Guru Badut

Guru Badut, Karya Syafira Putri

Mari di awal tahun 2025, kita melakukan refleksi diri sebagai guru. Jangan-jangan apa yang kita lakukan di depan kelas justru menjauhkan murid kita dari dunianya. Ketika di depan kelas, kita merasa bahwa belum menjadi guru ketika belum mengajar. Dengan semangat kita menjelaskan pengetahuan, teknik menyelesaikan soal dengan langkah-langkah prosedural yang rumit. Seakan-akan kita adalah guru yang paling canggih. Murid-murid terperangah dengan kecanggihan kita, karena kita mampu menyelesaikan soal-soal tersebut di hadapan murid-murid. Tapi relevankah sekarang dengan cara-cara seperti itu? Artificial intelegency sudah mampu menjawabnya dengan hitungan detik. Sekali murid kita scane soal-soal yang diberikan, bantuan AI datang dengan cepatnya.

Agar nampak berwibawa, maka siswa diminta untuk mencatat semua materi yang disampaikan dan tak ada waktu kesempatan murid untuk bertanya. Karena terbiasa dengan cara itulah, akhirnya murid tidak berani untuk bertanya, apalagi diskusi sangat jarang dilakukan, akhirnya budaya komunikasi menjadi mati.

Perkembangan teknologi yang semakin canggih kita pun tidak mau ketinggalan. Bagus, cara seperti itu, namun lagi-lagi kita justru diperalat oleh kecanggihan teknologi. Kita menjadi budak-budak teknologi, bukan teknologi sebagai alat untuk mempermudahnya. Masih ingat ketika di masa pandemi, pembelajaran melalui zoom meeting namun cara-cara lama masih kita pakai. Kita hanya sekedar menyampaikan materi. Apa yang terjadi? Kita justru mengajar ruang kosong, karena murid-murid kita seakan-akan mengikuti zoom metting, namun sebenarnya mereka tidur.  Ketika pembelajaran kita disibukkan dengan penerapan aplikasi ataupun alat.  Kita berpikir bahwa guru sedang menjalankan tugas mulia, memenuhi kurikulum dan memastikan murid mendapatkan nilai yang baik. Namun, tanpa sadari,  sebenarnya kita telah menciptakan tembok tebal antara siswa  dan dunia nyata.  Belajar hanya dibatasi oleh dinding-dinding kelas seperti penjara, mereka akhirnya tidak mengenal dunia yang lebih nyata. Kepekaan empati, kemandirian dalam menjalani kehidupan tidak tersentuh. Jangan-jangan dengan nilai-nilai yang bagus, namun mereka tidak mampu menyelesaikan permasalahan sehari-harinya, karena apa yang kita berikan hanya tugas-tugas yang tidak lekat dengan mereka di kehidupannya untuk diselesaikan.

Jangan-jangan di antara kita lebih terjebak dalam jebakan teknologi dan rutinitas mengajar yang seringkali kehilangan makna sejati pendidikan. Dengan dalih mempersiapkan anak untuk dunia kerja, dunia masa depan, tapi sebenarnya kita malah menjauhkan anak kita dari kehidupan sebenarnya. Kita mengajarkan mereka cara menggunakan alat, aplikasi, dan teknologi canggih, tetapi lupa mengajarkan mengapa mereka harus menggunakannya atau untuk tujuan dan manfaatnya yang sesungguhnya.

Teman-teman guru, ketika kita terlalu fokus pada teknik, prosedur, dan alat dalam mengajarkan pada anak-anak kita di kelas, jangan-jangan kita sudah berubah menjadi “guru badut”. Jangan-jangan kita mengajar di kelas agar menciptakan kelas yang menyenangkan hanya sebatas kita menghibur murid-murid kita. Ya, itu bagian dari cara agar suasana kelas menjadi senang. Namun apakah kita masih berada pada satu tujuan yakni mendidik murid-murid kita. Atau justru kita menjadi guru sales aplikasi, yang lebih sibuk mempromosikan teknologi daripada menanamkan nilai-nilai kemanusiaan.

Kita masih mewarisi budaya feodal dalam pendidikan, melatih siswa menjadi operator, menggiring siswa menjadi tenaga kerja, bukan manusia seutuhnya. Murid-murid kita dilatih untuk menjalankan perintah, bukan untuk berpikir kritis dan empati. Mereka diajarkan mengejar prestasi, bukan kebahagiaan dan kebermaknaan hidup. Dan kita, para guru, seringkali lupa bahwa tugas utama kita adalah memerdekakan manusia, menuntun mereka menemukan diri, berpikir, dan berbuat baik (bermanfaat) untuk masyarakat. Sudah saatnya kita sebagai guru menciptakan arsitektur kebijaksanaan di ruang-ruang kelas kita. Di awal tahun baru ini, saya mengajak teman-teman guru untuk kembali pada arah dan tujuan kita mendidik. Kemandirian murid-murid, empati melalui project-project sosial perlu diberikan ruang di dalam kelas-kelas kita.  Patut kita renungkan bersama, Apakah kita termasuk guru yang menjauhkan siswa dari esensi pendidikan? Apakah kita mendidik mereka menjadi manusia yang bahagia dan bijaksana, atau hanya menjadi alat bagi sistem yang membutakan? atau jutru kita menjadi guru badut? Mari kembali pada esensi pendidikan: menghidupkan rasa kemanusiaan, menumbuhkan pemikiran kritis, dan menanamkan nilai kebahagiaan. Karena sejatinya, pendidikan adalah tentang manusia bukan tentang konten-konten materi pelajaran saja. Tentang membimbing mereka menuju keselamatan, kebijaksanaan, dan kebahagiaan dalam kehidupannya. 

Leave a Comment Cancel Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Exit mobile version