Inkuiri Apresiatif: Pentingkah bagi Guru?

Ketika ditanya pentingkah guru mempelajari dan menerapkan inkuiri apresiatif? Di benak pikiran saya dan berdasarkan pengalaman masa lalu saya, saya menganggap bahwa pekerjaan seorang guru itu ya rutinitas masuk kelas, memberi materi, jika selesai materi, maka dilakukan ulangan harian, memberi materi lagi dan ulangan lagi. Terus menerus kegiatan tersebut berulang-ulang. Jika dibedah isi otaknya para guru dan murid terlihat berhamburan materi-materi pelajaran dan dipenuhi dengan angka-angka dan keterangan-keterangan tuntas dan tidak tuntas, bahkan berisi ranking 1,2,3 dan seterusnya. Di samping itu, kelelahan terlihat dari kedua belah pihak. Sang guru lelah harus melengkapi administrasi dari program tahunan, program semester, silabus, RPP, hasil evaluasi bahkan ketika si murid datang ke ruangan guru, hanya terlihat kepala sang guru di balik tumpukan lembaran kertas ulangan yang semakin menggunung, demikian juga si murid lelah dengan materi-materi dan angka-angka yang belum tentu bermakna baginya. Mungkin ini tidak hanya saya saja yang merasakan. Saya yakin banyak guru merasakan hal serupa.  Kembali saya merenungkan, kalau rutinitas itu-itu saja yang dilakukan oleh guru, jelas sekali di era generasi Z, dimana Artificial Intelegency (AI) sudah mendominasi dunia maya, maka peran guru yang memberikan materi jelas akan tergantikan oleh robot AI. Sekali jari si murid klik chatgpt, maka semua pertanyaan guru sudah langsung dijawab. Hitungan matematika yang sulitnya sampai “nyundhul langit”, toh bisa diselesaikan dengan sekejap oleh AI. Jelas sekali, apa yang dilakukan guru dengan pola-pola tersebut tidak memberikan makna apa-apa bagi si murid. 

Kalau kita tengok lebih mendalam, kebutuhan kompetensi yang perlu dimiliki oleh murid di abad 21 ini antara lain character (karakter), citizenship (kewarganegaraan), critical thinking (berpikir kritis), creativity (kreatif), collaboration (kolaborasi), dan communication (komunikasi) dan lebih dikenal dengan 6C. Jika yang dilakukan oleh guru dengan pola-pola seperti di atas, maka kompetensi 6C di abad 21 ini sulit untuk dicapai. Ketika tahun 2045, dimana kita mendapatkan bonus demografi, maka generasi muda saat itu hanya akan menjadi generasi pengguna (konsumtif), generasi pengekor dari negara-negara lain, dan hanya “ngoloh jempol, ndomblong” (menghisap jempol dan terheran-heran) terhadap kemajuan dari negara-negara lain yang menguasai dunia. Miris rasanya ketika saya diingatkan oleh prediksi situasi di tahun 2045 ketika generasi saat ini tidak disiapkan dengan baik, sedangkan kita sudah menjadi tua yang selayaknya saat itu tersenyum melihat generasi mudanya mampu memainkan perannya mengelola negara ini dengan sangat baik. Ada senyum bangga, inilah penerusku yang memiliki kualitas unggul. Sebuah doa dan harapan.

Kalau kita renungkan lebih mendalam, ketika seseorang sudah memiliih guru sebagai panggilan hati maka hendaknya memiliki segala tindakannya dalam mendidik dan mengajar berpihak pada murid (berhamba pada murid), menjadi pribadi yang merdeka yaitu menjadi manusia yang mandiri dalam berpikir dan bertindak, reflektif, kolaboratif dan inovatif. Guru adalah pendidik (educare) yang artinya mengeluarkan potensi yang ada pada muridnya. Bagaimana mungkin bisa mengeluarkan potensi yang ada pada diri murid yang beragam, menuntunnya agar terus berkembang menjadi versi terbaiknya jika pola-pola mendidik dan mengajarnya cenderung tekstual dan teks book dengan cara-cara yang seragam? Bagaimana mungkin guru akan dekat dengan murid, ketika kegiatannya hanya dipenuhi oleh administrasi? Untuk berpihak pada murid memang harus ada perubahan pola pikir yang awalnya murid berhamba pada guru berubah menjadi guru berhamba pada murid. Seorang guru hendaknya memiliki kemerdekaan berpikir. Ketika dirinya merdeka, tidak terjajah lagi dengan feodalisme, maka pikirannya akan bebas dan tindakannya akan mandiri. Kemandirian berpikir dan bertindak ini maka muaranya akan menciptakan lingkungan belajar baik secara fisik dan psikis  yang menyenangkan. Ketika suasana menyenangkan sudah terbangun maka pembentukan karakter, berpikir kritis, memecahkan masalah, kolaborasi dan komunikasi akan mudah dibangun. Seorang guru hendaknya memiliki nilai reflektif, dimana ia terbiasa bertanya pada diri sendiri, bertanya pada orang lain tentang apa yang sudah dilakukan memiliki dampak atau tidak, apa yang dirasakan orang lain atas tindakan kita sebagai guru, apa yang menjadi kelebihan yang perlu dipertahankan dan kekurangan apa yang perlu segera diatasi. Guru perlu memiliki kesadaran diri untuk melihat dirinya dengan pikiran yang tenang, hening seperti bercermin pada permukaan air yang tenang, maka bayangannya akan terlihat. Ketika mampu berefleksi, maka ia akan sadar tentang perlunya meningkatkan kapasitas dan kemampuan dirinya, semata-mata untuk pendidikan yang berpihak pada murid. Seorang guru harus mampu menjadi teladan kolaborasi bagi si murid. Bagaimana guru dapat meminta muridnya untuk berkolaborasi  sedangkan dirinya sendiri belum bisa berkolaborasi dengan guru lain dalam membangun komunitas belajar dan mengajar? “Malu aku malu pada semut merah yang berbaris di dinding,…..”. Sebuah nyanyian yang benar-benar saya sebagai guru merasa tertohok dengan semut merah yang memiliki 250.000 neuron di otaknya, sedangkan kita memiliki 86 milyar neuron otak, namun kemampuan kolaborasi kita seringkali kalah dengan semut. Menurunkan ego, memang dibutuhkan seorang guru yang akan belajar berkolaborasi. Komunitas merupakan kendaraan yang paling penting untuk menggerakkan roda pendidikan yang memanusiakan yang berpihak pada sang murid. Dari komunitas inilah, pratik-praktik baik dari para guru yang mau berbagi menjadi ilmu yang bermanfaat untuk diamati, ditirukan dan dimodifikasi. Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara sudah mengenalkan konsep Tri N (Niteni, Nirokake, Nambahi) sudah lama, maka menjadi hal yang baik dan patut untuk dilakukan ketika memiliki komunitas yang aktif. Komunitas yang aktif ini diperlukan para guru yang iklhas berbagi, menurunkan egonya dan berkolaborasi. Dari proses membangun komunitas inilah maka akan muncul inovasi-inovasi baru.

Nilai-nilai berpihak pada murid, mandiri, reflektif, kolaboratif dan inovatif yang sudah mengalir di darahnya sebagai guru maka perannya sebagai guru yakni menjadi pemimpin pembelajar, menjadi coach bagi guru lain, mendorong kolaborasi, mewujudkan kepemimpinan murid, dan menggerakan komunitas akan terwujud. Ibarat seorang yang akan menolong orang yang tenggelam, maka dirinya harus mampu berenang terlebih dahulu.  Ketika melihat peran guru yang begitu pentingnya, maka diperlukan suatu filosofi atau landasan berpikir yang berfokus pada upaya kolaboratif untuk menemukan hal positif dalam diri seseorang, dalam suatu organisasi dan dunia di sekitarnya baik di masa lalu, masa kini maupun masa depan. Seorang guru sebagai pemimpin pembelajaran yang berpihak pada murid, yang membangun komunitas sebagai kendaraan dalam mendidik yang memanusiakan murid, maka diperlukan manajemen perubahan yang tidak lagi menitikberatkan pada masalah apa yang terjadi dan apa yang salah dari proses tersebut untuk diperbaiki, namun berusaha fokus pada kekuatan yang dimiliki setiap anggota dan menyatukannya untuk menghasilkan kekuatan tertinggi. Managemen perubahan inilah yang disebut dengan inkuiri apresiatif yang hendaknya dilakukan oleh guru. Ketika paradigma lama, mengatasi suatu masalah dengan melihat kelemahan-kelemahan yang terjadi, maka hendaknya beralih memfokuskan pada potensi dan kekuatan apa yang dapat mendukung suatu kegiatan yang akan dilakukan. Guru akan melakukan proses identifikasi hal baik apa yang telah ada, mencari cara bagaimana hal tersebut dapat dipertahankan, dan memunculkan strategi untuk mewujudkan perubahan ke arah lebih baik. Nantinya, kelemahan, kekurangan, dan ketiadaan menjadi tidak relevan lagi. Berpijak dari hal positif yang telah ada, kemudian menyelaraskan kekuatan tersebut dengan visi yang telah dibangunnya. Perubahan yang positif di tidak akan terjadi jika pertanyaan yang diajukan mengenai kondisi saat ini diawali dengan permasalahan yang terjadi atau mencari aktor yang melakukan kesalahan. Ketika pola ini dilakukan, maka vibrasi negatiflah yang akan muncul sehingga dampaknya motivasi untuk melakukan perubahan akan berangsur menurun jika diskusi diarahkan pada permasalahan.

Seorang guru yang akan terus melakukan perubahan pada dirinya sendiri dan melakukan perubahan secara komunal, maka perlu membangun visi diri sendiri maupun visi kelompok yang semuanya bermuara pada keberpihakan pada murid. Harapan, gambaran murid seperti apa yang diinginkan menjadi visi. Secara pribadi saya memiliki mimpi atau gambaran murid di masa depan tentu berkaca pada masa lalu pada gambaran seseorang yang berkualitas.  Ketika mengamati relief Candi Mendut, justru saya terinspirasi dari salah satu relief Dewi Tara yang duduk di padmasana yang memiliki 8 tangan dengan memegang berbagai senjata.

Dewi Tara karya Gwen
Dewi Tara di Relief Candi Mendut

Sebuah relief yang menggambarkan kualitas manusia unggul yang digambarkan dengan cara-cara simbolik dan itu sudah terpahat ratusan tahun yang lalu di masa Mataram Kuno. Dewi Tara yang duduk di padmasana menggambarkan sebuah ketenangan batin dengan penuh kesadaran. Saya sangat mendambakan siswa di masa depan yang saingannya tidak hanya sesama manusia, namun justru dirinya harus bersaing dengan Artificial Integency. Kesadaran diri, tenang, memahami tentang kekuatan dan kelemahan dirinya akan membuat semakin kuat tidak seperti generasi strabery yang terlihat ranum di luarnya, namun lembek di dalamnya. Manusia-manusia unggul di masa depan yang saya dambakan adalah manusia yang mengambil nilai filosofis bunga teratai sebagai tempat duduk Dewi Tara. Teratai meskipun hidupnya di comberan, namun bunganya selalu menjulang di atas air. Meskipun akarnya bercampur dengan tanah dan air yang kotor, namun bunganya selalu bersih di atas permukaan air. Saya memiliki harapan bahwa manusia masa depan tidak akan mudah terpengaruh oleh lingkungan. Ia memiliki kemerdekaan dalam berpikir dan bertindak, maka secara nalar dan pikirannya lebih merdeka. Dewi Tara merupakan lambang kemerdekaan dalam berpikir dan bertindak. Dewi Tara yang memiliki 8 tangan sebagai simbolisasi bahwa manusia unggul adalah yang memiliki multi talent dan kompetensi. Ini cocok dengan harapan tentang kompetensi yang diperlukan di abad 21, bahwa seseorang hendaknya memiliki berbagai kompetensi yang diperlukan. Dewi Tara juga merupakan Bodhisattva yang memiliki laku menolong semua makhluk dengan landasan cinta kasihnya yang tiada batas. Dari inspirasi inilah, saya memiliki visi sebagai guru yang berpihak pada murid yaitu:

Mewujudkan Murid yang Cerdas dalam Berpikir, Memiliki Kompetensi Unggul Berlandaskan Cinta Kasih

Visi yang telah dibuat perlu diwujudkan melalui prakarsa perubahan dengan strategi ATAP (Aset, Tantangan, Aksi dan Pembelajaran). Kita sebagai guru harus mampu melihat aset yang dimiliki murid. Aset merupakan hal-hal positif yang sudah dimiliki dan bisa terus dikembangkan. Setelah aset teridentifikasi maka kita perlu melihat tantangan apa yang dihadapi murid, sehingga kita bisa menentukan aksi dan pembelajaran apa yang akan dilakukan.  Prakarsa perubahan inilah yang selanjutnya dijadikan sebagai acuan dalam membuat rencana aksi nyata yang bisa dituangkan dalam pertanyaan-pertanyaan beserta rencana tindakan dengan pendekatan inkuiri apreasiatif. Secara bertahap pendekatan inkuiri apresiatif ini dituangkan secara berurutan menjadi BAGJA yaitu buat pertanyaan utama (diambil dari pernyataan prakarsa perubahan), ambil pelajaran, gali mimpi, jabarkan dan atur eksekusi rencana aksinya. Inilah pentingnya seorang guru perlu belajar inkuiri apresiatif, karena diawali dari hal yang positif yang ditemukan yang berpihak pada murid, terus melakukan pernyataan prakarsa untuk melakukan perubahan yang berpihak pada murid dan melakukan rencana tindakan secara detail, sehingga harapannya akan berdampak secara nyata kepada murid. Guru adalah aktor yang akan bermain di panggung, yang akan mengajak murid untuk ikut di dalam permainan ini. Guru adalah penari yang akan melibatkan murid untuk menari bersama. Guru adalah seorang petani yang akan terus merawat benih-benih dan talenta sang murid. Oleh karena itu kepiawaian dalam merealisasikan visi menjadi hal penting untuk dilatih. Inkuiri apresiatif merupakan salah satu caranya merealisasikan visi tersebut. Yuk belajar menerapkan inkuri apresiatif dalam setiap perencanaan kegiatan.

Leave a Comment Cancel Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Exit mobile version