Kita mengenal Intelligence Quotients (IQ) yaitu kemampuan seseorang untuk menalar, memecahkan masalah, belajar, memahami gagasan, berpikir, dan merencanakan sesuatu. Kecerdasan ini digunakan untuk memecahkan masalah yang melibatkan logika. Orang seringkali merasa bangga ketika memiliki IQ yang tinggi, namun perlu disadari bahwa IQ tidak membawa keberhasilan dalam kehidupan ini. Meskipun seseorang memiliki kecerdasan intelektual tinggi, namun tidak bisa mengendalikan emosinya, dia gagal. Kepandaian mengendalikan emosi, supaya tidak negatif, tidak menyakitkan orang lain, jauh lebih dibutuhkan daripada orang yang memiliki kecerdasan intelektual tinggi namun emosinya meledak-meledak. Emotional Quotients (EQ) merupakan kemampuan seseorang untuk mengenali, mengendalikan, dan menata emosi serta perasaan, baik itu perasaan sendiri maupun perasaan orang lain. Kecerdasan ini juga memberi kesadaran mengenai rasa empati, cinta, kemampuan memotivasi diri, dan kemampuan untuk menghadapi kesedihan dan kegembiraan secara tepat. Yang ideal memang orang yang cerdas intelektual dan sekaligus memiliki kemampuan mengendalikan emosinya. Tidak meledak-ledak meskipun dalam kondisi yang tidak menyenangkan. Dia mampu memimpin dengan kebijaksanaan. Namun masih ada sesuatu yang kurang. Kalau sudah bisa memiliki IQ dan EQ yang bagus, lalu untuk apa semua itu? Selanjutnya diperlukan Spiritual Quotients (SQ) untuk mencari makna hidupnya. Apa sebenarnya hidup yang bermakna itu. Sebelum kita kupas, pembaca saya ajak untuk masuk ke pelajaran matematika terlebih dahulu.
Masih ingat ketika saya bersama anak-anak kelas XII belajar tentang limit. Saat itu anak-anak saya minta untuk membuktikan menggunakan tabel dan diperoleh kesimpulan bahwa untuk limit yang pertama, semakin nilai x diperkecil mendekati nol, maka hasilnya semakin membesar, sebaliknya untuk limit yang bagian bawah, semakin x diperbesar terus, maka hasilnya semakin kecil. Dari proses belajar limit tersebut dapat dianalogikan bahwa setiap kali ego kita ditekan mendekati nol, maka tak terhingga kebahagiaan yang kita peroleh, sebaliknya setiap kali ego kita dibiarkan semakin membesar sampai tak hingga, maka kecil sekali bahkan tak akan mendapatkan kebahagiaan apa-apa.
Dalam kehidupan ini seringkali kita berpikir dan menuntut orang lain untuk mengerti terhadap diri kita. Cara berpikir seperti ini adalah cara berpikir secara egois. Berarti ada banyak orang lain yang dituntut untuk menyenangkan satu orang. Cara berpikir seperti ini tidak masuk akal. Ketika kita berpikir mengapa orang lain tidak menyenangkan ya? Mengapa orang lain tidak mau mengerti terhadap diri kita ya? Ketika berpikir seperti ini, maka di situlah kita sedang menderita. Coba kita balik pola pikirnya, apa yang sudah kita berikan untuk orang lain, maka di disitulah awal kebahagiaan. Bagaimana kalau kita sudah tua, tidak bisa apa-apa, bagaimana kita memikirkan orang lain, bagaimana kita membahagiakan orang lain. Kita masih bisa berkonsentrasi sambil berucap dalam batin kita, “Semoga semua mahkluk hidup berbahagia”. Ini cara berpikir sesuai dengan kenyataan. Meskipun dalam kondisi sakit, kita masih bisa mendoakan orang lain. Justru dalam kondisi seperti ini secara psikologis akan mendukung penyembuhan dari sakit yang dialami. Bukan menuntut orang lain untuk bisa melayani kita. Sulit memang berpikir seperti ini, namun kita bisa melakukan dengan kemampuan kita masing-masing. Inilah salah satu penerapan Spiritual Quotients.
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa hidup bermakna itu adalah bagaimana kita membahagiakan orang lain. Ketika kita mampu membahagiakan orang lain, justru kita yang paling bahagia. Dengan membahagiakan orang lain, kebencian, keserakahan, iri hati, kegelapan batin berkurang pada diri sendiri. Penderitaan datang saat kita menuntut orang lain untuk membahagiakan kita, sebaliknya kebahagiaan akan datang ketika kita membahagiakan orang lain. Ini bukan teori, ini kesunyataan yang perlu dibuktikan dari diri kita sendiri.