Idul Fitri Merajut Keharmonisan

Tradisi “sungkeman” masih lestari hingga saat ini untuk merayakan Idul Fitri di kampung kelahiranku. Jlegong sebuah desa di Kecamatan Bejen, Kabupaten Temanggung. Tradisi “Sungkeman” merupakan kegiatan masyarakat saling berkunjung ke sesepuh desa, orang yang sudah tua, sanak famili. Dalam tradisi tersebut orang yang lebih tua duduk di kursi dan yang lebih muda duduk pada posisi lebih rendah, memohon maaf. “Bapak, biyung ing dinten riyoyo meniko, kulo ngaturaken sembah pangabekti, sedaya kalepatan kulo nyuwun pangapunten”, inilah yang sering diucapkan oleh anak yang lebih muda kepada orang yang lebih tua. Kira-kira memiliki makna bahwa orang yang lebih tua menyampaikan rasa hormat dan meminta maaf atas segala kesalahan. Selanjutnya orang yang lebih tua akan menerima dan memberi maaf serta memberikan doa. Proses sungkeman ini dilakukan setelah masyarakat mengikuti sholat Idul Fitri.

Tradisi yang terus dilestarikan, meski perkembangan digitalisasi terus menggerusnya. Apakah di daerah pembaca masih lestari hingga saat ini? Ada sebagian daerah tradisi ini sudah memudar, tergantikan oleh ucapan dalam bentuk digital yang dikirim via WhatsApp. Mungkin ada pula yang mengganti tradisi ini dengan kegiatan bersalam-salaman di Masjid usai kegiatan sholat Idul Fitri.

Kegiatan sungkeman di mana masyarakat saling berkunjung, silaturahmi ini mampu mendekatkan hubungan psikologis antara anak dan orang tua, sanak famili, keluarga dekat dan masyarakat pada umumnya. 

Idul Fitri bukan sekedar momentum yang berharga bagi umat Islam sebagai pertanda kemenangan dalam melaksanakan kegiatan puasa di bulan Ramadhan, namun menjadi media media pemersatu masyarakat. Umat lainpun yang di luar agama Islam pun ikut menikmatinya. Terbukti dari tradisi sungkeman dengan saling berkunjung tersebut dilaksanakan oleh semua lapisan masyarakat di desa saya. Keharmonisan di masyarakat tersebut terasa begitu hangat.

Ketika umat Islam sedang menjalankan ibadah sholat Idul Fitri, para pemuda Budhis di desa Jlegong dengan kesadaran diri tanpa diminta, mereka melakukan pengamanan. Ada sebagian yang berjaga di perbatasan desa, ada yang mengatur sepeda motor bagi pengedara yang mengikuti sholat Idul Fitri. Saya menyebutnya desa Bhineka Tunggal Ika. Di desa tempat kelahiran saya terdapat lima masjid dan satu vihara. Yang beragama Islam pun ada dua jenis yaitu dari NU dan LDII, sedangkan yang beragama Buddha terdiri dari mashab Mahayana, Theravada dan Niciren. Keberagaman yang ada tidak menjadikan alasan masyarakat terpecah.

Keharmonisan ini terus dirajut dalam kehidupan sehari-hari. Saya masih ingat ketika pembangunan masjid, semua masyarakat bergotong royong tanpa memandang apa agamanya, demikian juga ketika Vihara dibangun, kelompok agama Islam secara bergantian ikut bergotong royong membantunya. Itulah sekelumit keharmonisan dalam bingkai keberagaman yang terjadi di desa saya. Ibarat bunga di vas, karena beraneka warna jenis bunga yang dirangkai menjadi nampak indah dipandang.

Indahnya keberagaman ini menjadikan inspirasi bagi saya untuk mengaplikasikan dalam proses mendidik di dunia persekolahan. Keberagaman merupakan kodrat yang dimiliki anak didik yang harus dihargai, sehingga anak menjadi sadar bahwa keberagaman itu indah.

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *