Ketika anak-anak kita kecanduan game online, itu bukan salah dari pembuat game. Justru pengembang game mampu membaca peluang pasar, mampu memahami bahwa salah satu kodrat anak itu adalah rasa ingin tahu (keppo). Namun kita sebagai pendidik jarang yang mau menggunakan prinsip game itu untuk pembelajaran. Di dalam game ada level-level, dimana ketika pengguna game mampu menyelesaikan tantangan dari game pada level tertentu akan mencapai kesenangan dan pasti penasaran pada level berikutnya seperti apa. Top up dengan biaya yang besarpun dilakukan hanya untuk mencapai kepuasan tersebut. Sudahkah kita mendidik anak dengan pola permainan game tersebut? Kata kuncinya dari game itu adalah tantangan.
Seringkali kita menganggap bahwa kemampuan awal siswa pada materi tertentu sama, yang lebih parah lagi menganggap siswa belum tahu apa-apa tentang materi tersebut. Kalau kita memahami setiap personal anak didik kita, sebenarnya mereka memiliki kemampuan yang berbeda-beda, bahkan bisa saja pada materi tetentu ada anak yang sudah berada pada level atasnya. Kesalahan persepsi seperti ini menyebabkan cara pengajarannya disamaratakan, padahal setiap siswa adalah unik dan berbeda satu sama lain.
Saya menjadi ingat dengan salah satu siswa bernama Bahtera. Meski secara digital belum begitu menguasai, namun kemampuan menggambar secara manual sudah berada pada level atasnya. Bagaimana kita tahu kemampuan anak kalau cara pembelajarannya secara seragam dan bersifat konvensional? Dalam hal ini justru pembelajaran secara individual harus dilakukan. Mengenal karakteristik satu demi satu harus dilakukan oleh seorang pendidik. “Ah, ribet banget ya, kalau siswanya di atas seratus bagaimana, apa bisa mengenali satu demi satu?”, timbul pertanyaan seperti itu. Jawabnya gampang, siapa yang memilih menjadi guru sebagai pekerjaan dan bahkan mau menerima gaji dari pekerjaan itu. Ketika sudah mau menerima gaji itu, sebagai konsekuensinya, maka pekerjaan itu harus dilakukan.
Kembali kepada Bahtera yang di awal sudah memiliki kemampuan menggambar manual pada level yang lebih tinggi. Ketika memegang prinsip bermain game dalam mendidiknya, maka Bahtera perlu diberi tantangan sehingga mampu naik level pada tingkatan yang lebih kompleks. Bersamaan dengan rencana pameran di akhir September 2022, Bahtera saya beri tantangan untuk menampilkan karya lukisannya. Tidak hanya satu karya, namun banyak karya yang perlu ditampilkan. Bahkan pernah saya tantang ke depannya bisa membuka pameran tunggal. Dari tantangan tersebut ternyata membawa dampak yang positif pada Bahtera. Biasanya ia mengerjakan sesuatu sesuai dengan mood, namun di akhir-akhir ini, Bahtera mampu nembuat karya-karya lukisan sebagai tantangan bebas di samping tantangan wajib juga ia kerjakan dengan baik.
Karya-karya tersebut merupakan karya bebas yang akan digunakan untuk pameran. Masih banyak lagi karya yang dibuat dengan media kertas. Ada kepuasan dari Bahtera ketika mendapat tantangan ini. Tantangan yang tentu berbeda dengan siswa lainnya, karena passionnya adalah melukis, bahkan menjadi pelukis adalah cita-citanya. Untuk masuk pada level berikutnya, Bahtera juga ditantang untuk membuat lukisan atau gambar wajah secara langsung dari orang yang berada di depannya ketika sedang pameran nantinya. Meskipun kegiatan itu belum pernah ia lakukan, namun ia tertantang dan ingin mencobanya dari sekarang. Tidak harus segudang administrasi penilaian bahkan penilaian angka-angka yang belum tentu diperlukan oleh seorang Bahtera. Yang ia butuhkan justru wadah untuk mengaktualisasi diri. Model permainan game inilah yang dibutuhkan Bahtera dengan cara diberi tantangan.
Saya sangat setuju sekali, menyikapi pendidin Dan pembelajaran di era digital sekarang ini. Saya mengajar Bahasa Inggris Dan selalu mengupdate game untuk siswa Saya. Bagaimana mengikuti mood mereka untuk belajar Dan tidak membosankan