakan bahwa melalui PJJ ini memberikan dampak negatif yaitu terjadinya learning loss yaitu hilangnya pengetahuan dan kemampuan siswa, baik secara spesifik atau umum atau terjadinya kemunduran secara akademis yang berkaitan dengan kesenjangan yang berkepanjangan. Namun apakah learning loss itu tidak terjadi sebelum pandemi? Jangan-jangan pademi Covid 19 ini justru membukakan tabir bahwa sebenarnya pendidikan kita belum siap menghadapi perubahan zaman yang serba cepat ini.
Sebelum pandemi, sebagian besar pembelajaran berorientasi pada pemberian materi. Berkali-kali saya sering mengatakan, anak didik ibarat sebuah botol kosong dan peran guru adalah terus menerus mengisi botol tersebut dengan air. Paradigma lama ini masih mengakar kuat di kalangan pendidik yang fixed mindset. Jangan heran borring learning terjadi dan itu sudah terjadi lama sebelum pandemi Covid 19. Ketika pandemi ini memaksa proses pembelajaran secara daring, para fixed mindset ini hanya mengalihkan cara-cara lama itu ke dalam PJJ, artinya ceramah, menasehati yang orientasinya pada materi-materi hafalan yang sebenarnya bisa diakses di dunia maya, masih sering dilakukan. Akibatnya kejenuhan dalam pembelajaran masih terus terjadi, karena materi itu bukan dianggap sebagai kebutuhan bagi siswa. Bukan terletak pada kelasnya PTM atau PJJ yang menjadi faktor penyebab terjadinya learning loss, namun terletak pada bagaimana para pendidik tersebut menjadi fasilitor, motivator dan pelayan bagi anak-anak didiknya, yang menuntun anak didiknya untuk mengembangkan potensinya agar menjadi juara dengan versinya masing-masing.
Dari pandemi Covid 19 ini justru dapat menjadi bahan refleksi diri, sudahkah kita sebagai pendidik mampu menuntun anak didik agar dapat menemukan potensi dan berkembang sesuai dengan versi terbaiknya? Sudahkah platform pembelajaran jarak jauh, jejaring sosial, banjirnya akses informasi ini justru kita manfaatkan untuk melejitkan potensi anak didik kita?
Pengalaman Pandemi ini mengajarkan kita bagaimana belajar itu bukan sebatas ruang kelas berbentuk balok, ada papan tulis, dengan meja dan kursi yang tertata rapi. Terbayang di pikiran saya, lebih dari itu, ruang kelas yang dibutuhkan anak didik kita adalah ruang kelas yang sangat luas, yang di dalamnya ada jejaring dan terkoneksi satu sama lain, tidak hanya dalam satu kelas, namun lebih dari itu lintas antar kelas, lintas sekolah, lintas wilayah sampai terkoneksi ke dunia secara lebih luas lagi. Terbayang dalam kelas itu akan muncul ruang-ruang diskusi, adanya pemantik-pemantik dari berbagai sumber untuk didiskusikan sehingga muncul pembiasaan berpikir tingkat tinggi, munculnya kreativitas, imajinasi dan inovasi.
Meskipun belum sepenuhnya mampu menciptakan ruang kelas seperti itu, namun saya akan bercerita tentang penciptaan ruang kelas bagi anak didik saya di kelas X Animasi SMK Negeri 11 Semarang sedikit demi sedikit mengarah pada angan-angan di benak pikiran saya. Yang menjadi point penting dalam penciptaan di kelas saya adalah jejaring dan terkoneksi satu sama lain. Diawali dengan pembentukan group WhatsApp dari empat kelas X Animasi menjadi satu group yang saya beri nama “Basic Drawing”. Keempat kelas saya jadikan satu group agar mereka bisa saling mengenal satu sama lain. Group ini merupakan wadah sharring bagi anggota untuk sharring karya-karya gambar dua dimensi maupun gambar 3D. Ketika siswa mengirim link karya yang sudah diposting di media sosialnya di group ini, maka memberikan peluang bagi siswa lain untuk melihat karya-karya tersebut. Yang menjadi kesepakatan bersama dalam group ini tidak diperbolehkan siswa memberikan komentar negatif atau bulying dari karya yang dikirim tersebut. Guru dan siswa yang tergabung dalam group dibiasakan untuk memberikan apresiasi positif sehingga menjadi booster energi sehingga mampu mendorong siswa untuk terus berkarya. Media group WhatsApp ini juga sebagai tempat berbagi informasi yang terhubung dengan dunia luar, misalnya sumber-sumber referensi belajar sesuai passionnya masing-masing melalui link-link media sosial seperti youtube, website, instagram dan sebagainya. Dari sinilah, guru bukan satu-satunya sumber belajar bagi mereka dan justru sumber terbanyak adalah dari dunia maya yang terkoneksi satu sama lainnya.
Group WhatsApp ini juga beranggotakan tidak hanya kelas X Animasi SMK N 11 Semarang, namun ada dari siswa kelas XI Animasi, bahkan lintas jurusan dan lintas sekolah, meskipun proporsinya relatif kecil. Salah satu siswa kelas X Multimedia SMK Negeri 11 Semarang yang memiliki passion di bidang animasi diperbolehkan masuk ke group, beberapa siswa kelas XI Animasi yang memiliki keinginan untuk sharring karya juga diberi kesempatan masuk group. Siswa yang masih duduk dibangku SMP pun yang memiliki keinginan untuk mengikuti kegiatan di group juga diberi kesempatan masuk group. Beberapa siswa dari jurusan Animasi SMK Muhammadiyah 1 Semarang juga ikut bergabung meramaikan group dengan sharring-sharring karya. Komunikasi dan konektivitas dari berbagai lintas kelas, lintas jurusan dan lintas sekolah ini justru memperkaya wawasan dan menjadi motivasi bagi siswa yang masuk di dalam group ini.
Ruang diskusi diciptakan dalam group ini agar mereka terasah kepekaannya dalam berkomunikasi dan empati terhadap orang lain. Misalnya ketika ada one day one project, saya memberikan ruang diskusi bagi mereka, mengapa di dalam one day one project? Dari diskusi itulah muncul kesadaran tentang pentingnya membentuk disiplin diri bukan karena paksaan namun karena kesadaran diri siswa. Ibarat group ini adalah perusahaan, apa yang terjadi ketika para anggota di group ini tidak berdisiplin terhadap deadline yang sudah ditetapkan? Dari pertanyaan ini akhirnya siswa menyadari bahwa tidak hanya dirinya sendiri yang rugi tidak dapat gaji atau mungkin yang paling apes adalah dipecat dari perusahaan, namun jauh lebih dari itu adalah kerugian terhadap nama baik perusahaan karena sudah mengecewakan pelanggan. Yang paling apes lagi, ketika kepercayaan pelanggan terhadap perusahaan sudah luntur, maka sulit akan membangun kepercayaan itu kembali. Ruang-ruang diskusi inilah yang membangkitkan anak untuk berpikir dengan penalarannya (olah pikir), mencoba merasakan (olah rasa) dan dilanjutkan dengan tindakan untuk disiplin dalam menerapkan one day one project sebagai bentuk olah laku.
Kelas yang dibangun ini terkoneksi pula dengan platform pembelajaran unsinkronous melalui portal animax (http://bit.ly/portal-animax). Portal ini bisa diakses siapa saja yaitu guru, industri, siswa dan orang tua. Hasil karya siswa selain diposting di media sosial seperti IG dan youtube selanjutnya linknya dicopykan di portal sebagai bentuk rekapan hasil karya siswa dan diberikan penilaian oleh guru. Portal ini juga bisa diakses oleh orang tua sehingga dapat mengetahui bagaimana perkembangan anaknya dalam berkarya, di samping itu setiap hari saya melaporkan pelaksanaan one day one project kepada orang tua melalui group orang tua sebagai komunitas parenting. Bagi industri, portal ini juga sebagai media untuk seleksi siswa yang akan mengikuti magang atau praktek kerja lapangan, karena untuk magang di industri kreatif yang paling dibutuhkan pertama kali adalah portofolio siswa.
Ruang kelas yang tak sebatas berbentuk kotak ini justru mampu memberikan wadah bagi siswa untuk beraktualisasi diri dengan menampilkan karya-karya, berkomunikasi, berdiskusi, saling support yang bermuara pada melejitnya potensi dengan versi terbaiknya masing-masing anak. Tidak ada lagi persaingan, yang muncul justru saling berbagi pengalaman, memberikan apresiasi yang dapat membawa suasana kelas yang menyenangkan. Semoga menginspirasi. Selamat mencoba.