Pagi-pagi, 15 Februari 2023 ketika saya berada di kelas teori O3 sedang mengajar dasar-dasar animasi untuk siswa kelas X Animasi 4 SMK Negeri 11 Semarang, sedang asyik-asyiknya memberikan penjelasan tentang bercerita melalui foto yang paling berkesan yang akan diposting di Instagram, tiba-tiba ada notifikasi masuk, menandakan ada pesan yang masuk melalui whatsapp. Dengan terpaksa kubuka android yang tergeletak di meja, tentu saja saya meminta ijin kepada siswa untuk membukanya.
“Permisi pak saya dan teman teman seperti minggu kemarin mau izin keluar kegiatan fotografi saya, Nuno dan Febrian”, pesan dari Yusuf. “Apa ini pas pelajaran produktif?, jika iya
Kamu ijin ke guru mapel produktifnya siapa hari ini. Beri alasannya, bahwa foto foto itu akan dimasukkan ke sutterstock”, balas saya dengan perasaan bahagia.
“Iya Pak hari ini ada jam produktif semua, baik Pak”, jawab Yusuf.
Mungkin sebagian guru tidak akan suka dengan pola yang dilakukan Yusuf, ia sudah sering ijin keluar. Namun bagi saya justru kebahagiaan tersendiri, karena saya memandang dari sudut pemikiran siswa. Ketika saya mencoba menggunakan sepatu mereka, pola dan pikiran saya kembali menjadi siswa. Justru saya bangga dengan Yusuf dan kawan-kawannya. Mereka ingin belajar di luar dan pulang-pulang membawa hasil. Yusuf yang menyukai dunia fotografi, ketika jam pelajaran produktif animasi akan terus mengembangkan potensi, bakat dan talentanya di bidang fotografi. Mereka berharap karya fotografinya akan laku di pasaran. Mereka berharap potensinya akan melesat bagai anak panah yang sudah dilepaskan dari busurnya dengan tarikan yang kuat. Saya pun berharap mereka akan mencapai versi terbaiknya di bidang fotografi. Inilah yang kami maknai merdeka belajar. Merdeka yang berasal dari kata mahardika, yang artinya nomor satu. Setiap peserta didik tidak ada yang nomor dua, tiga dan seterusnya. Mereka menjadi nomor satu di bidangnya masing-masing.
Beberapa jam kemudian saya melihat kiriman kegiatan mereka. Ternyata mereka hunting foto di pasar.
“Kita di sini juga berbagi kebahagiaan dengan cara memotret orang lain”, ungkap Febrian.
Mereka bukan sekedar hunting mencari objek yang menarik untuk difoto, namun mereka juga berbagi kebahagiaan dengan orang-orang yang ditemui. Kegiatan mereka sebagai kegiatan yang bermakna. Saya yakin, hal ini tidak akan diperoleh ketika monoton di dalam ruang yang dibatasi empat dinding kelas. Pikiran mereka liar untuk berkreasi, namun mereka tetap bertanggungjawab. Mereka kembali lagi ke kelas setelah selesai mencari objek-objek yang menarik untuk difoto dan sebagai aset digital untuk dipublish di market place.
Sore sampai di rumah, saya belum mendapatkan laporan hasil mereka. Belum sempat saya menanyakan di group, tiba-tiba ada kabar yang membahagiakan.
“Selamat untuk tim Shutterstock hari ini ada 13 aset gambar yang diaprove, tetap konsisten dan terus tingkatkan”, ungkap Mas Taufiq melalui group whatsapp, teman guru yang berkolaborasi dalam pembelajaran ini. Akhirnya perijinan yang kami berikan kepada mereka, membuahkan hasil. Tidak main-main dari karya fotografi ini, menjadi aset yang paling banyak diaprove di sutterstock. Inilah cara kami, cara yang sederhana ketika menerapkan merdeka mengajar, merdeka belajar. Mungkin terlihat tidak sesuai capaian dari kompetensi yang ada, namun bagi kami mereka melesat karena sudah masuk di circle pasar global. Guru adalah pencipta kurikulum itu, di tangan para guru yang humble terhadap perubahan zaman, maka kami yakin anak-anak akan survive terhadap perubahan zaman itu. “Didiklah anak-anak kita sesuai zamannya”.