Belajar Di Luar Sekolah, Mengapa Tidak?

“Assalamualaikum Pak Di, saya ingin bertemu dengan Pak Diyarko mau meminta izin buat projek ke Batang dan  Pekalongan pak, tanggal 20-22 Februari 2023”, saya mendapat kiriman pesan di Whatsapp dari Muhammad Navis Muzaakki, siswa kelas XII Animasi sambil mengirim surat digital dari Studio Pelangi. Di dalam surat tersebut, tertulis bahwa Navis mendapat tugas untuk menjadi kameramen di acara seminar BUMN. Terkait project riil ini, Navis saya minta untuk menemui ketua jurusan dengan membawa surat tugas dari studio Pelangi. Studio pelangi merupakan sebuah production house yang bergerak di bidang photografi dan videografi untuk menangani dokumentasi dalam acara-acara besar. Meskipun Navis sudah tidak mengikuti kegiatan magang di studio tersebut, namun anak tersebut masih diminta untuk terlibat dalam kegiatan pekerjaan di studio tersebut. Ada yang memandang bahwa mengapa sudah tidak magang, masih diminta untuk membantu proses pekerjaan di studio tersebut.  Namun ketika kita memandang dari kacamata lain, justru saya merasa bersyukur, bahwa anak tersebut memiliki kompetensi yang tidak diragukan, sehingga tenaga profesionalnya dicari oleh studio. Ketika memandang dari kacamata tersebut, justru kita sebagai guru patut bersyukur dan memberikan perijinan agar mampu menyelesaikan tugas tersebut dengan baik. Di sisi lain memang selama dua hari tersebut anak tidak mengikuti pelajaran yang lain. Misalnya dia tidak mengikuti pelajaran bahasa apakah project yang dilakukan anak tersebut dapat dikonversi mengikuti pelajaran bahasa? Jika masih menggunakan sudut pandang yang lama, yang berorientasi pada materi yang dipelajari, tidak akan ada titik temunya. Dari sisi guru maka orientasinya adalah ketuntasan materi seperti yang tertuang di kompetensi dasarnya, sedangkan dari sisi siswa, anak tersebut menginginkan adanya peningkatan kompetensi yang ia butuhkan.  Ketika guru bahasa memegang the first thinking dari pelajarannya yakni membekali kemampuan siswa dalam berkomunikasi secara lisan maupun tertulis dengan baik, maka anak didik seperti Navis yang secara kompetensi sudah tidak diragukan oleh industri, dapat dipastikan bahwa  komunikasinya juga baik. Tidak mungkin jika komunikasinya jelek akan digunakan tenaga profesionalnya oleh industri. Tidak ada suatu alasan apapun ketika kegiatan project riil yang dilakukan siswa dan harus belajar di luar sekolah selama beberapa waktu belum bisa diterima oleh guru,  karena dipandang akan ketinggalan materi yang sedang dipelajari.

Melalui project riil dengan mengasah kompetensi di bidang kameramen pada event-event besar secara langsung mengasah mentalnya. Mungkin rasa percaya dirinya tidak akan tumbuh jika hanya berkutat dengan rutinitas di kelas-kelas dunia persekolahan. Siswa butuh panggung yang lebih luas yakni di masyarakat agar bisa benar-benar memecahkan permasalahan nyata.

“Yang saya rasakan tentunya senang bisa kembali dokumentasi ke event besar. Pengalaman yang saya rasakan, saya jadi lebih percaya diri dalam melakukan dokumentasi event event besar seperti kegiatan tadi dan lebih mengerti untuk mengambil moment spesial di acara tersebut.  Saya jadi lebih mengerti bagaimana cara menggunakan lighting eksternal di berbagai tempat yang kurang cahaya. Terkait finansial,  alhamdulilah, lumayan bisa untuk menambah uang jajan dan tabungan”, ungkap Navis.

Sudah saatnya, kita sebagai guru berpandangan bahwa siswa belajar dari mana saja, dimana saja dan waktu kapan saja. Ketika dunia persekolahan belum mampu mengakomodasi pola ini, belum fleksibel terhadap perubahan, suatu saat sekolah akan ditinggalkan murid-muridnya, karena mereka lebih leluasa belajar dengan masyarakat. Apalagi duni pekerjaan sudah mulai tidak memperhatikan dan mensyaratkan ijasah, namun lebih mengutamakan kompetensi dan karakter.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *