Beberapa waktu yang lalu, meskipun melalui chat whatsapp, saya menyempatkan diskusi dengan Pak Daryono seorang guru SD Negeri Pakintelan 01 Gunungpati Kota Semarang. Dalam diskusi tersebut, beliau mengapresiasi terhadap pemikiran saya terkait dengan budaya setempat perlu dilestarikan dan dijadikan sebagai konten pendidikan. Memang beberapa minggu ini saya mencoba membuat sebuah kelompok anak-anak animasi kelas X di SMK Negeri 11 Semarang yang akan mengerjakan project pembuatan film animasi dari beberapa panel relief Candi Mendut. Mengapa hal ini saya lakukan? Saya terinspirasi dari negara Cina dan Jepang yang mengalami perkembangan kemajuan yang pesat, karena meletakkan budayanya dalam arah pendidikannya. Bukan teknologinya sebagai arah kebijakan dalam pendidikannya, namun meletakkan warisan budayanya untuk memotivasi generasi muda menjadi lebih bangga. Dari kebanggaan inilah memunculkan motivasi, hasrat dan tekad untuk menciptakan teknologi yang lebih maju di saat ini. Matahari buatan salah satu produk negara Cina yang luar biasa sebagai bukti keberhasilan pendidikan negara Cina. Dalam obrolan ringan tersebut saya mendapatkan suguhan sebuah artikel yang membahas negara maju saat ini seperti Swedia membiasakan lagi teks cetak dan tulis tangan. Digitalisasi memang praktis, namun Kementrian Pendidikan Swedia melaporkan bahwa ada trend kemerosotan literasi dari periode 2016-20121. Dari perbincangan inilah, saya semakin mantap, untuk membawa pada kemajuan di masa mendatang dengan mengajak bereksplorasi dan berekreasi ke masa lalu. Relief Candi Mendut merupakan bukti nyata kemajuan peradaban Mataram Kuno di masa lampau. Ketika alam pemikiran siswa saya ajak untuk menggali lebih mendalam, tentang cerita-cerita fabel yang sudah tertulis di pahatan batu dalam bentuk relief, menunjukkan bahwa kita di nusantara tidak kalah dengan negara-negara lain seperti Cina dan Jepang. Di zaman itu kita sudah memiliki komikus yang handal.
“Ini justru saya setuju untuk menggali kembali kearifan lokal dari para leluhur kita. Disaat kita ingin menggali apa yang dulu pernah jaya dimasa itu, tentu kita harus mampu memahami psikologis atau keadaan batin leluhur kita saat itu. Bagaimana caranya? Keadaan batin yang mumpuni memang perlu diasah dilatih setiap saat, caranya cuma satu yaitu mawas diri “, ungkap Pak Daryono.
Dari percakapan melalui whatsapp ini justru saya kembali pada ingatan yang menggelitik, terkait cerita dari salah satu ahli arsitektur kita yaitu Yori Antar yang berkunjung ke negeri Tibet, ternyata catatan-catatan sejarah di Tibet menyatakan bahwa pesastrian di Swarna Dwipa (Sriwijaya) menjadi inspirasi perkembangan agama Buddha dan budaya di Tibet. Guru Darma Kirti dari Swarna Dwipa justru menginspirasi perkembangan agama Buddha di Tibet dan Jepang.
Ada yang menarik dan sangat menohok sanubari saya, ketika Yori seorang arsitektur yang berkunjung ke negeri Tibet dan menuliskan sebuah buku berjudul “Tibet Di Otak”. Dalam kata pengantarnya, Yori berkirim surat ke Dalai Lama. “Yang Mulia Dalai Lama, kami baru saja mengunjungi negeri Anda. Negeri Anda, negeri yang sangat indah dan sangat luar biasa, namun tidak banyak orang Indonesia yang mengenal negeri Anda. Negeri Anda seperti negeri legenda atau negeri dongeng. Kami ingin menceritakan negeri Anda dari kaca mata kami, kacamata Indonesia”. Ketika mendapatkan surat balasan, justru Yori sangat malu sekali atas surat balasannya. “Walaupun tidak banyak orang Indonesia yang mengenal negeri kami, tapi dari dahulu sampai sekarang kami selalu mengenang negeri anda, melalui guru besar kami yang mendirikan negeri kami, yang berasal dari India yang bernama Atisa Dipangkara. Atisa sebelum mendirikan negeri Tibet, telah berguru kepada seorang Lama bernama Lama Serlingpa (Swarna Dwipa) yaitu Dharma Kirti”, sekilas balasan dari Dalai Lama, tokoh pemimpin Agama Buddha yang terkenal di dunia. Merinding ketika saya menyaksikan video tersebut dan menggugah semangat saya mengobarkan api kebanggaan dari generasi muda ini terhadap budaya leluhur bangsa.
Dari kedua cerita terkait perubahan pendidikan negara maju justru kembali ke teks tertulis dan tangan serta perguruan tinggi di Sriwijaya yang dipimpin oleh Bhiksu (Lama) Dharma Kirti menjadi inspirasi perkembangan agama Buddha di Tibet dan Jepang, memberikan semangat saya untuk kembali pada budaya leluhur bangsa ini untuk mengajarkan arti sebuah kebanggaan terhadap nusantara ini.
Hal kecil yang saya lakukan, kali ini saya mencoba memantik Calista salah satu siswa kelas X Animasi SMK Negeri 11 Semarang untuk membuat komik dan film animasi dari salah satu relief Candi Mendut yang menceritakan tentang Singa dan Kambing, seperti pada relief berikut.
Di gambarkan dalam relief tersebut seekor singa sedang menyeret seekor kera, pada seutas tali yang diikatkan pada badan kera di hubungkan dengan badan singa, dan di belakang terlihat seekor kambing. Singa takut kepada kambing, maka ia mengikatkan dirinya kepada seekor kera yang pemberani. Keduanya lalu mendekati sang kambing, tetapi sang singa tetap saja masih punya rasa takut kepada sang kambing. Kata sang kambing : Hari ini kera membawakan aku seekor singa untuk santapanku. Singa ketakutan, karena mengira bahwa dirinya benar benar akan di makan oleh kambing. Maka sang Singa berlari sambil menyeret kera dan matilah kera.
Calista mengembangkan cerita dari relief tersebut menjadi sebuah komik dan pada akhir bulan Oktober, direncanakan film animasinya sudah jadi.
Inilah komik yang dibuat oleh Calista. Saya bangga ketika anak muda seperti Calista dan kawan-kawan mampu menghasilkan karya-karya yang mengulik kembali budaya nusantara.
“Karya seni ank anak-anak SMK Negeri 11 Semarang, yang berisi tulisan dan gambar kartun, yang diambil dari gambar relief di candi mendut, sangat menarik. Semoga selanjutnya proyek film animasi yang sedang dikerjakan, berjalan lancar sukses dan banyak yang mendapat manfaat. Semoga dengan pendidikan yang memerdekakan, akan melahirkan generasi yang bahagia, cerdas, kreatif, berkarakter dan berbudi luhur”, ungkap Bhante Saddhayano melalui whatsapp.
“Sebuah vibrasi yang terus merambatkan dayanya untuk senantiasa membawa semangat kepada orang-orang yang bersentuhan atau terkena vibrasi energi yang luar biasa dari pak Diyarko. Konsistensi dan ketekunan adalah kunci dalam sebuah karya yang luar biasa, saya punya kemantapan bahwa vibrasi positif yg selalu Pak Di sebarkan akan membawa perubahan yang sangat berarti di dalam dunia pendidikan saat ini. Bakti Sadhana, olah laku, olah rasa dan olah batin serta memodifikasi literasi karya leluhur dengan keadaan dan situasi kekinian adalah rangkaian kegiatan yang menjadi pintu masuk buat Pak Di dalam membuka wawasan anak-anak didiknya sampai pada kepekaan/kesadaran yang muncul dengan alami. Terus semangat dan pantang menyerah Pak Di”, ungkap Pak Daryono melalui whatsapp.
Semoga kebanggaan atas karya ini menjadi inspirasi bagi siswa lainnya untuk terus berkarya dan mencintai budaya negeri ini.