Jumat, 10 Februari 2023, saya tergelitik dan kagum dengan pola pikir dengan guru nyentrik ini. Sindu Lintang Pramudya, nama lengkapnya yang sering dipanggil Pak Sindu, sebagai guru di jurusan Animasi SMK Negeri 11 Semarang yang sering membimbing painting.
Beberapa hari yang lalu, Pak Sindu ini mengajak anak-anak yang memiliki passion painting untuk melaksanakan project riil di TK asrama Kowad Mrican. Enam siswa animasi yakni Novelia, Nafisa, Serenade, Skolastika, Dimas Andrew dan Andromeda benar-benar dilatih painting dengan media dinding. Mereka menghias dinding di TK tersebut sehingga menjadi nampak indah. Selama tiga hari, mereka mengerjakan project tersebut bahkan pada jam pelajaran di hari Senin, mereka mendapat izin dari sekolah untuk menyelesaikan project tersebut. Saya hanya bisa membuatkan perijinan bagi mereka yang akan melakukan project tersebut. Itu yang bisa saya lakukan hanya mengurangiĀ beban administrasi. Dengan surat sakti, berupa surat tugas dari kepala sekolah, mereka dapat lebih leluasa mengerjakan project tersebut, sehingga segala tenaga, pikiran dicurahkan untuk menghasilkan karya yang optimal. Menurut saya, inilah salah satu penerapan kurikulum merdeka. Kita sebagai guru hendaknya memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengeksplorasi potensi, dan mengembangkan secara optimal.
Paradigma ini belum sepenuhnya langsung diterima oleh guru-guru lain. Ada sebagian yang menanyakan bagaimana dengan sekolah mereka. Pak Sindu yang mendapatkan pertanyaan ini, justru menjawab secara sederhana. “Panjenengan itu guru kolot”, ungkap Pak Sindu dengan gaya yang khas sambil senyam-senyum. “Mungkin panjenengan lahir dari keluarga yang sudah mapan, bisa sekolah, bisa kuliah, habis kuliah diterima PNS sebagai guru. Datang, ngajar, pulang, istirahat. Besoknya sama seperti itu yang dilakukan, bertahun-tahun dengan kenyamanan seperti itu. Wajar panjenengan mempertanyakan hal itu. Karena panjenengan hanya memandang dengan sudut seperti itu, bahwa belajar itu ya datang ke sekolah. Bagaimana dengan anak-anak zaman sekarang, yang hidupnya saja sudah kental dengan teknologi digital. Persaingan jelas semakin ketat. Apa yang mereka butuhkan? Bukan kemampuan menyelesaikan soal-soal di atas kertas, bukan menyelesaikan ulangan-ulangan yang dipenuhi angka dan mendapat nilai angka tanpa makna. Mereka membutuhkan pengalaman nyata untuk diselesaikan, sehingga dari eksperimen dan berlatih terus menerus mereka akan mampu belajar hidup secara mandiri. Kalau hanya sebatas menyelesaikan LKS, mengerjakan soal-soal, mengapa harus sekolah. Cukup dengan membeli LKS, sambil menggembala kambing saja mereka bisa menyelesaikan, toh ada mbah Google yang bisa membantunya. Justru sambil menggembala kambing, sambil mengerjakan soal-soal itu, kambingnya gemuk, LKS juga dapat diselesaikan. Itu jika sekolah hanya sebatas menyelesaikan soal-soal di atas kertas. Memangnya, hidup itu hanya menyelesaikan soal, yang isinya benar dan salah sesuai dengan kunci jawaban?”, ungkap Pak Sindu.
“Mungkin panjenengan melihat tulisan angka 9 dan selamanya itu 9. Namun tidak salah ketika orang lain mengatakan bahwa angka itu sebenarnya 6, karena melihatnya dari sudut pandang yang lain”, sebuah ungkapan yang menohok bahwa kita sebagai guru harus menggunakan dari berbagai sudut pandang, bukan hanya memakai kaca mata kuda.
Saya bangga dengan pemikiran Pak Sindu seperti ini. Serasa saya mendapatkan amunisi, karena memang itulah pemikiran seorang guru yang growth mindset yang hendaknya dimiliki ketika hidup di zaman digital ini. Siswa sepantasnya diajak dan diberi tantangan yang bermakna. Project riil painting yang dilakukan, hanya sebagian kecil saja dari penerapan merdeka belajar. Bakat, passion dan talenta siswa harus dikembangkan sehingga mencapai versi terbaiknya. Project riil tersebut membekali jiwa kemandirian, komunikasi dan kolaborasi. Semoga tulisan ini membuka mata hati para guru yang masih memiliki pemikiran kolot tersebut untuk segera bertransformasi ke mindset yang selalu bertumbuh. Didiklah anak sesuai zamannya. Hanya dibutuhkan hati ketika mendidik, karena ketika guru hanya dikejar waktu untuk menyampaikan materi, jangan heran ketika kehadiranmu akan ditinggalkan muridmu, karena apa yang disampaikan akan tergantikan oleh mbah Google yang jauh lebih lengkapĀ dan lebih cepat.
Menjadi Guru itu menyenangkan karena tantangan selalu baru.
Beda anak, beda zaman tentu beda tantangan. Di tangan Guru yg terbuka dengan perkembangan zaman akan terbentuk pribadi baru yg kuat dan pandai memecahkan masalah sesuai zaman anak.
Terimakasih Pak Diyarko. Salam dari Berau
Saya sangat sependapat, saya juga sedang berjuang bagaimana kita para guru untuk memiliki pola pikir bertumbuh. Anak anak besok tak akan hidup dari angka angka dalam rapot. Ilmu tanpa pengamalan bukan ilmu yang bermanfaat. Memberi kesempatan seluas luasnya kpd anak anak utk mengembangkan diri mereka sesuai minat;bakat , kemmapuan dan passionnya sudah menjadi tanggung jawab guru. Mengubah paradigma dari tugas mjd project
Masa lalu adalah memori, masa sekarang adalah kenyataan, dan masa depan adalah imajinasi. Fasilitasi murid untuk mendapatkan pembelajaran dari kenyataan riil dan pengalaman langsung, agar mereka dapat merangkai imajinasi untuk kehidupannya di masa mendatang.