“Kalau kebahagiaan kita tergantung orang lain di luar kendali kita, maka kita akan menjadi budaknya”, sebuah ungkapan Novi Poespita Candra, Co-founder Gerakan Sekolah Menyenangkan, saat mengisi webinar tentang Stoikisme pada 25 Maret 2022 yang lalu di hadapan mahasiswa UGM. Kebahagiaan hendaknya diciptakan oleh diri kita sendiri, inilah point penting dari dari ajaran stoikisme. Orang-orang Stoik percaya bahwa emosi negatif yang menghancurkan manusia dihasilkan dari keputusan yang salah, dan bahwa yang memiliki “kesempurnaan moral dan intelektual,” tidak akan pernah mengalami emosi-emosi yang merusak kebahagiaan, misalnya marah berlebihan, panik berlebihan, sedih berlebihan dan sebagainya. Stoikisme sangat relevan untuk dijalankan sepanjang masa, apalagi di era VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, dan Ambiguity), dimana dunia yang kita hidupi sekarang terjadi perubahan sangat cepat, tidak terduga dan dipengaruhi oleh banyak faktor yang sulit dikontrol. Salah satu faktornya adalah perkembangan teknologi yang cepat, terjadi banjirnya informasi yang sulit dibendung menyebabkan kecemasan semakin meningkat. Secara teoretis, stoikisme mudah dipahami namun untuk merealisasikan dalam diri seseorang tidaklah mudah, dapat dilakukan dengan usaha yang kuat. Stoikisme memiliki tujuan agar seseorang memiliki self mastery atau penguasaan diri dan belajar bagaimana agar tenang dalam segala situasi, bahkan di era modern ini pola pikir stoikisme dapat dijadikan sebagai dasar pada terapi psikologis yaitu cognivite behavioral therapy, ungkap Novi dalamWebinar yang dihadiri puluhan mahasiswa.
Asumsi mendasar mengapa stoikisme perlu dilakukan oleh manusia karena manusia memiliki nalar yang menjadi penting bagi keteraturan dunia, dan manusia bukan satu-satunya elemen, ia hanya bagian dari alam semesta. Ketika esksistensi manusia merusak tatatanan semesta makan mengancam eksistensi manusia itu sendiri. Oleh karena itu dibutuhkan manusia yang bijaksana yang sadar akan keberadaannya setara dengan mahkluk lain di semesta dan kepentingan dirinya harus terinterasi terhadap kepentingan pihak lain. Jika seseorang bertindak selaras, maka akan merasa bahagia, merdeka dan hidup dalam harmoni.
Dalam pemaparannya Co-Founder GSM tersebut memaparkan bahwa prinsip yang perlu dipegang dalam stoikisme adalah kita bisa mengendalikan apa yang ada di dalam kendali kita seperti pikiran, tindakan dan perkataan kita. Dalam menyikapi hal eksternal, yang bisa kita lakukan adalah mengendalikan penilaian kita terhadapnya. Ketika mengendalikan faktor eksternal justru akan mendapatkan hasil yang sia-sia. Semakin kita mengendalikan faktor eksternal justru akan muncul kecemasan, kekhawatiran dan kekecewaan.
Berdasarkan apa yang diungkapkan oleh Co-Founder GSM tersebut saya menjadi teringat tentang sebuah kisah yang sebenarnya sangat relevan dengan prinsip stoikisme. Ada seorang perempuan sedang mencari-cari jarum di luar rumah. Kebetulan ada orang yang lewat melihatnya dan langsung bertanya, “Sedang apa, kok sepertinya mencari-cari sesuatu?”. “Saya sedang mencari jarum”, jawab perempuan tersebut. “Lha dimana tadi jarumnya jatuh?”, tanya orang tersebut. “Jarumnya jatuh di kamar saya”, jawab perempuan tersebut. “Kenapa kamu mencari di luar kamar”, tanya orang itu lagi dengan penuh penasaran. “Ya, karena di ruang kamar saya gelap, tidak ada lampu, makanya saya mencarinya di luar ruang yang tidak gelap”, jawab perempuan tersebut. Kisah itu sebenarnya memberikan sindiran kepada kita, sering kali kita mencari kebahagiaan di luar kendali kita, lupa bahwa kebahagiaan itu berasal dari kita sendiri. Pengendalian terhadap diri sendiri menjadi kunci untuk mencapai kebahagiaan sendiri. Pannavaro Maha Thera dalam bukunya “Melihat Kehidupan Ke dalam” memberikan ulasan bahwa ada tiga tingkatan niat dalam melakukan perbuatan baik. Niat yang paling rendah adalah untuk memperoleh nama baik, niat kedua adalah mencapai alam surga dan niat yang ketiga adalah membersihkan kotoran batin diri sendiri. Niat yang ketiga ini memiliki tingkatan yang lebih tinggi ketika kita melakukan perbuatan baik, semata-mata hanya untuk mengikis kekotoran batin diri sendiri. Melalukan perbuatan baik bukan karena mencari sanjungan, namun semata-mata untuk membersihkan diri demi mencapai kebahagiaan. Patut kita renungkan apa yang diungkapkan Pannavaro Maha Thera sebagai berikut.
Kita hendaknya melihat ke dalam, melihat perasan dan pikiran sebelum menanggapi yang di luar. Kita menderita bukan karena kenyataan, melainkan karena tidak mau menerima kenyataan. Melihat ke dalam adalah melihat dengan kesadaran. Menyadari perubahan yang selalu terjadi akan mengurangi kemelekatan terhadao segala sesuatu. Berkurangnya kemelekatan menjadi awal berkurangnya penderitaan. Sadarilah ini (Pannavaro Maha Thera)