Gambar ilustrasi yang apik tersebut merupakan karya terbaik dibandingkan dengan karya-karya sebelumnya yang sudah pernah dibuat oleh Giwang, siswa kelas X Animasi. Di dalam instagramnya dideskripsikan tentang isi dari gambar ilustrasi yang dibuatnya. Tari topeng Cirebon menjadi wadah penyebaran agama Islam pada masa Sunan Gunung Jati, pada tahun 1470. Topeng yang menjadi ciri khas dari tari ini sungguh menyeramkan, setiap lekukan yang bergerak menggambarkan kekuatan.
Namun, tari ini dikemas menjadi sebuah pertunjukan yang menggambarkan ketakwaan manusia dalam beragama. Makrifat atau Insan Kamil merupakan tingkatan tertinggi di kehidupan manusia dalam beragama dan sudah sesuai dengan syariat agama.
Hakikat merupakan sebuah gambaran tentang manusia berilmu. Sehingga mereka sudah memahami tentang hak seorang hamba dan Tuhan Sang Pencipta. Tarekat merupakan penggambaran manusia yang sudah hidup dan menjalankan agamanya dalam kehidupan sehari-hari. Syariat merupakan gambaran manusia yang telah memasuki dan juga mengenal ajaran Islam.
Itulah sekilas tulisan di bagian deskripsi yang Giwang buat untuk melengkapi gambar ilustrasi dari sebuah tantangan bebas bertema budaya nusantara. Tulisan tersebut menandakan bahwa selain ia berusaha menggambar sebaik mungkin, ia juga berliterasi untuk mengetahui tentang kisah di balik tarian topeng Cirebon. Karena penasaran saya pun bertanya tentang lama pembuatannya. “Nok. Yg gambar tarian topeng itu butuh berapa lama membuatnya?”, tanya saya melalui whatsapp. “Proses pembuatannya selama 5 hari, karena saya sambi sama kegiatan lain jadinya saya cicil pak Di”, jawab Giwang. “Kalau dihitung jam saat membuat, totalnya berapa jam?”, tanya saya lagi lebih detail. “Hampir 30 jam pak”, jawab Giwang.
Menurut penuturan Giwang, karya ini paling ia sukai prosesnya. “Lebih ke karya yang sangat saya sukai proses pembuatannya pak, meskipun detail bajunya lumayan rumit”, ungkap Giwang. Memang karya ini menurut saya paling baik dibandingkan karya sebelumnya. Selama ini ia lebih banyak membuat karya-karya yang masih gambar manual dengan pensil. Meskipun ia sudah pernah membuat karya digital dengan proses pewarnaan, namun hasilnya belum sedetail gambar penari topeng di atas.
Jika dilihat dari karakter Giwang, ia lebih menikmati proses dari setiap apapun yang ia kerjakan. Hasilnya bagi Giwang urusan belakang.
Sebagai guru, saya merasa bahagia ketika anak didiknya memiliki prinsip ini. Namun tugas guru bukan berhenti sampai di sini, guru harus mampu memantik dan membuat sadar bahwa potensinya harus melesat sehingga mencapai versi terbaiknya. Malam ini saya mencoba bertanya, “Apa yang dibutuhkan agar menghasilkan kualitas yang sama, namun waktunya lebih pendek?”. Pertanyaan ini sengaja saya lontarkan kepada Giwang karena melihat bahwa waktu yang dibutuhkan untuk membuat karya itu relatif lama, sedangkan orang yang bergerak di industri kreatif saat ini diperlukan waktu yang singkat namun hasilnya berkualitas baik.
Dari pertanyaan tersebut, Giwang memberikan jawaban. “Tidak mengesampingkan pekerjaan Pak, karena selama saya di sekolah dan bukan saat pembelajaran animasi saya masih banyak menghabiskan waktu bersama teman-teman saya padahal banyak sekali jam yang tersedia”, ungkap Giwang. Jawaban Giwang ini sebuah jawaban yang sangat jujur, dan ia menyadari bahwa dirinya belum efektif memanfaatkan waktu yang tersedia. “Tapi yang sering muncul itu godaan untuk malas. Bagaimana usaha mbak Giwang mengatasi hal ini?”, tanya saya selanjutnya. Sengaja pertanyaan yang menohok ini saya ajukan untuk menuju pada kesadaran diri. Bukan nasehat, namun sebuah pertanyaan yang saya giring untuk menuju pada strategi yang perlu diciptakan untuk mengatasi hambatan yang selama ini menyertainya. Lagi-lagi saya tertegun atas jawaban Giwang. “Melihat kedua orang tua saya pak. Saya sering sedih ketika melihat kedua orang tua saya kecapean selepas bekerja, hal ini mendorong saya untuk terus serius dalam menjalani tujuan saya. Meningkatkan mood juga salah satu usaha saya dalam mengerjakan sesuatu pak, sering saya memberikan penghargaan waktu kepada diri sendiri, contohnya setelah saya menyelesaikan tugas/karya saya akan menghabiskan waktu menonton serial drama kesukaan saya”, ungkap Giwang dengan panjang dan lebar.
Ada sebuah strategi yang dilakukan Giwang untuk mengatasi kemalasan, yaitu dengan melihat orang tuanya. Sebuah empati yang muncul, ketika melihat orang tuanya bersusah payah bekerja menghidupi keluarga, membuat ia bersemangat untuk mencapai kesuksesan atas impian besarnya.
“Cara yang bagus. Karya apa yang akan dibuat selanjutnya, untuk membuktikan bahwa karya dengan kualitas sama, namun waktu lebih sedikit. Supaya ada proses naik level lagi?”, tanya saya untuk meyakinkan bahwa Giwang akan melakukan tindakan yang meningkatkan levelnya. “Rencana saya, setelah menyelesaikan tantangan dari industri, saya akan membuat karya yang menggambarkan kecantikan seorang perempuan, atau mungkin penari”, jawab Giwang. Kita tunggu hasil karya Giwang selanjutnya. Itulah sekilas perjalanan Giwang yang mengalami proses peningkatan kualitas dalam berkarya. Semoga cepat meraih mimpi besarmu ya Nok. Cintai dan nikmati proses yang engkau jalankan.