Bahagia hari ini saya dapat belajar tentang studi kasus yang dapat membuka wawasan tentang cara bepikir kita dalam menyelesaikan sebuah kasus berkaitan dengan pendekatan berbasis masalah dan pendekatan berbasis aset, serta pengembangan komunitas berbasis aset. Kasus ini saya baca pada modul 3.2 pendidikan guru penggerak.
Ibu Lilin adalah salah satu guru di SMP favorit yang selalu diincar oleh para orang tua. Sekolah tersebut juga selalu menduduki peringkat I rerata perolehan nilai UN. Murid-murid begitu kompetitif memperoleh nilai ulangan dan prestasi lainnya, dan dalam keseharian proses belajar mengajar, murid terlihat sangat patuh dan tertib. Bahkan, ada yang bergurau bahwa murid di sekolah favorit tersebut tetap antusias belajar meskipun jam kosong. Keadaan berubah semenjak regulasi PPDB Zonasi digulirkan. Ibu Lilin mulai sering marah-marah di kelas karena karakter dan tingkat kepandaian murid-muridnya yang heterogen. Sering terdengar, meja guru digebrak oleh Ibu Lilin karena kondisi kelas yang susah dikendalikan. Apalagi, jika murid-murid tidak kunjung paham terhadap materi pelajaran yang Ibu Lilin jelaskan. Seringkali, begitu keluar dari kelas, raut muka Ibu Lilin merah padam dan kelelahan. Suatu hari, ada laporan berupa foto dari layar telepon genggam yang menunjukkan tulisan tentang Ibu Lilin menjadi bulan-bulanan murid-murid di grup WhatsApp. Beberapa murid dipanggil oleh Guru BK. Ibu Lilin juga berada di ruang konseling saat itu, beliau marah besar dan tidak terima penghinaan yang dilontarkan lewat pesan WA murid-muridnya. Bahkan, beliau memboikot, tidak akan mengajar jika murid-murid yang terlibat pembicaraan tersebut tidak dikeluarkan dari sekolah. Kasus tersebut terdengar pula oleh guru-guru sekolah non favorit. “Saya mah sudah biasa menghadapi murid nakal dan bebal.” Kata Bu Siti, yang mengajar di sekolah non favorit.
Kasus ini nampaknya banyak dialami oleh sekolah-sekolah negeri yang dulunya sudah dianggap favorit oleh masyarakat, dengan berlakunya zonasi mau tidak mau akan menerima siswa-siswa yang dalam tanda kutip tidak seperti dulu. Banyak siswa yang karena lokasinya sangat dekat dengan sekolah dan berasal dari keluarga yang kurang mampu, banyak pula yang berasal dari keluarga yang broken home dan membawa segudang masalah dalam diri siswa itu sendiri. Apa yang terjadi di sekolah? Tentu kondisi di kelas tidak seperti dulu sebelum diberlakukan sistem zonasi. Apakah zonasinya yang salah? Kita sebagai guru tidak perlu menyalahkan sistem, justru ini adalah tantangan bagi guru, karena setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran, dengan segala bentuk kondisi siswa dengan latar belakang yang sangat bervariasi.
Melihat kasus yang dialami oleh Ibu Lilin saya merasa prihatin atas kondisi yang terjadi di SMP tersebut. Dari sudut pandang saya, bahwa kondisi yang dialami oleh bu Lilin karena sudah terbiasa nyaman di kelas sebelum terjadinya perubahan penerimaan peserta didik dengan sistem zonasi. Kondisi nyaman tersebut karena input siswa sebelum perubahan cara PPDB dengan zonasi memungkinan sekolah tersebut diserbu oleh calon siswa dengan input yang sudah baik. Keadaan berubah ketika sistem zonasi diberlakukan. Kondisi input siswa tidak seperti dulu. Bisa diumpakan, kondisi input siswa sebelum sistem zonasi di SMP tersebut seperti emas, guru tinggal memoles saja sudah kelihatan mengkilat, karena memang bahannya memang emas. Namun saat ini, bermacam-macam siswa dengan latar belakang yang berbeda-beda, dengan membawa masalahnya sendiri-sendiri. Mungkin karena kondisi keluarganya yang tidak harmonis, maka siswa datang ke sekolah saja hanya untuk pelampiasan agar tidak di rumah yang penuh dengan pertengkaran. Ketika guru tidak siap dengan kondisi tersebut, atau mindset guru sudah terkondisikan dengan framing-framing bahwa inputnya sudah bagus, mudah diatur, memiliki tingkat kepintaran di atas rata-rata, sehingga dengan kondisi yang heterogen tersebut membuat guru harus mengeluarkan energi yang besar baik secara fisik maupun psikologis. Seperti yang digambarkan dari kasus di atas, Bu Lilin tenyata tidak kuat atau belum siap menerima keadaan tersebut karena sudah terbiasa dengan zona nyamannya, akhirnya itulah yang terjadi yaitu marah-marah. Mungkin ini juga dialami oleh kita yang membaca tulisan ini. Namun saya berharap cara-cara yang dilakukan oleh Bu Lilin tidak dilakukan oleh pembaca.
Andaikan saja Bu Lilin melihat kondisi input yang sangat heterogen tersebut sebagai asset di kelas yang dapat dikembangkan justru akan lain ceritanya. Setiap anak memiliki keunikannya masing-masing. Ketika kita akan memainkan orkestra yang enak untuk dinikmati, tidak mungkin di orkestra tersebut bermain biola semua. Untuk menampilkan orkestra yang menarik, tentu dibutuhkan berbagai macam pemain musik dengan potensinya masing-masing. Kolaborasi dari berbagai pemain musik yang berbeda-beda inilah yang dibutuhkan sehingga menghasilkan orkestra yang menarik dan menghasilkan lantunan musik yang enak didengar. Ketika bu Lilin mampu memetakan semua potensi yang ada pada murid, maka bu Lilin akan memandang bahwa potensi tersebut merupakan asset yang harus dikembangkan hingga mencapai versi terbaiknya. Mungkin seorang siswa yang berasal dari keluarga broken home, menampakkan perilaku-perilaku yang membuat tidak nyaman di kelas, karena ada kebutuhan yang belum terpenuhi seperti kebutuhan kasih sayang. Maka kehadiran Bu Lilin dan teman-teman justru dibutuhkan oleh siswa tersebut. Keterbukaan, budaya dialektika seharusnya dikembangkan di kelas, sehingga kehadiran siswa merasa diperhatikan oleh guru dan teman-temannya. Ketika hal itu terjadi, maka setiap siswa akan memberikan kontribusinya masing-masing untuk menciptakan kondisi yang nyaman. Perbedaan apapun yang ada di kelas harus diperlihatkan di kelas, bahwa perbedaan itu indah. Perbedaan itu justru menjadi kekayaan di kelas, sehingga dari perbedaan itulah setiap individu akan memberikan perannya masing-masing seperti pemain musik orkestra tersebut.