Abdi Dikara: Cerpen Nayla di Hari Guru Nasional

Suasana kelas ini, membuatku susah tidur. Laki-laki membentuk lingkaran dan bermain game dengan gadget mereka, anak perempuan sibuk bergosip atau berdandan. Aku sendiri, hanya mencoba tidur di tengah kerusuhan kelas ini. Awan mendung terlihat menutup langit di luar. Kuharap hujan turun deras, dengan begitu Pak Ishwar akan terhambat menuju kelas ini. Apalagi letak kelas ini yang berada di pojok lantai 2.

“Selamat siang anak-anak.” Segera setelah mendengar salam itu, anak-anak bergegas menuju kursinya masing-masing. Seorang guru berbaju ASN dan masih terlihat muda melangkah masuk ke dalam kelas. Di dadanya tersemat sebuah pin kotak bertuliskan “Ishwar Puwantoro”. Ia membawa buku mata pelajaran dan buku catatan di tangannya.

Memang ekspektasi tak seindah realita. Pak Ishwar justru masuk kelas secepat ini. Sepertinya aku tak bisa tidur lagi siang ini. “Sekarang kalian buka halaman 146 bagian ‘Detik-detik Proklamasi. Kemarin apakah Bapak memberi kalian tugas?” tanya Pak Ishwar dan dijawab serempak “Tidak Pak!” oleh anak sekelas.

Dengan malas aku meraih ranselku dan mengaduk isinya, mencari buku mata pelajaran Sejarah. Sepertinya aku lupa memasukkannya pikirku setelah berkali-kali mencari. Aku pun pasrah. Kuputuskan menjadikan taganku sebagai bantal dan tidur sejenak. Samar-samar aku mendengar namaku dipanggil. Suara itu semakin lama semakin mendekat, namun aku berusaha mengabaikannya. Rasa kantukku jauh lebih berat karena pekerjaan kemarin benar benar di luar batasku.

“Andre Dirgam Mahardika!” Pak Ishwar memanggilku tepat di telingaku. Membuatku sontak bangun dan berusaha memahami situasi. Sepertinya Pak Ishwar sedang mengabsen kehadiran para murid-murinya.

“Bapak panggil dari tadi tidak menjawab. Bapak kira kamu tidak masuk, ternyata malah tidur.” Pak Ishwar kini berada di hadapanku dengan menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Mungkin untuk mengintimidasiku? Sudahlah lebih baik aku memikirkan cara keluar dari situasi ini. Setidaknya agar nilai sikapku tidak dikurangi.

“Semalam saya sedang bertarung Pak. Semua musuh saya saya pukul sampai bunyi bug bug gitu. Habis itu saya kena hajar sama bos mereka. Terus pingsan lama.” jawabku seadanya.

“Kamu ikut tawuran ya! Sini ikut Bapak ke BK! Bapak pikir kamu anak baik-baik ternyata malah preman ya!” Suara Pak Ishwar meninggi. Memecah kesunyian kelas.

“Eh jangan suudzon Pak. Dosa itu. Maksud saya, semalam saya tidur jam 3 pagi. Saya mimpi lagi gelut gitu Pak sama orang lain, tapi lupa apa alasannya. Bangun-bangun ternyata udah jam 5 pagi. Buru buru deh saya ke sekolah. Jadi ini lagi ganti jam tidurnya Pak” Kemudian terlintas di kepalaku  bodohnya aku malah membuat alasan seperti itu! Bisa diamarahin aku! Rasa kantuk selalu membuatku suka bicara sembarangan dan tidak fokus. Tapi sepertinya keadaan sekarang memburuk.

“Begitu ya? Memang kamu semalaman ngapain aja? Sekolah itu bukan tempat untuk tidur, Andre!”, kata Pak Ishwar. “Dan rumah bukan tempat untuk belajar”, celetuk Andre.

Anak sekelas pun tertawa terbahak-bahak mendengarnya. Pak Ishwar hanya menghela napas setelah berdebat denganku dan kembali menuju bangkunya. Pak Ishwar pasti semakin lama semakin malas mengurusku, aku pun juga tak ada tenaga untuk melanjutkannya. Lagi pula kalau kujawab aku sedang bekerja semalaman hingga subuh pasti akan diberi surat peringatan. Sekolah ini kan melarang murid-muridnya bekerja.

Pak Ishwar adalah guru sejarah di sekolahku yang juga merupakan wali kelasku. Namun selain mengajar sejarah, ia juga mengajar PAI dan Bahasa Indonesia. Aku yang tidak memiliki satu pun mapel yang kukuasai merasa heran bagaimana cara bekerja kepala Pak Ishwar. Begitu pun guru lainnya. Semua guru di sekolah ini bisa mengajar 2 hingga 3 mapel karena kurangnya staff yang ada di sekolah. Guru baru yang ditempatkan di sekolah ini banyak yang mengundurkan diri karena tidak kuat menghadapi tekanannya.

Pak Ishwar sendiri adalah guru paling sabar yang pernah kutemui. Selain Pak Ishwar, semua guru di sekolah tidak menyukaiku. Aku memakluminya karena memang aku sadar bersikap kurang sopan kepada mereka.Tapi aku sendiri tak peduli dengan hal itu. Lagipula aku sekolah disini hanya sebagai formalitas saja demi mendapatkan ijazah. Selain itu Ibuku sendiri memang mengharapkan aku agar lanjut bersekolah. Maka, sesuai keinginan Ibuku, aku sekolah dari pagi hingga sore. Malamnya aku lanjut bekerja. Aku bekerja membantu pamanku mengurus bengkelnya. Pekerjaan yang terlihat mudah, tapi tetap saja melelahkan.

Semalam terjadi kecelakaan beruntun karena jalanan yang licin akibat hujan yang terus melanda. Tidak ada korban, tapi banyak yang mengalami kerusakan kendaraan. Kami pun kewalahan menghadapi orang-orang sepanjang malam. Aku sendiri baru pulang pukul 3 pagi tadi. Kemudian aku tidur sebentar dan langsung bersiap sekolah. Begitulah keseharianku selama 2 tahun duduk di bangku SMA.

Bel sekolah terakhir berdering, sekolah sudah berakhir.

“Baik anak-anak, sampai bertemu lagi minggu depan. Khusus Andre, kamu tetap di kelas. Ada yang mau Bapak bicarakan sama kamu. Bapak akan kembali setelah ini.”

Segera setelah Pak Ishwar mengizinkan untuk pulang, anak-anak bergegas keluar dari kelas. Menyisakan aku dan Utfan di kelas.

“Kenapa tuh kamu dicariin Pak Ishwar? Kamu ketahuan cabut kemarin ya?” tanya Utfan.

“Bolos apanya, aku kerja tau.Pekerjaanku lebih penting dibanding sekolah disini. Kau sendiri tahu itu. Pulang aja sana.” Aku sudah bosan melihat wajah Utfan setiap hari. Lutfan Pasha Ardiansyah, teman yang paling dekat denganku selama ini. Dia tipe yang banyak tanya dan pintar memancing orang untuk mengatakan jawabannya, alias manipulatif walau tidak bertujuan jahat). Pernah terbesit di kepalaku. Kalau dia menembak cewek dan ditolak, jawabannya mungkin bukan “Maaf kamu terlalu baik buat aku” melainkan “Maaf, mulutmu terlalu aktif buat aku” saking cerewetnya. Telingaku sendiri lama-lama bisa sakit kalau mendengarkan omongan dia terus.

“Tentu saja sebagai kawan yang baik aku harus menemanimu. Sedih hatiku bila meninggalkanmu sendirian degan Pak Ishwar.”

“Tutup mulutmu itu. Bikin jijik aja.” Bulu kudukku merinding mendengar perkataannya. Inilah kenapa aku malas berurusan dengannya. Utfan hanya tertawa mendengarnya.

Kepalaku berkecamuk memikirkan berbagai skenario alasan Pak Ishwar mau bertemu denganku. Mustahil aku ketahuan cabut. Karena tidak hanya sekali dua kali aku melakukannya dan aku tidak pernah ketahuan oleh guru manapun. Aku ini pandai membuat alasan daripada berhadapan dengan mata pelajaran.

Beberapa saat kemudian batang hidung Pak Ishwar terlihat. Ia kemudian masuk ke dalam kelas. “Loh, Utfan kamu belum pulang nak?” tanyanya heran melihat Utfan masih berada di kelas. “Nemenin Andre Pak. Kasihan kalau sendirian.” “Ngomong aja kamu disini mau nguping kan?” aku berbicara sepelan mungkin agar yang mendengar hanya Utfan yang saat ini duduk semeja denganku.

“Siapa yang tahu?” jawabnya sambil mengangkat bahu. Sebenarnya apa maunya. Membuat bingung saja.

Pak Ishwar diam sejenak. Sepertinya ia sedang memikirkan sesuatu. Pak Ishwar kemudian bertanya “Bapak sebenarnya hanya ingin berbicara empat mata denganmu Andre. Apakah kamu tidak keberatan ada Utfan disini?”.

Berbicara empat mata? Apa memang ada rahasiaku yang terbongkar oleh Pak Ishwar? Semoga saja bukan tentang pekerjaanku.

Aku tersenyum sinis kepada Utfan. Utfan tahu arti dari seyumanku. Ia pun menghela napas dan berdiri dari kursinya. “Kalau begitu saya pamit dulu ya Pak.” Utfan menyalimi tangan Pak Ishwar dan berjalan meninggalkan kelas.

Ting

Sebuah notifikasi pesan  terdengar dari saku celanaku. Aku pun mengambil hp ku dan menyalakannya. Sebuah pop up pesan terlihat dilayar hp ku. Pesan tersebut berasal dari Utfan bertuliskan “Goodluck Ndre”. Pesan itu membuat pikiranku tenang kembali. Walau menyebalkan memang benar Utfan adalah teman terdekatku. Setelah membacanya sekilas aku segera memasukkan kembali Hp ku ke dalam saku celana.

Sesaat setelah Utfan meninggalkan ruang kelas, Pak Utfan mulai berbicara.

“Andre, Bapak lihat akhir-akhir ini kamu lebih sering tidur di kelas di banding tahun lalu.” Pak Ishwar pun membuka pembicaraan.

“Namanya juga mengantuk Pak. Ya saya tidurlah” jawabku sekenanya.

“Bapak dengar kamu biasa kerja di bengkel ya waktu malam. Apakah itu benar?”

Bagai petir menyambar di siang bolong. Aku terkejut bukan kepalang. Seketika aku terdiam dan keringat mulai mengucur dari pelipisku. Aku hanya bisa menunduk dan berpikir. Kok Pak Ishwar bisa tahu? Aku kan bekerja mulai pukul 9 malam! Aku harus jawab bagaimana? Kalau aku jujur apakah aku akan di D.O.? Ibu pasti menangis jika aku di D.O.

Melihatku yang hanya diam saja, Pak Ishwar melanjutkan perkataannya. “Melihat reaksimu sepertinya Bapak benar ya. Mungkin kamu bertanya-tanya bagaimana Bapak bisa mengetahuinya. Tapi bukan itu yang terpenting. Kamu tahu konsekuensinya kan?” Perkataan Pak Ishwar semakin membuatku panik.

Aku pun memilih untuk menjawabnya dengan jujur. Tidak ada jalan keluar yang terlintas di kepalaku.”Benar Pak, saya memang bekerja.”

“Apakah ini karena keadaan ekonomimu?” tanya Pak Ishwar dan kujawab dengan anggukan.“Saya adalah putra sulung dari 3 bersaudara. Orang tua saya selalu mengeluh karena kurangnya dana untuk kebutuhan sehari-hari. Tentunya saya sebagai putra sulung ikut turun tangan mecari nafkah.”

Ekspresi Pak Ishwar terlihat bersimpati dengan keadaanku. Aku lupa ini sudah keberapa kalinya aku melihat ekspresi itu. Membuatku muak saja. Ujung-ujungnya mungkin Pak Ishwar hanya akan membiarkanku karena tak ingin ikut campur, sama seperti orang lain.

“Bagaimana kalau kamu membantu Bapak mengantar jajanan ke sekolah-sekolah lain saja setiap pagi? Kamu tahu kan kalau istri Bapak berjualan di salah satu kantin sekolah. Sebenarnya dia tidak berjualan hanya di sekolah ini saja. Ada beberapa sekolah lain di sekitar sini yang menjadi pelanggan istri Bapak juga,” Pak Ishwar pun menawarkan pekerjaan lain kepadaku.

“Kamu bisa mengantar jajanan mulai dari setengah 6 pagi. Sepulang sekolah kamu juga akan mengambil hasil penjualan maupun sisa jajanan yang ada. Lebih mudah bukan? Tentunya kamu akan mendapat bagian yang sesuai. Pekerjaan ini juga tidak akan mengganggu jam istirahatmu di rumah.”

Memang lebih mudah, tapi apa bagianku akan sama banyaknya dengan pekerjaanku saat ini? Aku sedang menimbang-nimbang penawaran Pak Ishwar dengan matang. Pak Ishwar sendiri membiarkanku memikirkan penawarannya.

“Masalah kebutuhan sehari-hari keluargamu, Bapak akan coba ikut membantu. Mungkin tidak banyak tapi semoga cukup membantu keluargamu.” Lanjutnya.

“Apa alasan Bapak berbuat baik kepadaku? Sebenarnya apa mau Bapak? Saya tidak punya apa pun untuk membalas kebaikan Bapak.” Berita yang disiarkan akhir-akhir ini membuatku was-was. Sekolah sekarang belum tentu menjadi zona aman bagi anak-anak. Penganiayaan, pemerasan, bahkan pelecehan banyak terjadi di beberapa sekolah. Apakah Pak Ishwar juga begitu? Kupikir tidak mugkin, tetapi aku tetap harus berhati-hati.

“Bapak tidak akan meminta ganti biaya sepeser pun darimu, Andre. Bapak tulus ingin membantumu dari lubuk hati Bapak.” Jawabnya.

“Tapi apa alasannya? Menjadi guru tidak menghasilkan banyak bukan? Karena itulah banyak guru menjadi stress dan menjadi-jadi. Lantas bagaimana Bapak bisa membantuku tanpa meminta kembali sepeser pun? Walaupun saya tidak pandai dalam pelajaran, saya tidaklah sebodoh itu untuk ditipu. Orang berkekurangan seperti saya selalu ditipu karena termakan iming-imingan seperti ini saat terdesak.” Aku berkata seperti itu bukan tanpa alasan. Aku selalu mengikuti berita. Akhir-akhir ini dunia semakin hari semakin mengerikan untuk meyakini jika orang berhati nurani masih hidup di dunia ini.

“Bapak tidak menyangka kamu berpikir sampai segitunya nak. Namun Bapak memang tulus ingin membantumu. Sejak menjadi wali kelasmu, Bapak selalu memperhatikan anak-anak Bapak. Yang Bapak khawatirkan adalah kamu Ndre. Kamu selalu terlihat lemas dan kelelahan setiap Bapak di kelas ini. Hari ini bahkan lebih parah rasanya. Bapak yakin tidak ada anak yang jahat, hanya ada anak yang sedang beradaptasi dengan lingkungannya. Walaupun terkadang hal itu justru merugikan diri sendiri bahkan orang lain,” Pak Ishwar kini mentap langit-langit kelas. Bagiku ia lebih seperti menerawang sesuatu.

“Bapak pernah mendapat nasihat dari bu guru SD Bapak. Beliau berkata ‘Anggaplah kamu berada di tengah jalan terjal, dan kamu berhenti di tengah. Bila terjatuh kamu akan gagal, dan bila berhasil mencapai puncaknya kamu akan sukses. Ibu akan mendorong murid-murid Ibu untuk mencapai puncaknya. Tapi jika Ibu dorong, maka kalian harus berjalan. Kalau kalian hanya diam di tempat, Ibu tidak tahu kalian akan terjun jatuh atau hanya akan terus berada di tengah jalan yang terjal itu’. Bapak dulu tak terlalu mengerti maksudnya. Sekarang setelah Bapak pikir lagi kalimat beliau amat bermakna. Bagi Bapak, menjadi guru bukanlah sebuah pekerjaan. Menjadi guru merupakan bentuk pengabdian kepada negara untuk membimbing kamu dan teman-temanmu sebagai generasi baru untuk mencapai masa depan yang lebih baik. Sesederhana itu, namun membutuhkan perjuangan yang tak mudah,”

Pak Ishwar kini kembali menatapku. “Terkadang memang ada oknum tak bermoral seperti yang kau katakan di dunia ini. Namun jangan pernah lupa dan teruslah percaya jika ada juga orang-orang seperti Bapak yang memang tulus membantu dari hati nurani.” Pak Ishwar menyunggingkan senyumnya kepadaku. Menghilangkan segala keraguan yang ada di hatiku.

Mendengar perkataan Bapak membuatku merenung kembali. Selama ini aku selalu berprasangka kepada orang lain. Hal itu membuatku tak memiliki teman dan tidak disukai banyak guru karena aku bertindak semauku, agar mereka tidak mengusikku. Aku terlalu takut untuk menerima orang lain di dunia yang semakin gila  ini. Karena itulah aku heran dengan Utfan yang masih mau berteman denganku.

“Lagipula Bapak juga berperan sebagai Ayah keduamu di sekolah ini. Jadi, apakah kamu mau menerima tawaran Bapak?” Pembicaraan ini pun kembali ke poin utamanya.

“Kalau begitu tawaran Bapak saya terima. Maaf bila perkataan saya tadi menyinggung Bapak.” Aku merasa menyesal mengatakan hal buruk di depan Pak Ishwar. Mendengar nasihatnya entah kenapa aku bisa merasakan ketulusan hatinya.

“Baguslah kalau begitu. Sebenarnya Bapak ingin berhenti membantu Istri Bapak karena sudah lelah selalu diburu-burui. Bapak sudah kewalahan dengan pekerjaan Bapak sekarang. Syukurlah ada kamu nak!” Rupanya Pak Ishwar memang kekurangan staff ya. Aku tertawa mendengarnya. Ya sudahlah. Lagipula aku memang membutuhkan pekerjaan bukan dan sudah menerima tawarannya.

Dengan begitu malamnya aku meminta izin kepada Pamanku untuk berganti pekerjaan. Untungnya Pamanku memberikan izin. Pada hari selanjutnya aku langsung bekerja sebagai distributor jajanan Istri Pak Ishwar. Begitu juga hari-hari berikutnya.

Ternyata setelah Pak Ishwar berdiskusi dengan para guru, aku diizinkan untuk bekerja secara khusus. Aku pun bersyukur karenanya. Pak Ishwar memberiku motivasi untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Aku akan berusaha menjadi seperti Pak Ishwar sedikit demi sedikit. Semoga di masa depan aku bisa membalas budi kepadanya. Hutang ini tidak akan pernah kulupakan seumur hidupku.

Beberapa tahun setelah aku lulus dari SMA, aku baru mengetahui bagaimana Pak Ishwar mengetahui aku yang bekerja di bengkel Pamanku. Rupanya secara kebetulan motor Pak Ishwar mogok di dekat  bengkel Paman.  Saat itu Pak Ishwar menggunakan masker, karena itulah aku tak mengenalinya. Pak Ishwar awalnya heran melihatku bekerja di bengkel. Ia kemudian menanyakan namaku. Dan disitulah Pak Ishwar mengetahui aku yang bekerja di bengkel Pamanku. Paman yang curiga menanyakan identitas Pak Ishwar. Ia pun kemudian menceritakan pekerjaannya sebagai guruku dan meminta merahasiakan kedatangannya.

Aku mengetahuinya dari Paman ketika ia keceplosan bercerita dalam acara pertemuan keluarga besar. Kini aku ingin segera bertemu Pak Ishwar untuk membalas hutang budiku. Ketika aku berkunjung ke kota sekolah lamaku, aku ingin langsung menemuinya dan menunjukkan kepadanya diriku yang sekarang sukses bekerja di sebuah perusahaan mesin internasional.

Cerpen ini dibuat oleh Nayla, siswa kelas X Animasi SMK N 11 Semarang. Cerpen ini merupakan hasil pantikan beberapa hari sebelumnya.  Menjelang hari Guru Nasional ini, Nayla sengaja saya tanya. “Dalam rangka hari guru nasional. Tulisan seperti apa yang akan kamu tulis”, tanya saya ke Nayla. Mengapa saya menanyakan kepada Nayla, tidak dengan murid lainnya. Sejak awal masuk kelas X, Nayla ini memiliki potensi sebagai penulis. Akhirnya ia masuk ke ekstrakurikuler Jurnalistik SMK N11 Semarang. Beberapa tulisan berita sudah saya upload di website SMK Negeri 11 Semarang. Namun saya belum pernah melihat hasil tulisan berupa cerpen yang dikirim.

“Belum terpikirkan oleh saya Pak”, jawab Nayla. “HGN berkaitan terkait dengan guru, peran guru dan sebagainya”, ungkap saya melalui whatapp. “Kalau begitu mungkin saya akan membuat sebuah cerpen Pak”, ungkap Nayla. “Sip. Saya tunggu karya cerpenmu. Biar saya sebarkan ke group Gerakan Sekolah Menyenangkan dalam skala nasional”, ungkap saya untuk menyemangati Nayla. Hanya itu bentuk apresiasi yang bisa saya berikan ke Nayla.

Hari ini, tepatnya Hari Guru Nasional, 25 November 2023 saya mendapatkan whatapp dari Nayla. “Assalamualaikum Pak. Ini cerpennya. Maaf saya lama membuatnya”, ungkap Nayla sambil mengirim tulisan cerpen di microsoft word. Sesuai janji, maka cerpen ini saya posting di http://diyarko.com dan saya kirim ke group GSM dan group lain. Apresiasi tidak harus hadiah berupa barang. Membagikan cerpen ini ke group agar bisa dibaca orang lain, adalah apresiasi yang saya berikan ke Nayla. Saya berdoa akan muncul tulisan-tulisan lainnya dari Nayla sehingga kelak akan memberikan kontribusinya terhadap dunia jurnalistik dan dunia tulis menulis. Aamiin.

Leave a Comment Cancel Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Exit mobile version