“Anak-anakku, ada sebuah botol jika diisi oleh air mineral, maka harganya berkisar empat ribuan rupiah, ketika diisi dengan madu murni, maka harganya akan naik mungkin menjadi seratus ribu rupiah. Ketika botol yang sama diisi dengan parfum, maka harganya akan melonjak tinggi hingga mencapai satu juta rupiah. Ketika botol yang sama diisi dengan air comberan, maka tidak memiliki nilai, bahkan orang di beri tidak akan mau menerima. Tadi saya berbicara tentang botol yang sama, ternyata nilainya berbeda-beda tergantung dari apa yang menjadi isinya. Kalian memiliki badan wadak atau fisik yang sama yaitu sebagai siswa SMK N 11 Semarang, maka valuenya akan berbeda-beda tergantung bagaimana kita meingisi pikiran, hati dan jiwa kita. Maka dari itu, isilah hal-hal positif melalui pikiran, hati dan jiwa kita sehingga akan berdampak pada perilakunya”. Itulah sepenggal ungkapan saya di hadapan peserta upacara pada hari ini, Rabu, 17 April 2024 di lapangan Krida Khsetra SMK N 11 Semarang.
Dalam amanat tersebut saya menganalogikan tentang sebuah botol sebagai wadah. Botol diibaratkan sebagai badan fisik dari seseorang murid hendaknya perlu diisiĀ dengan hal-hal positif akan memiliki kualitas atau value yang lebih tinggi. Mengisi hal-hal positif dapat diawali dengan tindakan sederhana yang paling mudah dilakukan. Saya sengaja menyentil murid tentang perlunya menyapa guru. Meskipun mereka tidak mengenal nama gurunya karena jumlah guru dan karyawan yang sekitar 100 orang, namun sudah menjadi kewajiban moral untuk menyapa. “Apabila mulut kalian belum bisa mengucapkan selamat pagi, cukup dengan menganggukkan kepala. Mudah bukan? Dan itulah hal yang paling sederhana yang bisa kalian lakukan”, ungkap saya selanjutnya dalam amanat tersebut.
Di amanat upacara tersebut saya juga menyentil tentang potongan rambut. Potongan rambut ini memang ada pro dan kontra baik di kalangan murid dan guru. Sebagian murid menyampaikan bahwa tidak ada koralasi antara potongan rambut dengan intelektual. Benar pernyataan tersebut, namun saya pun memberikan ulasan bahwa hidup tertib di lingkungan sekolah itu sebagai wahana untuk belajar tertib diri sebelum terjun di masyarakat. Bagaimana bisa tertib di masyarakat menjadi warga negara yang baik, ketika tidak dilatih setiap harinya? Dari ulasan inilah, saya menutup amanat pada upacara dengan mengajak untuk mulai tertib diri.