Kegiatan yang luar biasa. Memancing pikiran dan perasaan saya kembali menilai strategi yang saya gunakan selama menjalani profesi sebagai pendidik. Untuk waktu yang lama saya meyakini, saya sengaja memilih peran sebagai “guru pemarah/guru yang keras” untuk dapat menanamkan kepada siswa kelas X rasa takut untuk melakukan kesalahan. Berangsur saat siswa menjalani masa pendidikan di kelas XI saya semakin melunak untuk bisa menggerakkan hati siswa. Barulah di kelas XII saya akan menjadi guru yang ramah dengan siswa untuk membuat siswa lebih releks karena mereka juga mendapat atmosfer yang menyesakkan dengan persiapan ujian. Mungkin dengan strategi tersebut siswa yang sudah duduk di kelas XI bisa lebih membuka hati dalam pembelajaran saya, dan siswa kelas XII pun akan merasa lebih dekat dengan saya sebagai gurunya. Namun tidak dengan siswa kelas X yang merasa tertekan dengan keberadaan saya. Memang saya berhasil menekan siswa untuk membuat kesalahan selama “di depan saya” namun mungkin tidak di belakang saya. Yang lebih membuat saya merasa sangat bersalah adalah, ketakutan siswa terhadap saya yang melatarbelakangi “ketenangan siswa” tidak akan bisa membuat siswa bersemangat untuk menjadi kreatif dan kritis terhadap pembelajaran bahkan tidak haus untuk menyelami materi bersama saya. Ternyata masih ada jalan lain yang dapat digunakan untuk memberikan gambaran kepada siswa jalan mana yang bisa mereka tempuh untuk tidak melakukan kesalahan. Dan menjadi pelajar yang memang hobi belajar. Inilah salah satu refleksi dari Ibu Nor Aida, S.Pd, salah satu guru di SMK N 1 Batumandi Kabupaten Balangan Provinsi Kalimantan Selatan setelah mengikuti kegiatan IHT Gerakan Sekolah Menyenangkan tentang Perubahan Pola Pikir untuk Sekolah Masa Depan yang diselenggarakan pada tanggal 11 dan 12 Mei 2022..
Sebuah titik balik, sebuah perubahan kesadaran diri dari seorang guru untuk berubah. Sebuah kesadaran bahwa selama ini yang telah dilakukan mengalami penyimpangan arah. Masih banyak guru-guru lain seperti Ibu Nor Aida yang mengalami titik balik masing-masing setelah mengikuti kegiatan IHT. Merekalah yang akan menjadi arang-arang kehidupan di dunia pendidikan yang akan akan terus membara untuk menuju pendidikan yang lebih memanusiakan anak didik kita.
Dalam kegiatan IHT tersebut saya mencoba membuka hati para arang pendidik, bahwa selama ini kita mengalami kesalahan arah, yang orientasinya selalu pada materi, ujian, materi, ujian yang berkutat dengan angka-angka nilai tak bermakna. Tidak hanya kemampuan akademik, namun masih ada yang perlu dibimbing dan dituntun yaitu kesadaran diri anak didik itu sendiri, sehingga menyadari akan kekurangan dan kelebihannya. Perlu dilatih bagaimana mengembangkan kelebihan potensi yang dimiliki, mengurangi kelemahan yang dimiliki, sehingga pada tahapan berikutnya mampu memiliki kesadaran sosial dan mampu membuat keputusan atas dirinya. Social Emotional Learning dan Restorasi Justice menjadi cara yang dipandang efektif untuk anak didik kita meningkatkan karakter-karakter positif tersebut. Semoga arang-arang pendidik di Batumandi semakin membara yang mampu menjadikan ekosistem menyenangkan di sekolahnya.