Apa yang dirasakan siswa ketika siswa sudah bersusah payah menyelesaikan tugas dalam pelajaran dan mereka mendapatkan respon yang negatif? “Karyamu kok seperti ini sih? Nggak sesuai standar banget, karya begini bagaimana laku, apa kamu gak memperhatikan tadi? Bodoh banget sih, membuat seperti ini saja tidak bisa”, dan segudang kata-kata yang dipandang cenderung memojokkan. Mungkin ini pernah kita rasakan di saat jaman kita belajar di sekolah. Dari sudut pandang guru, mungkin ini sebuah cara untuk menggembleng mental anak, agar mentalnya kuat. Namun apa yang dirasakan anak tentu berbeda dari apa yang diungkapkan oleh guru. “Sakitnya itu di sini”, mungkin pengalaman pahit itu akan terus tersimpan sepanjang hidupnya. Ketika ingatan itu muncul kembali dalam situasi tertentu, maka akan merasakan kembali kesedihan, kesal, marah, jengkel dan tidak jarang berakibat pada bad mood.
Mengapa hal ini terjadi? Dalam teori otak, ada dua sistem kerja otak yaitu kerja cepat dan kerja lambat. Sistem kerja cepat dilakukan oleh otak reptil dan otak mamalia. Otak reptil mengelola semua otomatisasi dan reflek di tubuh demi kelangsungan hidup kita, sehingga mampu mengkonservasi energi yang digunakan otak. Bagian otak ini mengotomatisasi kerja organ dalam tubuh, seperti: jantung, hati, paru-paru, dan lain-lain yang terkait dengan sistem pernapasan, metabolisme, reproduksi, hormon, suhu tubuh, bertahan hidup seperti: refleks untuk fight, flight, freeze (melawan, kabur, diam), melindungi dari bahaya. Bagian otak ini selalu menganggap semua adalah ancaman hingga terbukti aman. Bagian otak ini menyerupai otak Reptil. Mengapa seseorang ketika mendapatkan respon negatif seperti hinaan cenderung marah, jengkel, sedih, takut bahkan melawan? Karena kerja otak reptil ini yang lebih menguasainya.
Sistem limbik (amigdala) yang menyerupai otak mamalia ini juga dimiliki oleh manusia. Otak ini bertanggung jawab soal emosi. Bagian otak ini adalah pusat emosi (takut, sedih, marah, senang, jijik, terkejut, dan lain-lain), bertanggungjawab atas dinamika hormon dan sistem kekebalan tubuh. Letaknya begitu dalam di otak kita sehingga seringkali mampu mengambil alih kendali diri seseorang. Terlukanya perasaan jauh lebih sakit dan lama sembuhnya ketimbang luka fisik biasa. Otak mamalia tersebut juga memiliki kecenderungan alamiah yang sama dengan otak reptil yakni sebanyak mungkin mengkonservasi energi melalui otomatisasi, auto pilot. Kerja sistem limbik ini juga berlaku ketika ada stimulus positif, seperti penghargaan, pujian dan sebagainya maka akan merespon dengan munculnya hormon-hormon kebahagiaan, sehingga perasaan senang akan dirasakan oleh seseorang yang merasa bahwa dirinya bermakna.
Dari belajar teori otak ini, maka saya mencoba menerapkan pembelajaran di kelas terutama pada pembelajaran dasar-dasar animasi yang mengedepankan pada penghargaan. Dalam pembelajaran dasar-dasar animasi ini siswa diberikan tantangan-tantangan yang mengasah konsistensi dalam menggambar garis dan akhirnya sampai pada proses pembuatan karya garis yang diaplikasikan ke market place maupun dicetak dan dijual. Dalam proses pembelajarannya, setiap karya diunggah di Instagram dan linknya dikirim ke group whatsApp kelas X animasi. Di group inilah mereka dapat saling belajar dan saling menghargai. Setiap karya yang diposting di group, siswa disarankan untuk memberikan penghargaan seperti ungkapan kata-kata atau simbol yang menyatakan rasa menghargai. Fast respon menjadi bagian penting dalam pembelajaran ini. Oleh karena itu saya selalu menyempatkan diri untuk membuka hasil postingan dan sesegera mungkin memberikan respon. Hanya ada dua pilihan respon ketika menanggapi karya yang dikirim. Pertama, apabila karyanya sangat bagus, maka saya langsung memberikan respon “VGKL”, artinya very good kirim link . Karya yang sudah direspon VGKL Foto, maka siswa wajib mengirim karyanya melalui alamat link yang sudah ditautkan pada deskripsi group whatsApp yaitu https://s.id/dasar-animasi11. Siswa yang sudah dinyatakan “VGKL”, biasanya saya minta fotonya dengan tujuan agar bisa saya publish di status story whatsapp, dalam rangka ikut memamerkan dan memasarkan. Ini juga bagian dari proses menghargai karya siswa.
Karya mandala ini merupakan salah satu kiriman dari Erlangga kelas X Animasi setelah di group whatsapp mendapatkan respon VGKL F. Tidak lupa ia mengucapkan terima kasih dan mengirim foto ke group. “Yang saya rasakan ketika mendapat respon vgklf adalah sangat senang karena karya saya bisa mendapat apresiasi seperti vgkl”, ungkap Erlangga. Sederhana yang saya lakukan, namun benar-benar membuat hormon kebahagiaan muncul, karena otak limbik sistem yang saya sentuh melalui penghargaan, sehingga munculah perasaan senang dan akan terus melakukan proses membuat karya yang lebih baik lagi. “Membuat sebuah karya yang lebih baik dengan mengkoreksi karya yang saya sudah pernah saya buat”, ungkap Erlangga setelah saya tanya apa yang akan dilakukan selanjutnya. Memberikan penilaian bukanlah membandingkan proses dan produk karya seseorang dengan orang lain, namun membandingkan karya seseorang tersebut dengan karya sebelumnya. Inilah penilaian yang sesungguhnya sehingga mampu memicu hormon andrenalinnya untuk menampilkan karya yang lebih baik lagi.
Karya mandala ini dibuat oleh Azka dan Mutiara dikirimkan ke group whatsapp setelah ia mendapatkan respon “vgkl”. Masih banyak siswa lainnya yang terus berusaha menyelesaikan tantangan-tantangan ini dengan baik. Mereka berharap akan mendapatkan respon “VGKL” dengan cara menyelesaikan tantangan dengan sebaik-baiknya. Mereka sering menyebut sebagai “Pejuang VGKL”, sebuah ungkapan untuk memotivasi diri dan kelompok untuk mendapatkan respon VGKL.
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil refleksi siswa terhadap pembelajaran yang dilakukan sebanyak 54,2% siswa merasa tertantang dan 41,1% merasa sangat tertantang dengan pemberian tantangan pembuatan karya mandala, meskipun hanya 4,7% siswa yang merasa kurang tertantang. “Mandala adalah karya desain yang memiliki syarat membentuk lingkaran yang simetris dan rapi. Hal ini membuat saya harus memikirkan beberapa konsep yang sekiranya cocok dijadikan mandala. Apalagi kesannya yang kaku membuat saya bingung untuk pertama kalinya. Ini tantangan yang paling membuat saya harus berpikir berulang kali hingga tak terasa sudah 2 minggu sejak tantangan dimulai”, ungkap salah satu siswa. “Saya merasa tertantang karena saya harus memikirkan dan harus berpikir kreatif membentuk pola seperti apa yang selanjutnya harus saya gambar agar mendapat vgkl”, ungkap siswa lainnya.
Apa yang dirasakan siswa ketika mendapatkan respon “VGKL”? Berdasarkan data 72,9% siswa menyatakan sangat senang dan 24,3% merasa senang, meskipun masih ada 2,8% yang merasa biasa-biasa saja. “Karena untuk membuat mandala butuh perjuangan juga. Jadi ketika mendapat vgklf saya merasa di apresiasi”, ungkap salah satu siswa. “Awalnya saya merasa kesusahan dengan karya mandala, tetapi saya melihat teman teman saya mengerjakan karya mandala, saya merasa menjadi semangat dan tidak akan menyerah mengerjakan mandala”, ungkap siswa lainnya.
Kepuasan mereka dalam menyelesaikan tantangan ini berlanjut pada apa yang akan dilakukan selanjutnya. Kontinuitas dalam berkarya ini menjadi bagian penting, karena menunjukkan adanya keberlanjutan serta menggambarkan bahwa mereka haus untuk terus belajar.
Berdasarkan data yang diperoleh dari pengisian refleksi siswa, sebanyak 55% siswa berkeinginan untuk membuat karya mandala lagi untuk distock di market place, 17% siswa memiliki keinginan untuk mencetak mandala di mug, 25% siswa memiliki keinginan untuk mencetak mandala di kaos dan 30% menjawab lainnya. Data tersebut menggambarkan bahwa mayoritas siswa memiliki keinginan yang kuat untuk belajar. Inilah cara saya memberikan penghargaan. Meskipun hanya ungkapan “VGKL”, namun sangat berarti bagi mereka. Ungkapan “VGKL” merupakan penghargaan yang mampu melejitkan semangat baru bagi mereka untuk terus berkarya.