Puput adalah seorang siswa yang menduduki bangku sma kelas 12, dia sangat menyukai melukis kebetulan arah pulang dari sekolahnya terdapat sebuah toko kecil yang menjual berbagai lukisan manual. Rumah Lukis, toko ini diapit oleh warung makan dan toko bangunan, area itu terlihat ramai sekali. Berbanding terbalik dengan rumah lukis, bangunan yang berada di tengah keramaian bak di anggap angin yang tidak ada wujudnya.
Semenjak puput mengetahui keberadaan toko itu, dia menjadi pengunjung setia bagi sang pemilik toko. Namanya pak Ginting, beliau sudah mendirikan toko ini dari tahun 2010. Setiap pulang sekolah puput tidak lupa mengunjungi toko itu, meskipun hanya sekedar melihat lukisan baru yang dibuat pak Ginting dan tidak membeli, hubungan puput dan pak Ginting semakin erat tiap harinya.
Pada suatu sore sudah waktunya puput pulang, seperti biasa puput tak lupa menjalankan ritual kesehariannya, pergi ke toko pak Ginting. Riang sekali dia berjalan, bersenandung , melompat-lompat. Ketika sampai di depan toko, alis puput berbidik bingung.
“Loh kok tutup warungnya, tumben” batinnya. Rumah Lukis itu tidak sepenuhnya ditutup masih tersisa sedikit cela untuk seseorang bisa masuk ke dalamnya. Puput mengintip, terlihat pak Ginting siap dengan segala alat lukis beserta medianya, namun tak kunjung juga mulai melukis seperti menunggu seseorang. Puput ingin sekali melihat pak Ginting melukis, dia hanya mengintip ikut menunggu.
“Puput?, ngapain kamu di situ sini masuk, kamu itu tak tungguin kok yo malah ngintip disitu aja,” ucap pak ginting. “Eladalah, pak nungguin aku to?, yok kok ndak bilang kan aku ndak tahu, hehe” sambil menggaruk kepala, tanpa dosa. “Sini duduk”, pak Ginting menarik sebuah kursi menghadap ke sebuah kanvas besar dan menyuruh puput untuk duduk disebelahnya. Puput hanya diam, dia kebingungan sendiri. “Duduk dulu sini,” ucap pak Ginting setelah menyadari puput yang tak kunjung datang menghampirinya.
“Kamu pernah bilang ke bapak, katamu suka melukis, tapi kok bapak gak pernah tuh lihat lukisanmu.” “Oh iya ya…, sebenarnya aku suka lukisan pak bukan melukis”. “Ckckc, anak jaman sekarang ya, suka e membalik-balikan fakta”. “Hehehehehehehe, ya dak gitu to pak”
“Sekarang kamu belajar melukis bareng saya, sebutan kerennya apa to sekarang,” pak Ginting terlihat bepikir keras sekali “peret?, les peret?” terbata-bata ingin menyebutkan sebuah kalimat. “les privat?” “Nah iyaa les pr..vet..privat!”. “BWAGAHAHAFAGAGHAGA,” puput tertawa terbahak–bahak hingga terjatuh dari kursinya, menertawakan pak Ginting, untung saja mereka dekat kalau tidak puput sudah menjadi anak durhaka, memang.
Matahari mulai tenggelam, langit sore terlihat indah sekali. Pembelajaran melukis yang damai, puput belajar banyak trik melukis dari pak Ginting. Tidak hanya melukis saja, mereka juga membicarakan banyak hal. “Ternyata melukis ndak semudah itu ya pak” disela-sela melukis, puput mengeluh dan beristirahat sebetar. “Gampang sih, tapi melukis sampai menghasilkan sesuai ekspektasi itu yang susah,” puput lesu meratapi lukisannya yang menurutnya, seperti hasil dari kerja keras seorang anak TK. “Ya kamu kan yo masih belajar Put, semua yang masih dijalani di tahap awal ndak ada yang mudah”, ucap pak ginting sambil ikut merebahkan badan, beristirahat. Mata puput menamati seluruh ruangan, rumah lukis ini kecil sekali hanya satu petak, banyak lukisan-lukisan yang digantung hampir diseluruh ruangan.
Puput sadar banyak sekali lukisan lama yang belum berganti, dan tumpukan lukisan baru yang entah mau ditaruh dimana, tergeletak menumpuk dipojok ruangan. “Pak, memangnya bapak setiap hari hanya ditoko ini?”, tanya puput. “Bapak buka toko setelah pulang kerja put, bapak kerja di pabrik”. “Owalahh, puput liat banyak lukisan yang bapak buat, kenapa ndak berkurang pak, seharusnya kan begitu to, bapak kan jualan”.
“Kamu pake tanya, ya ndak laku to lukisan bapak”. “Kalo gitu apa nggak rugi pak, modal melukis kan gede”. “Masih ada yang beli lukisan bapak, banyak juga yang mampir tapi seringnya hanya bertanya, ndak beli, kamu ini to salah satunya yang sampai ada jadwal datangnya.” “Hehehehe kan aku mau nemenin pak Ginting.”
“Ya begini lah, seorang pekerja seni ndak selalu sukses, banyak karya yang nganggur ndak ada yang mau beli, tapi yo nek kamu suka ngelakuinnya lebih baik ndak usah berharap apapun to, kalo ngarep nanti jadi ndak suka melakukannya lagi”. Puput hanya terdiam menatap sinar senja yang menerangi seluruh ruangan.
“Apalagi kalo kamu ragu-ragu menjalaninya, yo kamu malah yang rugi, orang kamu udah suka, seneng kenapa harus ragu-ragu yo ndak?” Pak ginting duduk dan menengok puput yang sedari tadi hanya terdiam. “Iya pak, aku selalu ragu buat ambil keputusan, ndak kayak pak Gi, berani”
“Loh kamu ini, kok malah membandingkan diri kamu sama saya, nasib hidup kamu sama saya beda nok, jalani apa yang kamu mau, saya bilang begini biar kamu kedepannya lebih berani, nanti kan yo kamu sadar sendiri” pak ginting memalingkan padangannya menuju kanvas kembali. Istirahat cukup, waktunya melanjutkan apa yang sudah dikerjakan tadi.
Puput memulai kembali menuangkan warna pada canvasnya, selang beberapa waktu. “Pak kedepannya saya mau belajar lebih banyak soal melukis ini, bimbing saya nggih pak”. “Kalo kamu mau, yo saya bantu, nanti setiap kamu ke sini saya ajari”. “Terimakasih pak”. “Saya nok yang berterimakasih, karena kamu mau belajar hal baru dengan saya, saya juga berterimakasih kamu sering datang kesini, saya jadi ndak merasa sendiri lagi”
Sore ini puput mendapat banyak pelajaran, hal–hal yang selama ini hanya dia pahami dengan melihat sisi buruknya saja, berganti ajaib karena obrolan singkatnya bersama pak Ginting. Selama ini puput lalai, dia hanya tahu pak Ginting hanya suka melukis, puput tidak pernah melihat perjuangan pak Ginting untuk terus mempertahankan rumah lukis yang memang selama ini sepi pengunjung. Kepingan–kepingan remeh yang tanpa sadar mengubah sebuah pemikiran, hal ini terus terjadi setiap puput sedang bersama pak Ginting. Bersamanya puput menjadi pribadi yang lebih percaya terhadap kemampuan dirinya sendiri. (Penulis: Giwang Dinar Rahajeng)
Giwang salah satu dari sekian banyak siswa yang terus berkarya. Karya Giwang ini bukan semata-mata untuk mengejar nilai. Meskipun di hari libur, Giwang tetap membuat karya-karya sesuai passion dan talentanya. Ia memiliki talenta di bidang menulis, maka ide dan pemikirannya di benak kepalanya ia selalu tuangkan dalam bentuk tulisan. Kadang kala cerpen, kadang kala berita yang disertai dengan coretan gambar ilustrasi yang mendukung tulisannya. Bangga saya melihat sosok Giwang yang terus berkarya. Inilah yang disebut dengan passion. Passsion bukan sekedar bakat, namun ia berani menerima tantangan untuk meningkatkan greatnya. Ia tidak peduli apakah karyanya akan dinilai oleh orang lain, akan mendapatkan pujian, mendapatkan nilai di rapport atau tidak. Yang jelas Giwang terus berkarya sebagai aktualisasi diri.