“Assalamualikum Pak Diyarko, selamat malam, saya ingin berkonsultasi tentang film animasi kelompok”, ungkap Azka, murid kelas X Animasi 3 SMK N 11 Semarang melalui via whatsapp. Segera saya membalasnya, Waalikumsalam, bagaimana mas?”, tanya saya lebih lanjut. “Ada siswa dari kelas X Animasi 1 yang belum mendapatkan kelompok sama sekali, saya inin dia bisa join ke kelompok saya, apa boleh?”, jawab Azka lebih lanjut mengutarakan maksud dan tujuannya. Saya tidak serta merta langsung memberikan jawaban tentang boleh tidaknya. Saya ingin sekali mengorek lebih lanjut, siapa siswa yang dimaksud. “Siapa mas?”, tanya saya secara singkat. “Namanya Tina Pak. Dia cerita sendiri kepada saya. Jadi saya ingin dia bisa bergabung dan membuat lanjutan stoyboard terlebih dahulu, karena kalau membuat animasi tidak akan nyambung dengan apa yang sudah kami buat”, penjelasan Azka lebih lanjut.
Membaca nama murid bernama Tina ini, saya langsung mengingat murid ini. Sejak awal, murid ini masuk ke SMK N 11 Semarang melalui jalur inklusi. Membaca cerita Azka ini justru saya merasakan bahagia. Ketika membuat film animasi secara kelompok, pembentukan kelompok sengaja saya berikan kebebasan kepada murid. Hal ini bertujuan agar murid mendapatkan kenyamanan dalam memilih anggota kelompok. Memang ada plus dan minusnya. Saya bisa memastikan bahwa akan ada murid yang tidak dipilih untuk masuk ke kelompok tertentu. Bagi saya, ini adalah kondisi yang wajar, dan situasi ini dapat menjadi lahan sebagai sosial eksperimen, bagaimana kepekaan murid dalam membangun empati. Bagaimana posisi murid ketika tidak mendapatkan kelompok?
Malam ini saya merasakan bahagia, ternyata ada salah satu murid bernama Azka, meskipun lain kelas dengan Tina, mampu menciptakan pershabatan yang luar biasa. “Oke, silahkan mas. Berarti nanti ketika presentasi dia ikut di kelas X Animasi 3 ya?”, respon saya lebih lanjut. “Benar Pak Diyarko. Dia masalahnya anaknya pendiam dan sering gagal fokus”, ungkap Azka lebih lanjut.
Sebagai bentuk apresiasi terhadap sikap dan perilaku Azka ini, segera saya memberikan respon positif. “Hebat kamu. Kamu mengedepankan pada persahabatan. Sekolah bukan sekedar pintar, tapi bagaimana seseorang mampu mengangkat derajat orang lain, mampu menjadikan orang menjadi sahabat. Bahagia kan, ketika bisa bermanfaat untuk orang lain? Bahagia itu ternyata sederhana. Pak Di ketika menemukan emas seperti kamu, merasakan bahagia yang luar biasa. Meskipun sederhana, mungkin kepintaran kamu masih kalah dengan lainnya, tapi attitude kamu jauh lebih bagus. Itulah emas dan Pak Di sangat bahagia. Semangat terus menebar kebaikan ya mas”, ungkap saya secara lebih rinci. “Baik Pak Diyarko”, ungkap Azka.
Beberapa hari yang lalu, saya juga mendapatkan pesan melalui telegram dari Ervinna. “Permisi Pak Diyarko. Selamat pagi, maaf mengganggu waktunya Pak. Untuk tugas animasi akhir, apakah boleh menambah satu anggota lagi, jadi 5 orang Pak? Saya kasihan kepada Afifah dan mau memasukkannya ke kelompok saya”, ungkap Ervina. Dia juga mengungkapkan bahwa Afifah akan mendapatkan tugas untuk coloring. Seketika saya memberikan respon secara cepat. “Hebat kamu, peran ini yang dibutuhkan. Persahabatan jauh lebih penting”, ungkap saya untuk memberikan apresiasi kepada Ervina.
Dari pesan Azka dan Ervina melalui whatsapp dan telegram ini menjadi pelajaran yang berharga, bagaimana pendidikan yang sebenarnya. Saat ini seringkali kita kehilangan arah. Sering kali kita disibukkan dengan administrasi sekolah, sehingga lupa bahwa sekolah sebenarnya adalah taman yang mampu memberikan kesadaran kepada murid tentang hidup harus bermakna. Sekolah bukan sekedar untuk mencari kepintaran, namun bagaimana menuntun murid agar hidupnya dapat bermanfaat. Dari hal yang paling kecil, maka apresiasi perlu diberikan kepada murid-murid yang telah melakukan kebaikan. Salam.
Super sekali Pak Di,, kebahagian tersendiri. Saya juga pernah mengalaminya. Kelompok Praktik Projek Produk Kreatif dan Kewirausahaan, ada salah satu anggota kelompok dan kebetulan siswa pindahan di kelas XI Manajemen Perkantoran dari luar kota yang diasuh oleh keluarga lain di kecamatan yang berbeda dari sekolah kami, SMKS Muhammafiyah Delanggu. Kebetulan siswa tersebut masih pendiam, tidak punya waktu untuk ambil bagian dalam partisipasi kelompok tugas Direct Selling karena di sela-sela kegiatan sekolah sebagai tenaga part time di daerah potensi wisata air untuk membiayai keperluan sekolah.
Hal tersebut disampaikan oleh ananda Widya sebagai Ketua kelompok, juga menyampaikan permohonan kelonggaran bagaimana jika mbak Sherly tidak ikut partisipasi aktif dalam kelompok namun melaporkan kegiatan tugas part time nya sebagai ganti tugas projek Direct Selling. Saya apresiasi gagasan ananda Widya, “Hebat mbak atas pengertian anggota kelompoknya” Disampaikan pula bahwa pengasuh keluarga lain dari ananda Sherly adalah single parent.
Ada 3 siswa pindahan dari lain kota di kelas XI Manajemen Perkantoran sekolah kami. Alhamdulillah bisa saling memahami keadaan dan latar belakang yang berbeda.
#Berdamai dengan ketidaksempurnaan” saya sampaikan positive talk dan jika saya teelupa, siswa menagihnya. Kebahagiaan twrswndiri.
Terima kasih pak Diyarko.
Terima kasih bu Intarti, atas berbagi pengalamannya