Ketika Karya Dihargai Satu Digit

Apa yang terjadi ketika dunia SMK pembelajarannya berorientasi pada uji kompetensi dari Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP)? Pertanyaan ini tentu saja akan ada yang pro dan kontra terhadap uji LSP. Saya tidak menyalahkan keduanya, namun dalam tulisan ini akan saya paparkan dari dua sudut pandang yang berbeda yaitu dari sudut pandang yang pro uji LSP dan yang kontra terhadap uji LSP.

Ketika dunia SMK cenderung berorientasi ke uji LSP, maka sebagai outputnya adalah siswa dapat lulus uji LSP. Agar lulus uji LSP, maka pembelajaran perlu menyiapkan materi-materi yang akan diujikan dalam ujian kompetensi melalui jalur LSP. Memang terlihat terarah dan prosedural, karena sejak awal pembelajaran sudah dirancang sehingga endingnya siswa dapat lulus ketika ada uji LSP. Namun apa yang terjadi selanjutnya ketika pembelajaran lebih berorientasi pada uji LSP? Meskipun kelihatannya teratur dan terarah, namun tanpa disadari kita sebagai guru sudah mengebiri potensi siswa. Seharusnya siswa mampu melakukan lompatan yang lebih, karena dibiasakan dan dibatasi untuk mempelajari materi yang akan diujikan di uji LSP, maka siswa hanya mampu melakukan lompatan dengan ketinggian yang sudah ditentukan dari uji LSP ini.

Sebaliknya, ketika SMK tidak terlalu berorientasi pada uji LSP, namun lebih berorientasi pada kebutuhan pasar dan perkembangan zaman, dan tentu saja siswa diberikan tantangan-tantangan yang melebihi ekspectasi dari apa yang tertuang dalam kurikulum, maka ada peluang besar siswa mampu melakukan lompatan yang lebih tinggi. Karena tidak ada batasan-batasan, sehingga siswa akan dapat berpikir, merasakan dan bertindak di luar ekspectasinya. Tentu saja proses ini diperlukan konsistensi guru dalam memberikan tantangan dengan tidak hanya mengejar nilai dan untuk mengejar lulus ujian, entah ujian tertulis, uji kompetensi yang penilainya dari guru itu sendiri ataupun dari assesor LSP. Sekali lagi saya tidak merendahkan assesor, namun apakah ada jaminan ketika siswa lulus uji LSP, sertifikatnya laku di pasaran. Era saat ini, ijasah termasuk sertifikat tidak menjamin kualitas seseorang. Jika orientasinya bukan uji LSP lalu apa orientasi pembelajaran di SMK? Arah pembelajaran di SMK harus selalu mengikuti perkembangan pasar dan memikirkan lebih jauh beberapa puluh tahun ke depan. Hal ini memang tidak mudah, namun bukan berarti sulit dilakukan. Ketika secara konsisten kami di jurusan animasi SMK Negeri 11 Semarang selalu memberikan penekanan-penenakan tentang kemandirian finansial, maka akan berdampak pada perubahan mindset siswa bahwa sebelum lulus, mereka harus memiliki penghasilan sendiri. Konsisten membangun mindset ini sudah mulai nampak saya rasakan.

Pagi ini, 28 April 2023, di group whatsapp salah satu siswa kelas XI yang bernama Reynaldi mengirim postingan karya modeling 3D melalui link instagram dengan hasil seperti pada gambar berikut.

Setelah memberikan respon dengan acungan jempol, tanpa basa-basi saya menanyakan berapa finansial yang diperoleh. “Satu digit Pak, mirip dengan harga sebelumnya”, jawab Reynaldi. “Wow, berarti sekitar 2,2 juta rupiah”, tanya saya lebih lanjut. “Ya pak, kisaran segitu”, jawab Reynaldi. Seketika saya menyampaikan selamat kepada Reynaldi yang terus konsisten membuat project-project yang beraorientasi pada kebutuhan pasar. Pengalaman pertama, Reynaldi mendapatkan finansial sebesar lima ratus ribu, pada project selanjutnya mendapatkan 2,2 juta dan pada project yang ketiga ia mendapatkan finansial sekitar 2,2 juta lagi. Kira-kira ketika Reynaldi ini mengikuti uji LSP dengan cluster modeling 3D akan lulus? Saya memiliki keyakinan bahwa Reynaldi ini akan lulus uji LSP. Inilah keuntungan pembelajaran yang orientasinya bukan sekedar untuk lulus uji LSP, namun lebih mengejar kebutuhan pasar, maka secara otomatis akan mampu melampui uji LSP. Sudah saatnya kita kembali arah mendidik, yakni membimbing, menuntun siswa untuk mengembangkan potensi yang dimiliki sehingga mencapai versi terbaiknya masing-masing, bukan sebagai objek untuk ujian-ujian. Biarlah mereka melakukan ujian sendiri, dengan membandingkan kompetensinya dengan kebutuhan pasar dan lingkungan sekitarnya. Ketika siswa sudah tertatam pada dirinya untuk melampaui target yang diinginkan, maka mereka akan selalu haus akan pengetahuan dan kompetensi yang ingin diraihnya, bukan karena standar-standar yang ditetapkan. Apalagi perubahan yang sangat cepat berdampak pada standar-standar yang selalu berubah pula. Mungkin saja, standar yang ditetapkan pada uji LSP saat ini, untuk waktu ke depannya sudah tidak relevan lagi.

 

1 thought on “Ketika Karya Dihargai Satu Digit”

  1. Luar biasa , anak ini pantas disuport supaya bisa lebih memaksimalkan potensi yang dimiliki , semoga anak saya yasin bisa memngikuti jejaknya

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *