Hari ini, 3 Februari 2024 saya membaca tugas mandiri di LMS Calon Guru Penggerak. Dalam tugas mandiri tersebut saya mendapatkan tantangan untuk mengambil keputusan dari masalah yang saya alami dan belajar menguji keputusan yang saya ambil secara bijaksana.
Saya sebagai wakil kepala sekolah bidang kesiswaan sudah 1 tahun ini menjalankan tugas tersebut. Ada visi besar yang menjadi prioritas untuk saya kembangkan di bidang kesiswaan. Salah satunya adalah mengembangkan kebhinekaan global yang merupakan salah satu dari elemen profil pelajar Pancasila. Dalam elemen ini, Pelajar Indonesia hendaknya mampu mempertahankan budaya luhur, lokalitas dan identitasnya, dan tetap berpikiran terbuka dalam berinteraksi dengan budaya lain, sehingga menumbuhkan rasa saling menghargai dan kemungkinan terbentuknya dengan budaya luhur yang positif dan tidak bertentangan dengan budaya luhur bangsa. Elemen dan kunci kebinekaan global meliputi mengenal dan menghargai budaya, kemampuan komunikasi interkultural dalam berinteraksi dengan sesama, dan refleksi dan tanggung jawab terhadap pengalaman kebinekaan. Dari hal yang paling kecil, kami di kesiswaan mencoba memperlihatkan kepada murid-murid di sekolah tentang perbedaan-perbedaan yang ada, seperti perbedaan keyakinan agamanya. Bagaimana murid akan menghargai perbedaan agama ketika mereka tidak saling mengetahuinya? Maka dari itu toleransi menjadi program utama di kesiswaan. Salah satu bentuk pengenalan toleransi adalah mengumandangkan lagu-lagu kerohanian dari masing-masing agama di setiap pagi sebelum lagu-lagu nasional dikumandangkan. Tujuan utamanya adalah agar murid-murid mengenal lagu-lagu dari agama lainnya. Tema lagu yang dikumandangkan adalah tentang cinta kasih atau welas asih. Tidak hanya itu, saya juga menyelenggarakan kegiatan moderasi beragama. Acara moderasi beragama ini dengan mengundang guru agama Islam, Kristen, Katholik dan Buddha dengan peserta murid-murid dari berbagai agama yang ada. Dalam forum tersebut dilakukan diskusi tentang toleransi dan ladasannya dari setiap agama. Masing-masing guru agama memberikan penjelasan dengan sudut pandang agamanya masing-masing dan ternyata ada benang merah yang sama tentang perlunya toleransi. Sudah berjalan hampir satu tahun, namun ternyata ada guru yang tidak setuju dengan cara-cara yang saya lakukan. Meskipun tidak menyampaikan secara langsung kepada saya, namun guru tersebut cenderung menyerang dengan kata-kata terhadap salah satu guru yang masih seagama. Dalam pembicaraannya, bahwa cara-cara yang saya lakukan dianggap toleransi yang kebablasan. Ini tidak hanya diungkapkan kepada satu guru, bahkan guru-guru lainpun dipengaruhinya. Ketika salah satu guru yang biasanya mengatur setingan lagu yang akan dikumandangkan pindah di bagian lain dan harus digantikan oleh orang lain, ternyata lagu kerohanian tersebut sudah tidak dikumandangkan lagi. Saya bertanya lebih lanjut kepada guru tersebut, ternyata sudah konsultasi dengan atasannya di bidang yang memiliki kewenangan mengatur lagu tersebut. Dari hasil diskusi, katanya lagu yang perlu dikumandangkan cukup lagu nasional saja. Jika ditanya bagaimana rasanya, secara jujur saya kecewa dengan kondisi seperti ini. Awalnya saya akan mengambil keputusan untuk mempertanyakan kepada guru yang tidak setuju tersebut. Namun saya timbang-timbang malah justru akan memperkeruh suasana karena akan muncul konfrontasi atau pertentangan. Akhirnya saya memutuskan untuk membiarkan saja, karena bagi saya masih ada cara-cara lain untuk terus menggelorakan nilai-nilai toleransi di sekolah saya.
Yang jelas saya mengalami dilematis dengan permasalahan ini. Di satu sisi saya akan terus menggelorakan nilai-nilai toleransi, di satu sisi bertentangan dengan kelompok lain yang merasa bahwa cara-cara yang saya lakukan membuat tidak berkenan. Dilema yang terjadi adalah dilema individu melawan kelompok. Yang terlibat dalam situasi ini adalah saya sebagai wakil kepala sekolah bidang kesiswaan, Pak F salah satu guru agama yang memiliki visi sama untuk menggelorakan toleransi, Pak E yang tidak setuju dengan program yang saya lakukan di kesiswaan, bahkan sempat berkonfrontasi dengan Pak F di group yang ada Pak F dan Pak E serta guru-guru lain yang serumpun. Selain itu ada Pak G, selaku wakil kepala sekolah bidang lainnya serta Pak L yang ikut andil mengambil keputusan untuk menghentikan program yang saya lakukan dengan cara memutuskan untuk mengumandangkan lagu nasional saja. Fakta-fakta yang relevan dengan situasi ini adalah penghentian program dari kesiswaan yaitu mengumandangkan lagu-lagu rohani dari setiap agama yang ada sebagai bentuk mengenalkan perbedaan agar murid mengenal toleransi secara nyata.
Pengambilan keputusan yang saya lakukan perlu dilakukan pengujian dengan berbagai aspek. Jika ditanya apakah ada aspek pelanggaran hukum? Jelas sekali perilaku intoleransi melanggar hukum, namun ketika menghentikan lagu-lagu rohani yang sudah menjadi program kesiswaan tidak melanggar hukum. Keputusan yang saya ambil nampaknya tidak ada pelanggaran peraturan/kode etik profesi. Berdasarkan perasaan dan intuisi saya, tidak ada yang salah dalam pengambilan keputusan saya. Ketika dipublikasikan di media cetak, keputusan saya ini saya merasa nyaman-nyaman saja. Saya juga pernah membaca tentang kasus seperti ini ternyata juga mengambil keputusan untuk menerima saja, dengan alasan bahwa itu hanyalah simbol saja, sejatinya toleransi itu ada pada tindakannya dalam kehidupan sehari-hari yang mau dan mampu menghargai perbedaan. Situasi ini adalah situasi dilema etika dan paradigma yang saya ambil. Prinsip penyelesaian dilema yang saya pakai adalah uji panutan/Idola berhubungan dengan prinsip berpikir berbasis rasa peduli (Care-Based Thinking), dimana ini berhubungan dengan golden rule yang meminta saya meletakkan diri saya pada posisi orang lain. Ada sebuah penyelesaian yang kreatif dan tidak terpikir sebelumnya yang saya ambil untuk menyelesaikan masalah ini (investigasi opsi trilemma yaitu mencoba untuk mengalah terlebih dahulu. Mengalah ini bukan berati kalah, karena prinsip yang saya pakai adalah menghindari konfrontasi. Saya lebih memilih untuk mencari jalan lain, karena untuk menggelorakan toleransi tidak hanya dengan satu jalan. Keputusan yang saya ambil adalah membiarkan program mengumandangkan lagu-lagu rohani dari setiap agama untuk sementara dihentikan, karena cara ini belum tentu orang lain merasa nyaman. Orang-orang yang tanda kutip saya pandang sedikit intoleran biar merasa senang terlebih dahulu ketika tidak mendengarkan lagu-lagu tersebut. Namun saya akan melakukan program-program lain dengan tetap menggelorakan toleransi. Saya sudah memikirkan untuk melakukan kegiatan-kegiatan project sosial yang melibatkan kerjasama antar murid yang berbeda agama.
Saya mencoba merefleksikan bahwa keputusan yang saya ambil ini adalah jalan tengah yang terbaik untuk semuanya. Orang-orang yang belum sepemikiran dengan cara saya akan merasa nyaman dulu, namun melalui program-program lain yang lebih riil, akan dapat berdampak lebih bermakna bagi murid-murid dalam menjalankan toleransi yang sesungguhnya.