Guru yang Mana? Naik Bus atau Naik Sepeda?

Karya Yosepta, kelas X Animasi SMK N 11 Semarang

“Bapak/ibu sebagai guru. Dan ketika diminta untuk mengajak anak-anak didiknya menuju ke suatu tempat, Bapak/Ibu akan memilih seperti apa? Apakah Bapak/Ibu akan menjadi sopir bus yang membawa anak didiknya? Atau Bapak/ibu akan menggunakan sepeda, dan mempersilahkan anak didiknya juga membawa sepeda untuk berjalan beriringan menuju ke suatu tempat tersebut? Mohon berilah alasannya?”, tanya saya kepada beberapa guru.

Pak Taufiq salah satu teman dan partner mengajar di jurusan Animasi SMK Negeri 11 Semarang memberikan jawaban yang mengejutkan. “Kalau saya lebih memilih menggunakan sepeda Pak, siswa membawa sepedanya masing-masing. Karena setiap anak memiliki keunikan dan kemampuannya masing-masing, kecepatan tiap siswa juga berbeda, pola dan cara anak juga berbeda-beda. Sebagai guru saya memberikan kebebasan terkontrol dengan standart dan tujuan yang telah disepakati. Kalau guru sebagai supir itu artinya memaksa seluruh siswa naik bus bersama, sama halnya merenggut kemerdekaan siswa dengan berbagai keunikan, yang luar biasa istimewanya, karena memaksa anak harus satu cara satu pola dengan kita”, ungkap Pak Taufiq. Merinding ketika melihat jawaban Pak Taufiq. Segera saya memberikan feedback, “Wah. Memang guru penggerak sejati. Tanpa harus menunggu dari atasan, sudah tergerak dan menggerakkan menuju kemerdekaan peserta didik”, ungkap saya selanjutnya.  Betapa bahagianya ketika muncul para guru seperti Pak Taufiq dan dapat dipastikan akan membentuk lingkungan psikologis yang baik bagi anak didik. Jika para guru sudah menerapkan seperti ini, maka sekolah tidak perlu lagi pagar dinding yang tinggi, kalau perlu tidak usah ada pagar pembatas. Karena saya yakin, pembelajaran yang diciptakan memberikan kemerdekaan untuk mengembangkan potensi dari keunikan peserta didik masing-masing dan menjadi versi terbaiknya masing-masing. Anak didik pasti akan nyaman untuk belajar, tidak membutuhkan kebahagiaan dari luar sehingga tidak perlu lagi membolos.

Ketika pertanyaan serupa saya tanyakan kepada Bu Afria Alfitri Rizqi, seorang guru matematika di SMK Negeri 1 Jepara juga memberikan jawaban yang mengejutkan. “Saya menggunakan sepeda untuk berjalan ke suatu tempat dimana posisi saya berada di bagian belakang/bagian terakhir. Karena dengan itu saya bisa memantau anak-anak saya yang berada di depan saya. Setiap anak membawa sepeda sendiri-sendiri dimana laju yang mereka miliki akan berbeda-beda. Namun dengan posisi saya yang paling belakang, saya akan tahu dan dapat membantu anak didik saya jika mereka membutuhkan bantuan. Saya bangga ketika ada anak yang berhasil ke tempat tersebut dengan selamat dan sesuai kemampuan mereka sendiri. Jika ada anak yang jalannya lambat, saya memotivasi sekuat tenaga saya. Namun jika dia memilih jalan yang lain dan tempat tujuan lain yang menurutnya terbaik yang membuatnya bahagia dan sukses versi mereka sendiri, dan saya melihat tempat tersebut tergolong baik, saya tentu tetap mendukung keputusan anak dengan senang hati. Kadang kala juga perlu di tengah maupun di depan. Karena dnegan posisi tersebut kita akan lebih banyak memantau anak mana saja yang sampai tujuan, anak mana yang berbelok dengan selamat bahkan anak mana yang berhenti sejenak”, ungkap bu Guru muda yang memiliki Growth mindset ini.

Dengan penasaran saya masih mengejar untuk lebih tahu, alasan apa Bu Afria tidak memilih yang pertama sebagai sopir bus. “Realitanya pak, walaupun saya baru mengajar 9 th di SMK dan saya belajar banyak dari anak-anak saya. bahwa mereka mempunyai kemampuan yang berbeda-beda, tak semua bisa dipaksa sejalan dengan kita. Mereka mempunyai pandangan sendiri, setiap anak punya teknik dan cara berpikir yang berbeda. Mereka berhak hidup di jalan yang mereka pilih. Bahkan selalu out of the box dari apa yang saya arahkan, namun selama itu hal baik saya menerimanya dan mendukung sepenuh hati. Untuk pilihan pertama, supir bus dimana saya membawa banyak anak yang berbeda pemikirannya. Tentunya pilihan yang terbaik adalah saya yang menentukan kemanakah saya tuju. Laju berapapun saya yang menentukan sendiri. Anak-anak hanya duduk manis di tempat masing-maisng, mentok pun mereka bahagia di dalam bus, hanya dapat melihat apa yang kami lalui. Namun apakah membuat mereka bahagia? Hanya awal saja yang sebentar. Selanjutnya pasti mereka bosan, hasrat untuk meluapkan apa yang mereka inginkan tak mampu saya penuhi. Saya tak tahu bagaimana keinginan mereka sebenarnya, sehingga ketika keluar bus resiko yang saya tanggung akan lebih berat daripada pilihan kedua. Dengan menggunakan bus menurut saya lebih berat bebannya, pertama saya yang menentukan tujuan dan lajunya, yang kedua saya yang harus mengarahkan dan membimbing mereka ketika  sampai di tempat tujuan. Anak juga pasti lebih butuh perhatian ekstra karena anak tak belajar apapun selama perjalanan dalam bus. Berbeda ketika naik sepeda, ketika anak jatuh, anak tahu apa yang harus dilakukan, setiap anak belajar dengan cara mereka sendiri”, ungkap Bu Afria secara jelas, panjang dengan analogi yang bermakna.

“Kalau saya pengennya menggunakan sepeda dan mempersilahkan siswa untuk membawa sepeda. Ya mungkin gak sama hasilnya untuk setiap siswa tapi dengan begitu siswanya jadi belajar untuk memperoleh pengalaman belajarnya pak. Bagaimana cara untuk bersepeda dan mengayuh sendiri pak dan menuju tujuannya sendiri. Kalau sopir kan berarti kita yang menyetir kendaraannya. Mereka gak bisa menuju tujuannya tapi kita yang mengarahkan tujuannya. Padahal setiap anak punya tujuan yang berbeda pak. Tapi agak sulit dan mereka kadang kaget, karena dari SD  mereka selalu diarahkan pak.”, ungkap Bu Aditiasari, guru SMA N 1 Kudus.

“Membawa sepeda dan mempersilahkan anak didik membawa sepeda juga beriringan menuju suatu tempat. Dengan seperti itu maka akan memberi kesan dan pengalaman berharga bagi murid. Mereka berusaha dan ikut merasakan prosesnya dalam mencapai suatu tempat tersebut. Ibarat pembelajaran ketika seorang guru melibatkan murid untuk aktif dalam mencapai tujuan pembelajaran, maka akan tercipta pembelajaran yang bermakna, dan murid mampu apa yang kita ajarkan mampu terserap dengan maksimal oleh murid”, ungkap Bu Endang, guru matematika di SMK Negeri 11 Semarang.

“Saya memilih berjalan beriringan bersama anak-anak sambil menikmati perjalanan dengan santai dan bersuka cita. Jika lelah, kita akan berhenti sejenak sambil berbincang merefleksi perjalanan. Begitu terus sampai akhirnya sampailah di tujuan bersama-sama”, ungkap Bu Dwi Retno, salah satu guru penggerak di SMK Negeri 11 Semarang.

Semakin bahagia ketika saya menemukan guru-guru yang memiliki mindset yang bertumbuh. Seorang guru yang memiliki cara pandang untuk selalu memberikan kemerdekaan bagi anak didik yang memiliki keunikannya masing-masing. Ketika banyak guru seperti Pak Taufiq dan Bu Afria, Bu Aditiasari, Bu Endang dan Bu Dwi Retno tidak butuh sampai 128 tahun untuk mengejar ketertinggalan pendidikan kita dengan negara-negara yang memiliki kualitas pendidikan pada rating teratas seperti Finlandia.  Mengapa saya tertarik dengan pertanyaan ini? Beberapa waktu yang lalu saya tergelitik di dalam hati ketika ada teman di group Gerakan Sekolah Menyenangkan berbagi atau sharing tentang tulisan. “Dulu saya merasa bangga jika saat mengajar anak-anak paham dengan materi yang diajarkan, bisa mengerjakan soal dengan benar, anak senang, dan kita puas karena tujuan pembelajaran dapat tercapai. Ternyata, kegiatan belajar mengajar yang telah dilakukan adalah Teaching and Studying Activity bukanlah Teaching and Learning Activity seperti yang diharapkan. Yang dilakukan selama ini ibarat mengajak anak ke suatu tujuan dengan naik bus, guru yang  menyupir, menentukan arah, dan menentukan kecepatan. anak-anak duduk. Mungkin awalnya mereka senang, tetapi terkadang ada juga yang akhirnya bosan dan tertidur. Pembelajaran seharusnya mengajak anak ke suatu tujuan dengan menaiki sepeda, guru sebagai pemandu (fasilitator), setiap anak bebas untuk menentukan kecepatan mengayuh sepeda sesuai kemampuan masing-masing, dan yang pasti mereka tidak akan tertidur, banyak pengalaman bermakna yang akan mereka dapatkan”, ungkap salah seorang guru penyimpang positif di Gerakan Sekolah Menyenangkan.

5 thoughts on “Guru yang Mana? Naik Bus atau Naik Sepeda?”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *