
“Belajar untuk mencapai kebahagiaan atau bahagia agar bisa belajar?”, sebuah pertanyaan yang sederhana, namun apabila kita resapi, kita refleksikan secara mendalam, dua pertanyaan tersebut memiliki jawaban yang berlawanan 180 derajat. Pagi ini, 15 Juni 2025, sengaja saya melakukan olah rasa dengan memberikan pertanyaan tersebut di group kelas. Ada sebuah jawaban yang diberikan oleh salah satu murid kelas XI Animasi SMK N 11 Semarang. “Izin menjawab pak. Menurut saya belajar untuk mencari kebahagiaan, dengan alasan, saya belajar dengan penuh semangat agar bisa mendapatkan nilai yang bagus, dengan itu membuat suatu kebahagiaan dan kepuasan bagi diri kita sendiri, serta dapat menggapai cita-cita yang kita inginkan dengan mudah”, jawab Ridhofat. Jawaban tidak salah. Dan itulah representasi apa yang sering kita pikirkan, apa yang sering kita sampaikan dan memberikan persepsi umum tentang kebahagiaan itu didapat dari sebuah tindakan. Sebuah hadiah, sebuah apresiasi dan segala bentuk pemberian adalah sesuatu yang membahagiakan. Konsep ini tidak salah, bahwa kebahagiaan yang disampaikan oleh Ridhofat ini, mungkin juga dialami oleh kita pada fase-fase tertentu. Mungkin juga ketika kita sudah tua dari sisi usiapun, cara pandang ini masih saja sering kita miliki. Apa konsekuensinya, ketika kita sudah melakukan sesuatu tindakan dan tidak mencapai sesuai dengan ekspektasi, maka ketidakbahagiaan yang didapatnya. Akibatnya kekecewaan, dukkha, jengkel dan segala bentuk penderitaan akan menjadi penyakit batin ini.
Namun pagi hari ini saya mendapatkan jawaban dari salah satu murid kelas X Animasi yang bernama Shazia. jawaban tersebut begitu membekas dalam pikiran saya. “Kalau saya belajar karena ingin bahagia, pak. Tapi kadang proses belajarnya justru yang membuat saya merasa hidup. Karena awalnya saya kira kebahagiaan itu ada di hasil yang memuaskan, seperti nilai bagus, mendapat validasi orang lain, dan sebagainya. Namun semakin ke sini, saya menyadari justru prosesnyalah yang membuat saya hidup. Saat saya gembira, bingung, atau bahkan lelah mencari cara penyelesaian dalam membuat tugas, itu memberi rasa puas dan bermakna yang jauh lebih dalam. Saya merasa sedang bertumbuh, mungkin disitu juga kebahagiaan mulai muncul tanpa dicari”, penjelasan Shazia yang luar biasa.
Persepsi, cara pandang dan pola pikir yang dimiliki oleh Sazia awalnya nampak sama seperti yang dimiliki oleh Ridhofat dan mungkin cara pandang yang selama ini kita miliki. Ketika masuk pada ranah proses, justru Shazia memiliki cara pandang yang lain. Ia memandang bahwa kebahagiaan bukanlah sesuatu hasil yang diperoleh, namun ia mendapatkan kebahagiaan ketika menyadari prosesnya. Rasa puas, bermakna yang mendalam justru ketia ia dapatkan ketika proses belajar. Ia merasa sedang bertumbuh dan kebahagiaan muncul tanpa dicari.
Dari pendapat kedua murid tersebut kita dapat memandang sebuah kebahagiaan itu dari sudut pandang mendapatkan atau justru kita ciptakan. Lalu sebenarnya bahagia itu letaknya di mana? Sumbernya apa? Apakah bahagia karena mendapatkan nilai yang bagus, mendapat penghargaan, mendapatkan apresiasi? Atau justru bahagia itu hanya permainan pikiran saja. Kita mau menciptakan rasa bahagia itu sendiri. Dari dua pendapat murid saya ini, justru saya mendapatkan pelajaran yang berharga bahwa selama ini kebahagiaan seringkali dipandang dari tolok ukur hasil yang didapat. Tidak salah persepsi itu, namun akan lebih bijaksana dan lebih dewasa bahwa kebahagiaan adalah sesuatu yang kita ciptakan dari pikiran kita sendiri. Ketika kita mengontrol pikiran dan menciptakan bahagia, maka akan dapat belajar dengan nyaman. Bagaimana pendapat pembaca, silahkan tulis di kolom komentar. Yuk kita biasakan melakukan olah rasa di kelas-kelas kita, agar murid-murid kita semakin memiliki kesadaran penuh.