Munculnya Artificial Intelligence (kecerdasan buatan) mengubah segalanya, hal-hal pekerjaan yang bersifat rutin dapat tergantikan olehnya. Pembahasan-pembahasan tentang Artificial Intelligence (AI) menjadi tema yang menarik untuk dibahas di dunia pendidikan untuk menggelitik para guru yang cenderung di zona nyaman. Ketika cara mendidik guru tidak sesuai zamannya, bahkan hanya sebatas transfer pengetahuan yang bersifat hafalan dan endingnya pada angka-angka nilai sebagai bentuk penilaiannya, maka guru tersebut jelas akan tergantikan oleh AI. Malam ini, ketika mengikuti webinar yang disampaikan founder Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), Pak Muhammad Nur Rizal yang memabahas tentang nasib manusia ketika misteri dunia terkuak oleh teknologi kembali pikiran saya terpantik untuk menulis kembali tema-tema ini. Justru pertanyaan saya menjadi lebih mengerucut ke guru sebagai pahlawan peradaban. Apakah profesi guru akan tergantikan oleh AI? Lalu guru seperti apa yang akan tergantikan oleh AI? Bagaimana peran guru agar dirinya tidak tergantikan oleh AI? Tiga pertanyaan ini memantik untuk dibahas satu demi satu.
Artificial Intelligence merupakan teknologi hasil buatan manusia. Ibarat sebuah mata pisau, pisau tersebut akan memiliki nilai manfaat ketika dipegang oleh orang mampu menggunakannya dengan baik. Pisau yang tajam di tangan seorang koki yang hebat dan bermartabat, dengan pisau tersebut akan mampu menciptakan masakan yang super enak dengan harga yang mahal. Ketika pisau itu di tangan seorang begal, maka celaka yang akan terjadi bagi si korban pembegalan. AI sebuah teknologi, value seperti apa yang dimasukkan di coding pada AI tersebut yang akan menentukan dampaknya. Saya tertarik sekali dengan pemaparan yang disampaikan Pak Rizal ketika mengawali webinar pada malam ini. Perkembangan teknologi dengan memanfaatkan AI, munculah mobil tanpa sopir yang dapat membawa penumpang. Ketika mobil tersebut berjalan dengan cepat dan tiba-tiba ada seorang nenek lewat dan anak kecil yang berjalan, value apa yang harus ditulis di code program ketika mobil tersebut membawa penumpang yang banyak. Ketika filsafat altruisme yang dimasukkan pada program tersebut, tentu mobil tersebut akan berhenti dengan tiba-tiba agar nenek dan anak kecil tersebut selamat, tanpa menghiraukan di belakangnya ada mobil atau tidak yang memiliki kecepatan yang tinggi pula. Code yang dimasukkan tidak akan berpikir bahwa penumpang yang ia bawa banyak dan kemungkinan akan menjadi korban karena tertabrak oleh mobil di belakangnya. Ketika filsafat kapitalisme, maka mobil tersebut akan menabrak orang tua dan anak kecil yang lewat kecil, karena koding yang dimasukkan akan membaca jumlah yang lebih banyak akan lebih diprioritaskan untuk diselamatkan. Sebuah dilema bukan? ditabrak atau membanting stir atau tertabrak dari belakang? Lagi-lagi coding tersebut tergantung dari siapa yang mengisinya.
Perkembangan AI merambah pula pada dunia tulis menulis. ChartGPT mampu menggabungkan dari berbagai sumber bacaan yang dimasukkan sehingga menjadi berbagai tulisan. Pembuat karya tulis sangat dimudahkan oleh ChartGPT. Namun coding pada AI ini sangat membutuhkan sumber-sumber yang akan dianalisis. Bagaimana jika sumber informasinya salah dan akhirnya menjadi sebuah tulisan yang dipercaya banyak orang? Dampak negatif nyata terjadi, berjuta-juta manusia termakan hoak karena sumbernya tidak valid. AI semakin canggih bahkan merambah dunia seni. Dari AI mampu mengubah foto menjadi berpuluh-puluh gambar-gambar kartun hanya dalam waktu yang sangat cepat dalam hitungan detik. Kecerdasan yang sangat melampui manusia yang memiliki kemampuan di bidang seni. Lagi-lagi AI tersebut tergantung dari sumber yang akan dianalisis sehingga menjadi produk baru. Seperti uraian di atas, pisau tersebut dipegang oleh siapa?
Teknologi yang super canggih jelas akan dinikmati oleh orang-orang yang super human, yang memiliki banyak uang karena mampu mengaksesnya, bagaimana dengan yang miskin? Tentu saja akan sulit menikmati teknologi, sehingga justru perkembangan teknologi tersebut akan memperlebar kesenjangan antara super human dengan useless people. Orang-orang yang lemah akan semakin banyak. Akibatnya penyakit mental semakin meninggi. Dalam paparan Pak Rizal disampaikan bahwa 1 dari 5 remaja di dunia mengalami depresi bahkan di Indonesia menempati urutan ketiga di dunia, karena 1 dari 3 remaja di Indonesia mengalami depresi. Fenomena FOPO atau orang yang tidak bisa menjadi diri sendiri, karena selalu resah dengan apa yang menjadi pendapat orang lain terhadap dirinya terjadi pada remaja-remaja di Indonesia. Remaja-remaja di Indonesia juga mengalami ketakutan ketika kehilangan momen atau lebih dikenal dengan FOMO (Fear of Missing Out). Kondisi kesehatan mental yang memburuk ini karena banjirnya informasi karena sosial media yang semakin genjar. AI juga banyak berperan dalam hal ini karena koding-koding yang diciptakan mampu menggiring opini secara terus menerus pada seseorang ketika mengakses informasi di sosial media. Ketika sekali seorang remaja mengakses film porno, maka pada waktu berikutnya akan mendapatkan informasi film yang serupa dan terbaru, karena tergiring oleh kecerdasan buatan ini. Mengapa hal ini terjadi, karena masyarakat kita menjadi konsumen teknologi tertinggi namun tidak memiliki budaya berteknologi sehingga tidak menghasilkan perilaku yang efisien, produktif dan inovatif. Wajar sekali, Indonesia menjadi lahan yang empuk sebagai pasar dunia, karena masyarakatnya memiliki tingkat konsumtif yang tinggi.
Dari uraian tersebut, saya kembalikan pada kita sebagai guru. Jelas sekali guru yang hanya transfer pengetahuan kognitif (hafalan) akan tergantikan oleh AI. Ketika guru matematika hanya sekedar memberikan soal-soal matematika yang bersifat rutin, jelas akan tergantikan oleh mesin AI. Dalam sekejap, siswa akan mudah menjawabnya, bahkan dari AI tersebut akan muncul pula langkah demi langkahnya. Ketika orientasi guru terhadap siswanya hanya sebagai mesin fotocopy yang hanya mencontoh apa yang dilakukan oleh guru dalam menghitung, menyelesaikan soal-soal maka jelas sekali guru tersebut lambat laun tidak dibutuhkan lagi, karena siswa dengan mudahnya tinggal menggunakan AI.
Teknologi digital bukan persoalan tentang kemajuannya, namun berkaitan dengan perubahan kebudayaan yang memungkinkan orang dapat meluapkan emosinya tanpa disaring, sehingga berpotensi melahirkan kebencian, kekerasan dan ketidakpercayaan sosial. Di titik inilah, kemanusiaan kita terancam dan hati nurani mengalami kematian. Fenomena yang terjadi, ketika terjadi kecelakaan, justru bukannya segera memberikan pertolongan, namun cepat-cepat memfoto atau memvideokan untuk dipublish di media sosial sehingga menjadi viral. Dimana nuraninya? Ini yang patut dipertanyakan. Salahkan kemajuan teknologi kecerdasan buatan itu? Apa perlu dihancurkan? Bukankah teknologi tersebut dibuat oleh manusia itu sendiri?
Di era saat ini, jelas kita tidak bisa menghindari teknologi kecerdasan buatan tersebut. Tentu kita tidak rela kembali ke zaman batu lagi. Yang dibutuhkan saat ini adalah manusia yang secara sadar dan kritis untuk berdampingan dengan kecerdasan buatan. Manusia perlu menguasai teknologi agar tidak tertinggal, agar efisien, namun harus mampu menata emosi, mendengarkan kata hatinya dan terus berupaya untuk menemukan dirinya untuk dapat mengendalikan mesin kecerdasan buatan tersebut. Bukan kita diperalat oleh teknologi yang diciptakan, namun justru menggunakan alat tersebut agar nilai-nilai kemanusiaannya tetap terjaga. Untuk itu peran guru yang tidak akan tergantikan oleh AI di saat ini adalah guru yang mampu mendidik siswanya tidak sebatas oleh kognitif, namun mampu menyeimbangkan nalar, batin, emosi dan tingkah lakuknya yang ada di dalam diri siswa. Guru-guru yang dibutuhkan adalah guru yang mampu memantik sang murid sehingga memiliki cara berpikir yang divergen dan lateral sehingga kecakapan berpikirnya dapat dikembangkan dengan cara membuka cakrawala berpikir yang lebih luas dengan mencari alternatif-alternatif pemecahan suatu masalah dengan keluar dari kebiasaan berpikir vertikal yang lebih bersifat selektif. Dari pantikan tersebut diharapkan akan muncul pemikiran-pemikiran sang murid yang multiliterasi. Ketika mereka terasah maka resiko mereka terjebak pada jebakan kemajuan teknologi akan semakin berkurang. Dengan keseimbangan ini maka akan lahir kembali manusia-manusia yang jujur dan berani untuk mempertanyakan hal yang sudah dianggap benar, lalu mengoreksinya dengan daya kritis dan kreatif sebelum mengambil keputusan. Maka dari itu, dibutuhkan guru yang memiliki pandangan dan merealisasikan tentang hakekat pendidikan sebagai proses humanisasi. Pendidikan sebagai proses membentuk manusia seutuhnya untuk terus belajar sepanjang hayat. Dibutuhkan guru-guru yang mampu memproses menuntun kodrat manusia yang adaal dalam diri siswa agar mampu melampaui insting hewani yang ada dalam diri manusia.