Membangun kesadaran diri siswa untuk memiliki rasa hormat dan berbakti kepada orang tua, jauh lebih penting daripada menjejali soal-soal yang endingnya hanya untuk mengejar nilai-nilai yang akan dipampang di sebuah dokumen penilaian yang disebut rapport. Nilai-nilai di atas kertas yang selama ini diberikan kepada siswa belum sepenuhnya mencerminkan karakter siswa itu sendiri. Apalagi penilaian yang dilakukan menggunakan soal-soal kognitif pada level hafalan dan pemahaman yang mungkin jawabannya sudah tersedia di internet. Sama sekali saya tidak merendahkan penilaian kognitif, namun dari pengalaman yang ada, apakah ketika siswa sudah memiliki pengetahuan kognitif secara hafalan tersebut secara signifikan memiliki karakter yang positif? Inilah yang menjadi pertanyaan besar di benak saya selaku pendidik.
Peran kita sebagai pendidik atau guru sejatinya adalah menuntun dari gelap menuju terang. Istilah guru berasal dari kata sanskerta gu dan ru. Gu berarti gelap dan ru berarti terang. Menuntun siswa dari pandangan gelap menuju ke pandangan yang lebih terang, bukan perkara mudah, namun bukan berarti sulit dilakukan. Untuk menuju pada pembentukan karakter tersebut diperlukan olah pikir, olah rasa dan olah laku. Dalam ajaran Ki Hajar Dewantoro lebih dikenal dengan Tri Nga (Ngerti, Nrasa, Nglakoni). Miris rasanya ketika di lingkungan sekolah, siswa sebenarnya tahu bahwa membuang sampah di tempat sampah yang disediakan, namun antara pengetahuan yang ia miliki tidak sesuai dengan apa yang dirasakan dan dilakukan. Buktinya ketika melihat lingkungan kotor, tidak merasa bahwa lingkungan kotor tersebut membuat dirinya bangkit untuk membersihkan. Itu contoh yang paling sederhana tentang kondisi lingkungan yang berkaitan dengan kebersihan, dan masih banyak permasalahan-permasalahan yang lebih kompleks terkait dengan psikologi siswa, seperti kerenggangan dengan orang tua yang menimbulkan masalah-masalah baru di sekolah. Untuk membangkitkan rasa cinta terhadap orang tua, apakah cukup dengan soal-soal yang bersifat kognitif? Tentu tidak bisa. Oleh karena itu olah rasa merupakan cara yang dianggap tepat untuk memantik agar perasaan siswa semakin tajam sehingga berlanjut pada olah laku.
Video klip berikut merupakan hasil karya Giwang Dinar Rahajeng. Ketika itu saya kirimi sebuah lagu dan saya minta untuk mengganti gambar-gambar yang ada video tersebut dengan foto-foto perjalanan Giwang dari bayi hingga sampai saat ini dan disesuaikan dengan lirik lagunya. Merinding ketika saya mencermati video ini, bahkan saya terbawa ke masa kecil saya dan saya pun hanyut dengan lamunan pada ingatan terhadap kedua orang tua saya yang berada di desa. Saya yakin dengan video klip ini, Giwang yang membuat akan hanyut pula pada masa kecilnya. Inilah yang saya sebut sebagai olah rasa.
Lirik dari lagu tersebut sebagai berikut.
Wiwit aku isih bayi, wong tuwo sing ngopeni (Sejak saya masih bayi, orang tua yang merawat)
Nganti tumeko saiki, lahir batin gemati (Sampai sekarang, lahir batin selalu peduli)
Mangkat sekolah disangoni, sandang pangan wus mesti (berangkat sekolah diberi uang saku, makan dan pakaian sudah pasti)
Mulo aku kudu bekti, mbangun turut ngajeni (Oleh karena itu harus bakti, mengikuti dan menghormati)
Ketika saya tanyakan apa yang dirasakan Giwang ketika mendapatkan tantangan membuat video klip ini? “Saya jadi mengigat masa kecil saya dulu dan sadar akan peran besar kedua orang tua dalam hidup saya pak”, ungkap Giwang. Ungkapan Giwang ini tentu dilandasi oleh kesadaran diri. Berawal dari kegiatan Giwang mencari foto-foto di masa kecil, ia pasti memperhatikan foto-foto tersebut satu demi satu. Ketika digendong, dirawat oleh ibu dan ayahnya, segala macam bentuk perhatian orang tua terhadap dirinya hingga sampai saat ini. Foto-foto tersebut memantik kesadaran Giwang untuk selalu mencintai kedua orang tuanya. Ketika saya tanya, apa yang akan dilakukan selanjutnya? “Bersikap lebih baik dan membuat kedua orang tua saya bahagia”, ungkap Giwang.
Sederhana apa yang saya berikan kepada siswa, yaitu berupa tantangan membuat video clip. Bukan masalah video clipnya, namun yang paling utama adalah memantik kehalusan rasa. Namun efek yang ditimbulkan lebih dari itu, siswa menjadi tahu bagaimana membuat video klip dan melakukan editing, sehingga gambar-gambar yang tampil sesuai dengan ketukan dan lirik lagu yang dilantunkan. Sekali merengkuh dayung, dua pulau terlampaui. Sekali memberikan tantangan, ada dua kompetensi yang dicapai, softskill dan hardskill.
Selalu mantaps . Terima kasih Pak.
Semoga anak2 tumbuh menjadi pribadi sholeh/ah, selalu sehat, bahagia dunia akhirat
Pingback: Video Clip Media Olah Rasa Pengurus OSIS - Diyarko.Com
Pingback: Pembuatan Video Clip: Bangkitkan Rasa Cinta terhadap Orang Tua – SMK NEGERI 11 SEMARANG