Rabu, 20 September 2023, saya merasa bersyukur bisa bertemu dengan para guru yang memiliki vibrasi positif di ruang kolaborasi pada pelatihan guru penggerak angkatan 9 di kelas 357. Di ruang kolaborasi ini saya bersama rekan sekelompok dengan Bu Tatit, Bu Iin Novika, Bu Istiari dan Pak Udin. Meskipun hanya berjumpa lewat google meet, namun pertemuan ini benar-benar saya rasakan sangat efektif. Waktu yang disediakan sekitar 1,5 jam terasa hanya beberapa menit. Kami benar-benar menikmati dialog yang power full. Saya merasakan bahwa inilah yang disebut dengan Powerfull Learning Community (PLC). Dalam PLC ini kami berdiskusi dan berkolaborasi membuat rencana perubahan yang endingnya menuju pada keberpihakan pada murid. Saya membayangkan ketika para guru tidak ada embel-embel guru penggerak, guru GSM atau istilah lain dan mereka berkumpul menjadi satu dan menyuarakan sebuah perubahan, berdiskusi untuk menghasilkan solusi yang berpihak pada sang murid, maka saya yakin bahwa kita, Indonesia tercinta akan cepat mengejar ketertinggalan dengan negara lain. Tidak harus menunggu 128 tahun untuk mengejar ketertinggalan tersebut.
Ada yang unik dari kegiatan kolaborasi ini, dimana sebelumnya kami bersama-sama menyampai visinya masing-masing. Bukan visi sekolah, namun visi diri kami sebagai guru. Saya memiliki visi, “mewujudkan siswa berpikir secara cerdas, berkompetensi unggul dengan landasan cinta kasih”. Bu Tatit memiliki visi, “Terwujudnya siswa berbudi luhur, cerdas berkarakter, berwawasan kebangsaan dan unggul”. Bu Iin memiliki visi, “Terwujudnya pelajar yang berakhlaq, berkarakter, berprestasi, dan berbudaya lingkungan yang berbasis digital”. Bu Istiyari memiliki visi, “Terwujudnya murid yang berkarakter melalui profil pelajar Pancasila”. Pak Udin memiliki visi, “Mewujudkan siswa yang berkarakter religius dan berprestasi menuju Profil Pelajar Pancasila”. Jika dilihat dari visi-visinya ada satu kesamaan bahwa semuanya mengedepankan pada karakter Pancasilais dan kompetensi yang unggul. Di ruang kolaborasi ini kami diajak untuk menurunkan ego masing-masing dan menentukan visi bersama. Kami benar-benar belajar bagaimana visi yang dibangun bersama-sama ini menjadi visi yang mengakomodasi semunya. Dari proses inilah, saya justru kembali ke masa lalu melihat sejarah Indonesia. Bagaimana para founding fathers menurunkan egonya masing-masing hanya demi satu tujuan Indonesia Merdeka. Semangat inilah yang membuat saya ikut merasakan bagaimana membuat visi yang berpihak pada sang murid dalam kelompok ini. Akhirnya kami menemukan sebuah visi yang dapat mengakomodasi dari semua guru yang berada di kelompok ini. Visi kelompok kami adalah:
“Mewujudkan Murid Berkompetensi Unggul yang Berkarakter Pancasila”
Visi yang telah kami susun itu selanjutnya kami turunkan menjadi prakarsa-prakarsa perubahan sebagai tonggak-tonggak pencapaian yang akan mengantarkan kami dari waktu demi waktu ke jarak yang lebih dekat dengan visi yang telah kami susun. Untuk itu, kami melakukan dialog, kami belajar menerapkan budaya dialektika, berdiskusi, dan memutuskan satu prakarsa perubahan yang harapan perwujudannya dirasakan dekat dengan hati semua anggota kelompok kami. Pernyataan prakarsa perubahan bukanlah slogan, bukan pula judul kegiatan. Pernyataan prakarsa perubahan merupakan gambaran upaya nyata yang memungkinkan gotong-royong dalam meningkatkan kualitas pembelajaran sang murid berbasis aset/kekuatan, ditulis dalam bentuk kalimat, dimulai dengan kata kerja dan memanfaatkan kata, frasa, atau diksi yang kuat dalam rangkaian kalimatnya, sedemikian rupa, sehingga mudah dipahami maksudnya dan yang dapat menstimulasi bayangan akan inisiatifa ataupun tindakan kegiatan yang harus dijalankan demi mewujudkannya.
Dalam proses penyusunan pernyataan prakarsa perubahan yang diungkapkan dalam bentuk kalimat, kami terlebih dahulu memperjelas gambar mental prakarsa perubahan yang ingin kami susun. Ketika kami memiliki visi, kami merasakan lebih peka terhadap hal-hal yang dapat membantu atau menghalangi kami dalam mencapai visi tersebut. Kami menjadi lebih peka dalam melihat bagaimana kami dapat semakin dekat dengan visi kami melalui aset, kekuatan dan potensi yang telah dimiliki, tantangan yang harus dihadapi, aksi, tindakan dan upaya yang diri kami sebagai pendidik sehingga dapat berkontribusi, serta pembelajaran-pembelajaran yang makna dan manfaatnya dapat di bawa murid hingga akhir hayat.
Dalam ruang kolaborasi ini kami belajar menggunakan mental prakarsa perubahan yang ingin kami susun, dengan belajar menggunakan sebuah alat bantu yang kita sebut ATAP merupakan akronim dari Aset, Tantangan, Aksi dan Pembelajaran. Kami dari guru SD, SMP, SMA dan SMK berdikusi secara mendalam dan menemukan bahwa aset yang dimiliki murid saat ini di era di mana dunia ini lebih dekat dengan Artificial Intelegency bahwa para murid mayoritas memiliki kemudahan mengakses sumber belajar dari mana saja. Hanya dengan jari yang dilekatkan pada android yang dimiliki, dunia terasa digenggamnya. Dari sudut pandang pemikiran yang positif, inilah aset yang dimiliki murid. Namun demikian ada tantangan yang harus dihadapi dimana para murid saat ini sebagai generasi strawbery. Menurut Prof. Rhenald Kasali strawberry generation merupakan generasi yang penuh dengan gagasan kreatif tetapi mudah menyerah dan gampang sakit hati. Begitu banyak gagasan-gagasan kreatif yang dilahirkan oleh anak-anak muda, sekaligus pula juga tidak kalah banyak cuitan resah penggambaran suasana hati yang dirasakan oleh mereka. Seperti strabery, dari luar nampak ranum, namun di dalam mudah lembek, tidak tahan lama.
Generasi strabery ini kami sebut pula sebagai generasi yang kurang mandiri, kurang tahan banting. Inilah tantangan yang dihadapi murid saat ini. Hal ini karena banyak tersedia, apa-apa sudah ada dan sudah disediakan oleh orang tua maupun lingkungannya mendukung. Mereka memang memiliki banyak ide karena banjirnya informasi yang tidak dapat terbendung, namun mereka kurang mandiri dalam menghadapi tantangan yang ada. Dari tantangan ini, maka kami memiliki keinginan yang kuat meningkatkan kemandirian murid dalam menyelesaikan tantangan yang dihadapi. Untuk itu tugas kami melakukan aksi nyata yaitu menuntun murid agar mampu berpikir, bertindak secara mandiri. Dari sinilah kami bertekad untuk melakukan pembelajaran sehingga murid memiliki kesadaran diri untuk mandiri berpikir dan bertindak dalam menghadapi tantangan yang ada. Pembelajaran yang bermakna atau adab dan kebiasaan yang kami ajarkan diharapkan tumbuh dan melekat, serta dibawa murid hingga dewasa. Ini merupakan turunan konkret dari Profil Pelajar Pancasila. Dari uraian Aset, Tantangan, Aksi dan Pembelajaran (ATAP) yang di atas, kami memiliki prakarya perubahan yakni:
“Mewujudkan Lingkungan Belajar Menyenangkan yang dapat Meningkatkan Kemandirian Murid dalam Menghadapi Tantangan dengan Penuh Kesadaran Diri”
Kalimat penyataan perubahan ini tidak cukup, dibutuhkan aksi nyata untuk mewujudkannya. Oleh karena itu kami melakukan diskusi untuk membuat perencanaan dengan metode BAGJA yang merupakan akronim dari Buat Pertanyaan Utama, Ambil Pelajaran, Gali Mimpi, Jabarkan Rencana dan Atur Eksekusi. Berdasarkan panduan cara penyusunan rencana aksi dengan metode BAGJA diperoleh hasil seperti pada kanva BAGJA sebagai berikut.
Sumber: Klik link
Inilah hasil pemikiran kami dalam membuat visi kelompok, yang dijabarkan menjadi pernyataan prakarsa perubahan dan dilanjutkan dengan membuat rencana aksi melalui metode BAGJA. Hasil pemikiran inilah sebagai panduan bagi kami untuk merealisasikannya. Semoga bisa.