Meskipun liburan budaya dialektika dengan anak didik terus dibangun melalui group whatsapp. Bukan masalah kuantitas dari jumlah yang memberi respon, namun kualitas respon yang saya harapkan. Pagi-pagi saya mengirimkan sebuah gambar rumah pertama para pendiri perusahaan apple, google, amazon dan disney gunakan. Saya hanya memberikan pertanyaan pemantik, “Setelah membaca, melihat, mengamati dan memperhatikan informasi tersebut. Apa yang bisa kalian petik? Apa yang bisa kalian lakukan?”, tulis saya melalui group whatsapp.
Beragam pendapat dan respon siswa dari pantikan pertanyaan tersebut. Moreno Rizky Herlambang menyampaikan, “Untuk memulai sesuatu kita bisa menggunakan tempat yang seadanya dan menjalankannya dengan tekun agar kita bisa mendapatkan hasil yang terbaik”. “Ada pemikiran lain? Kalau tempat seadanya, terus apa yang perlu dipersiapkan sehingga bisa go internasional?”, tanya saya lebih lanjut di group.
Beberapa menit kemudian, Iqbal Ramadhan memberi respon. “Memanfaatkan ruang dan waktu sangat penting tapi yang terpenting itu waktunya. Banyak orangĀ sukses yanh memanfaatkan waktunya dengan baik. Dan menurut saya pribadi tempat itu opsional mau di manapun bisa dilakukan”. “Apalagi di dunia kreatif ya, bahkan kantornya bisa di website”, respon saya berikutnya. “Iya pak. kan jika kantornya di web gak ada yg tahu jika mereka bekerja di tempat-tempat yang sederhana”, jawab Iqbal.
Benedictus juga tidak mau ketinggalan berpendapat. “Sebelum perusahaan tersebut menjalankan tanggung jawab yang besar, mereka menjalankan tanggung jawab yang kecil. Jadi sebelum kita ingin meraih hal-hal yang besar atau diberi tanggung jawab yang besar, kita perlu belajar menjalankan tugas dan tanggung jawab yang kecil terlebih dahulu”.
“Pemikiran yang luar biasa. Jadi untuk menjadi besar itu tidak secara instan, butuh perjuangan menyelesaikan hal kecil terlebih dahulu”, lanjut saya memberi dukungan pendapat Benedictus.
Ahmad Yasin Ramdhani tidak mau ketinggalan menyampaikan pendapatnya dan tehtu berbeda dari yang lainnya sehingga menambah kekayaan pendapat di group. “Memulai suatu hal itu bisa dilakukan jika kita memiliki kemauan dan tekad, bukan di mana kita memulai tapi bagaimana kita bisa survive dari banyaknya kompetitor. Dengan begitu bukan bagaimana cara bertahan tapi berpikir untuk terus naik dan improve”, ungkap Yasin.“Pemikiran yang luar biasa. Kata kuncinya meningkatkan kapasitas”, respon saya selanjutnya.
Budaya dialektika bisa dilakukan kapan saja, di mana saja, dengan media apa saja. Tidak harus tatap muka. Justru keberadaan whatsapp bisa mendekatkan kita pada anak didik. Bukan jumlah atau kuantitas dialektika yang kita bangun, namun kualitas dialektika yang perlu ditingkatkan. Dalam ajaran Ki Hajar Dewantoro, proses ini bagian dari olah pikir. Anak didik diajak untuk berpikir dari stimulus yang kita berikan berdasarkan kondisi apa saja yang bisa digunakan untuk tema diskusi. Tidak lupa pada proses ini saya sampaikan penghargaan untuk mereka yang akktif. Inilah kunci dari penerapan social emotional learning.
“Terima kasih diskusi hari ini. Terima kasih yang berperan aktif menanggapi dalam forum diskusi, untuk: Moreno, Iqbal, Benedictus dan Ahmad Yasin. Terima kasih juga untuk anak anak yang sudah menyimak, semoga obrolan ini bermanfaat pada proses kesadaran diri”, pesan saya untuk mereka.
Budaya dialektika merupakan kunci untuk membangun kesadaran diri. Salam GSM, berubah, berbagi, berkolaborasi.