Selasa, 25 April 2023 kembali merasa bahagia bisa bertemu guruku ketika belajar di sekolah dasar. Beliau Bu Suharti dan Pak Sukardi. Ada banyak jasa dari beliau berdua, sehingga saya berada pada titik ini, dimana sayapun bisa mengikuti jejak beliau berdua menjadi guru.
Teringat kembali ke masa lalu saat di sekolah dasar. Semua siswa memanggil dan berbondong-bondong menyalami beliau berdua ketika sudah sampai di halaman SD Negeri Jlegong 1. “Bu Guru Rawuh, Pak Guru Rawuh”, ucap kami sambil berhamburan ketika itu bermain dan segera menghampiri berebut ingin bersalaman. Beliau berdua dengan senyum khasnya guru desa dengan memancarkan keramahan menyalami satu demi satu siswa yang berdatangan menghampiri. Tidak ada rasa takut tertular penyakit “gudhik” di saat itu, karena beliau dengan tulus menerima sentuhan tangan-tangan anak-anak SD yang masih jarang memakai sepatu. “Gudhik” merupakan penyakit kulit dan menjadi wabah di saat itu. Tidak ada satupun siswa yang terhindar dari penyakit tersebut.
Masih lekat di ingatan saat itu, saya mendapat pengajaran oleh Bu Harti di saat kelas 3. Tegas, berwibawa, namun ramahnya sangat luar biasa. Saya semakin dekat dengan beliau, karena sering bertemu di rumah. Bukan karena saya anak yang spesial, karena biyungku (ibu) yang dikenal bisa memijat orang, sehingga seringkali beliau datang ke rumah untuk pijat. Sering pula, biyung yang diundang ke rumah beliau untuk memijat. Dari situlah banyak dialog antara biyung dan Bu Harti membahas tentang pendidikan masa depan saya. Ada banyak motivasi dari beliau agar biyungku memiliki pandangan yang luas untuk menyekolahkan saya setinggi-tingginya. Mungkin ketika tidak ada dorongan, dukungan dari Bu Harti terhadap pemikiran biyung, saya hanya sampai lulus SD saja, karena hampir semua siswa SD di kala itu tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.
Ketika naik kelas empat, saya diajar oleh Pak Sukardi. Beliau adalah suami Bu Harti. Tegas, lugas, sangat berwibawa dan sangat jujur dalam memberikan penilaian. Jika memang tidak bisa, nilai merah di raport itu hal biasa. Masih ingat ketika itu di cawu satu, saya mendapat nilai merah di rapport. Dari situlah saya menjadi bangkit untuk belajar lebih giat.
Dalam perbincangan dengan beliau hari ini, beliau masih ingat sekali kala itu, tidak ada siswa yang berani membaca puisi saat ada bupati Temanggung datang ke desa Jlegong. Masih ingat saat itu, saya mendapatkan kehormatan ditunjuk Pak Sukardi untuk membacakan puisi di hadapan Pak Sri Subagyo (bupati Temanggung) saat itu. Meski ada perasaan dag dig dug, namun terasa plong ketika sudah menyelesaikan tugas itu. Dari situlah saya memiliki kepercayaan diri yang lebih tinggi dibandingkan sebelumnya. Mungkin ketika tidak ada tantangan dari beliau saat itu, saya pun tidak sampai pada titik hari ini yang sama-sama memiliki tanggungjawab untuk memberikan pendidikan kepada anak bangsa.
Sampai saya lulus dari SD Negeri Jlegong 1, kecamatan Bejen, Kabupaten Temanggung, Pak Sukardi masih mengabdi sebagai kepala sekolah. Sebuah dedikasi yang luar biasa, dengan gaji yang kecil saat itu, dengan ketulusannya mampu mengantarkan anak-anak desa untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, meskipun hanya sebagian saja. Karena saat itu, bukan hanya siswa yang perlu diubah mindsetnya, justru orang tua siswanya yang harus mengalami perubahan pola pikirnya. Bersyukur salah satu orang tua saya yang mendapatkan pencerahan dari beliau berdua sehingga mau dan mampu menyekolahkan sampai jenjang sarjana. Dari beliaulah, guruku kunang-kunang yang memberikan cahayanya untuk menerangi di kegelapan. Beliau berdua memang benar-benar guru. Guru berasal dari kata gu dan ru. Gu berarti gelap dan ru berarti terang. Guru berarti dari gelap menuju terang, dan itu ada pada bu Suharti dan Pak Sukardi. Hari ini saya sangat bahagia bisa bertemu beliau, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa, dengan kasihNya memberikan kesehatan dan kebahagiaan. Aamiin.