“Niat jahat dilandasi oleh kebodohan akan menimbulkan penderitaan dan penyesalan”, sebuah pesan moral yang disampaikan dari sebuah cerita fabel antara buaya dan kera yang terukir indah dalam pahatan relief di dinding Candi Mendut oleh leluhur nusantara.
Jika dicermati lebih lanjut, relief tersebut diukir dalam beberapa lempengan yang disusun secara rapat. Tanpa adanya bahan lem, beberapa lempengan batu tersebut dapat disatukan dengan saling mengait secara kokoh. Panel relief tersebut diambil dari Jataka Buddhis yang menceritakan tentang seorang bhodissatwa menjelma menjadi seekor kera dan tinggal di kaki gunung himalaya di tepi sungai gangga. Di aliran sungai gangga ini, hidup sepasang buaya. Buaya betina ingin sekali memakan hati sang kera, karena itu si buaya betina memohon kepada buaya jantan untuk membunuh sang kera dan mengambil hatinya. Buaya jantan pun mengabulkan permintaan dari buaya betina. Buaya jantan mengajak sang kera menyeberangi sungai gangga. Di tepian seberang ia berkata, “Di seberang sungai terdapat pohon lengkap dengan buah buahan yang lezat dan segar”. Sang kera naik ke punggung buaya dan mengikuti ke mana arah perginya buaya jantan tersebut, hingga sampai berenang di tengah tengah sungai. Akan tetapi di tengah tengah sungai, buaya sengaja menjatuhkan kera ke dalam air sungai, lalu berkata “Kera sahabatku, aku sengaja akan membunuh engkau, karena aku menginginkan hatimu, untuk aku berikan kepada istriku sebagai obat”. Sang kera yang cerdik dengan cepat menjawab, bahwa hatinya tertinggal di atas pohon di tepi sungai. Dan buaya jantan percaya saja dengan perkataan sang kera, bahkan sang buaya mengatakan janji tidak akan membunuh kera jika sang kera menunjukan di mana hatinya di tinggalkan. Sang kera pun di antar kembali menuju ke tepian sungai di mana banyak sekali pepohonan di sana. Sesampainya di tepi sungai kera segera melompat dari punggung buaya jantan, lari ke atas pohom dan menyelamatkan diri.
Cerita tersebut selanjutnya oleh Zahra Salima, siswa kelas X Animasi diubah menjadi cerita animasi. Dengan berbekal kemampuan menggambar ia mampu menyelesaikan tantangan yang saya berikan ini selama 2 bulan.
Proses pembuatan film animasi ini dilakukan dengan beberapa tahapan, yaitu membuat script cerita, membuat gambar komik dan selanjutnya dibuat gambar gerak (animasi), melakukan dubbing dan editing. Zahra Salima merasa bangga di saat kelas X ini sudah bisa membuat film animasi. “Terima kasih banyak Pak Di, telah memberikan platform agar saya bisa mencoba membuat animasi pertama kalinya”, ungkap Zahra melalui whatsapp. Dari 144 murid kelas X Animasi, ada 11 murid yang masuk dalam project ini. Inilah yang disebut akselerasi atau percepatan. Sebelas murid ini memiliki kesamaan dalam kebutuhannya, karena mereka memiliki kesiapan yang hampir sama yaitu kemampuan menggambar yang baik secara manual maupun digital. Dari aspek minat, kesebelas murid tersebut memiliki minat membuat animasi 2D. Pembelajaran akselerasi ini mengedepankan pada kebutuhan murid, sehingga tantangan yang diberikan bukan menjadi beban, justru menjadi sesuatu yang menantang untuk diselesaikan dengan kesadaran dirinya.