Mengajarkan tekad yang kuat kepada murid perlu dilakukan secara kontinyu oleh seorang guru melalui narasi-narasi cerita yang menarik. Tekad yang kuat dalam bahasa lain disebut aditana (sankerta) atau teteg (Jawa) mempunyai arti kukuh, ora obah-obah utawa panggah. Seseorang yang mempunyai tekad dan komitmen yang kuat diibaratkan sebagai karang, tidak akan goyah walau diterjang oleh badai atau apapun tetap berdiri tegak seperti karang dipinggir laut yang dihempas oleh gelombang laut yang sangat dahsyat. Menurut Pak Muhammad Nur Rizal, Phd founder Gerakan Sekolah Menyenangkan, seorang guru bukan mengajarkan materi yang hanya dihafalkan, namun kehadiran seorang guru mampu bercerita. Seorang guru sebagai story teller memiliki kekuatan yang lebih dahsyat untuk mempengaruhi para muridnya ketika hanya menyampaikan materi yang ada di kurikulum. Saya masih ingat ketika Pak Rizal menyampaikan bahwa landasan pendidikan di Negeri Cina bukan berorientasi pada teknologi, namun justru berlandaskan pada kebudayaan. Para murid di Cina terus diberikan storytelling tentang kejayaan Cina di masa lalu dengan harapan akan merasa bangga dan tergerak hatinya untuk belajar sehingga mampu menunjukkan karya terbaiknya yang patut dibanggakan. Berkaca dari apa yang dilakukan oleh Cina, maka guru-guru di Indonesia hendaknya mampu memberikan storytelling tentang kejayaan di masa lalu yang mampu membangkitkan para murid untuk memiliki tekad yang kuat sehingga di eranya akan menunjukkan karyanya yang patut dibanggakan. Anak-anak muda inilah sebenarnya pemilik masa depan, sehingga cap generasi stroberry harus dipatahkan.
Kali ini saya akan menceritakan sebuah kisah yang terukir di pahatan sebuah Candi Borobudur yang diakui sebagai warisan dunia oleh UNNESCO. Cerita tentang aditana atau tekad kuat yang dimiliki oleh Raja Dharmagavesi. Dalam cerita tersebut Raja Dhamagavesi yang bajik memiliki hasrat besar untuk mendengarkan ajaran Dharma dan meminta para menterinya untuk menyatakan di seluruh kerajaannya bahwa jika ada orang yang bisa mengajarinya Dharma, akan mendapatkan hadiah besar.
Di dalam relief tersebut nampak Raja dengan permaisurinya di panggung tinggi (sebelah kanan). Di depan mereka satu orang memegang kantong uang, sementara yang lain membawa peti harta. Relief tersebut menunjukkan bahwa Raja akan memberikan hadiah bagi siapa saja yang mampu mengajarkan Dharma.
Mendengarkan hasrat sang Raja, Sakra memutuskan utuk menguji tekadnya. Ia menyamar sebagai Yaksa (Raksasa) dan mengucap satu syair, yang membuat Raja bersuka cita. “Orang seharusnya hidup sesuai Dhamma, dengan perilaku baik, tidak dengan perilaku buruk; hidup sesuai Dhamma, orang hidup bahagia di dunia ini dan dunia selanjutnya. Raja meminta Sakra untuk melanjutkan. Namun Sakra berkata kepada raja bahwa ia akan melakukan jika raja menyalakan api selama tujuh hari-tujuh malam dan pada akhir waktu itu, raja harus menerjunkan dirinya ke dalam api.
Di dalam relief tersebut digambarkan ada kobaran api di altar (bagian tengah). Nampak raja berdiri di kanan altar, memegang teratai di tangannya. Di kiri duduk Yaksa besar dan tampak menyeramkan. Ia sedang menunggu raja untuk memenuhi janjinya.
Karena tekadnya yang kuat, Raja menyetujuinya dan setelah memahkotai putranya, ia melakukan apa yang diminta Sakra. Ketika ia terjun ke dalam api. Raja kemudian mendaraskan syair:”Wajan bara ini, menakutkan seperti obor api, akan jatuh ke dalamnya demi Dharma, bertekad dan tak peduli akan hidup. Melalui kekuatan kebajikanku, wajan bara akan menjadi indah, kolam teratai yang diisi dengan teratai yang punya kayu cendana dingin meresap ke dalam airnya”.
Saat melompat ke dalam api, api berubah menjadi kolam teratai dan raja tak terluka. Sakra kemudian menampakkan wujud aslinya dan mendaraskan syair pertama yang kemudian raja daraskan di seluruh kerajaannya.
Dalam relief tersebut nampak raja duduk di tengah dalam anjungan dan di kursi tinggi. Yaksa sudah berubah menjadi Sakra duduk di kanan dan dua dewa lainnya.
Dari relief tersebut kita banyak belajar bagaimana seorang Bodhisatwa yang pada masa lampaunya sebagai Raja Dharmagavesi yang memiliki tekad untuk belajar Dhamma. Ia tidak takut dengan kobaran api, bahkan bersedia membakar dirinya untuk mendapatkan ajaran Dhamma. Tekad yang kuat inilah yang perlu diwariskan kepada anak didik sebagai pemilik masa depan.
Cerita ini saya sampaikan kepada group kelas maupun group pengurus OSIS. “Insight apa yang didapat dari cerita tersebut. Sebagai generasi penerus bangsa, tekad kuat apa yang akan kalian tingkatkan?”, tanya saya di group.
“Dari yang saya lihat dapat saya ambil, relief ini bukan hanya gambar biasa yang fungsinya hanya sebagai hiasan atau memperindah, tetapi relief juga memiliki makna yang mendalam. Bermacam-macam gambar relief bermacam-macam pula maknanya. Salah satunya ialah memiliki tekad yang kuat. Untuk mencapai tujuan atau cita-cita, tentu diperlukan tekad yang kuat serta banyak pengorbanan. Seperti yang nampak pada relief tersebut, saya dapat mengambil hikmah yaitu, jika ingin mencapai suatu tujuan harus memiliki tekad yang kuat, berani mengorbankan sesuatu, mengusahakan apapun, pantang menyerah serta memiliki mental yang kuat. Setelah membaca artikel tersebut, saya menjadi lebih bersemangat, bertekad kuat dan akan berusaha lebih keras lagi dengan harapan ke depannya, saya dapat mencapai tujuan saya”,ungkap Hanna.
“Tekad yang kuat dan berani untuk mendapatkan ilmu, dan berani mengorbankan apapun demi mendapatkan yang diinginkan. Saya tetap ingin belajar sesuai skill yang saya punya dan bisa membeli kebutuhan (laptop) yang sesuai skill dengan tenaga sendiri, walaupun itu mungkin sepele di mata orang lain karena hanya ingin membeli alat, tapi saya menghargai dan sabar akan proses itu akan mendapatkan yang saya inginkan”, ungkap Yosepta. Sebuah tekad yang kuat untuk mendapatkan laptop dari hasil keringatnya sendiri, patut diapresiasi. Semoga cita-citanya segera terealisasi.