Anjani

Cerpen karya Niken Ayudya Pangastuti (Ditulis dalam rangka Hari Kartini,21 April 2024)

“Yaelah buat apa sih gambar-gambar gitu? Nanti juga akhirnya kamu jadi ibu rumah tangga. Udah lah, Jan,” Ucap pria di ambang pintu kamar Anjani. Seluruh orang yang berada di rumah meremehkan kemampuan Anjani, mereka hanya berpikir bahwa Anjani akan berakhir di dapur. Anjani terlahir di keluarga menengah kebawah, setidaknya Anjani harus menabung untuk sesuatu yang Ia inginkan. Cemooh yang keluar dari mulut keluarga adalah hal biasa bagi Anjani, karena mereka pikir perempuan akan berakhir hanya di rumah. Anjani melangkah menuju dapur, Ia dapat melihat sayur bayam yang menggugah selera dan tahu yang baru saja disajikan di atas meja. Dengan segera Ia mengambil piring dan hendak mengambil nasi, namun suara wanita dari belakang Anjani menghentikan tangannya. “Biar ayah sama kakak dulu”, ucap wanita yang sering Anjani panggil ibu itu. Anjani kembali meletakkan centong nasi, harusnya Ia ingat jika ia tidak boleh mendahului kakak dan ayahnya. “Anjani, sebaiknya kamu berhenti ngegambar hal yang gak jelas itu”, suara Ibu menggema di meja makan, Anjani terdiam mendengar kalimat wanita itu. Menggambar dan melukis sudah menjadi setengah hidup bagi Anjani, mustahil Anjani menghentikan kegiatan yang sehari-hari Ia lakukan. “Nggak bisa Bu, lagi pula itu kan hobi Anjani dari kecil”. Ibu menatap Anjani dengan marah, sudah biasa anjani mendapatkan tatapan tajam itu setiap kali membahas hobi Anjani. “Buat apa gambar-gambar nanti akhirnya toh kamu jadi ibu rumah tangga, buang saja mimpimu itu”, ucap pria dengan kumis tebal dari seberang tempat duduk Anjani, dengan perasaan sedih ia terpaksa melahap makanan yang ada di hadapannya dengan tidak selera. Setelah makan malam selesai, Anjani beranjak dari meja makan. Namun, belum sempat ia melangkah suara berat ayah menghentikan langkahnya menuju kamar. “Mau kemana kamu? Piringnya dicuci dulu Anjani”, ucapnya dengan menghisap rokok yang Ia himpit di jari telunjuk dan tengahnya. Lagi-lagi Anjani hanya bisa diam, dan melihat kakak laki-lakinya melenggang pergi menuju kamar. Anjani kembali ke kamar setelah mencuci piring, Ia membuka buku latihan soal seleksi perguruan tinggi. Anjani sebentar lagi lulus, namun untuk melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi sangatlah susah. Anjani menghela nafas, Ia menatap buku tebal dengan ratusan latihan soal di dalamnya. Anjani selalu berpikir bahwa Ia dapat masuk ke perguruan tinggi, selama ini Ia selalu belajar dengan sungguh-sungguh. Namun pikiran tentang cemoohan keluarga Anjani terus berdatangan ketika Ia selalu berpikir bahwa ia bisa lolos seleksi perguruan tinggi. Lagi pula ekonomi keluarga Anjani juga tidak stabil, tidak mungkin Anjani dapat melanjutkan studinya ke perguruan tinggi.

Gambar Gambar Ilustrasi Perempuan Desain Lukisan Warna, Dilukis, Kartun ...
https://id.pngtree.com/freepng/girl-s-illustration-figure-design-of-color-painting_7405002.html

Keesokan harinya Anjani melangkah menuju kelasnya, hari Senin menjadi momok bagi seluruh murid karena mereka harus memasuki sekolah. “Anjani! Kamu udah ngerjain tugas kemarin?” baru sampai di ambang pintu kelas, Anjani sudah di serbu dengan pertanyaan dari perempuan bernama Aurel. Anjani hanya mengangguk dan menuju bangkunya, Aurel mengikuti Anjani dari belakang. “Aku boleh lihat? Aku belum ngerjain dari semalem, Jan”. Anjani hanya menghela nafas, Ia sudah hafal dengan karakter Aurel yang pemalas, jadi tidak heran jika pagi-pagi sekali jika ada tugas Aurel akan menyalin jawaban Anjani. “Jani! Ayo ke kantin, aku yang traktir! Tadi kamu udah bolehin aku nyontek tugasmu”. Tanpa menunggu persetujuan Anjani, Aurel segera menyeret Anjani keluar dari kelas. Sesampainya di kantin, Anjani mengedarkan pandangannya melihat sekitar. Terlalu ramai dan sesak, lagi pula Anjani tidak bergairah untuk membeli jajanan kantin. Menurutnya bekal yang ia bawa sudahlah lebih dari cukup. “Kamu mau jajan pa, Jan?”, tanya Aurel yang matanya sudah jelalatan melihat banyak gorengan di hadapannya, sedangkan Anjani hanya menggeleng dan menjawab tidak. “Gak usah lah, Rel. Mending kita balik ke kelas aja, ramai banget”, Aurel menatap Anjani kesal, baru saja mereka sampai namun Anjani sudah ingin balik ke kelas yang membosankan itu. “Beneran kamu gak mau apa gitu? Aku yang traktir kok, Jan”. Lagi-lagi Anjani hanya menjawab pertanyaan Aurel dengan gelengan kecil. “Yaudah, temenin aku makan aja”. Untuk kali ini Anjani mengangguk, walau di dalam hati kecilnya terdapat rasa ingin duduk di kelas saja. “Kamu tau gak sih, Jan? Aku capek harus hidup gini terus”. Anjani mendengarkan cerita Aurel dengan seksama, tangan nya yang Ia lipat di atas meja dan mata coklatnya menatap lurus ke arah mata Aurel menunggu kalimat selanjutnya. “Pulang sekolah setengah empat tuh capek, Jan. Belum lagi aku harus ke tempat les sampai jam enam”, lanjut Aurel mengaduk-aduk minuman yang ada di depannya. Anjani diam menatap Aurel, jauh di dalam lubuk hati Anjani, Ia ingin sekali seperti Aurel. Hidup berkecukupan, hobi selalu didukung, dan masa depan sudah dipersiapkan. Beda dengannya, Anjani menghela nafas dan menghentikan tangan Anjani yang terus-terusan memutar es teh di depannya. “Itu semua buat masa depan kamu, Rel. Kamu beruntung lahir di keluarga yang berkecukupan dan orang tua yang suportif. Aku iri”. Makan siang Aurel kali ini membuat dirinya tidak enak karena membuka topik yang tidak disukai Anjani.

Sesampainya di rumah Anjani membuka buku tebal latihan soal, ia mulai mengerjakan satu persatu hingga suara Ibu menghentikan aktivitasnya. “Anjani, gak usah memaksakan diri gitu. Kamu gak akan bisa masuk ke perguruan tinggi”, ucapnya dari ambang pintu kamar Anjani, jika saja Anjani tidak lupa menutup pintu pasti kalimat ibu tidak akan keluar dari mulutnya. “Iya tuh nanti juga paling jadi babu rumah, udah lah apa gak capek tuh otak mikir terus”, Anjani menutup bukunya dengan sedikit gebrakan yang menimbulkan suara bising, dengan malas Ia menutup pintu kamar agar kata-kata menyakitkan itu tidak mencoba membunuh tekadnya.

Hari berganti, tiba saatnya Anjani mengerjakan ujian masuk perguruan tinggi. Anjani merinding ketika memasuki ruang ujian, dingin dan mencekam adalah kesan pertama Anjani memasuki ruangan itu. 30 menit berlalu beberapa soal sudah Anjani selesaikan, Anjani yakin Ia dapat menyelesaikan soal-soal itu dengan mudah. Hari itu berjalan dengan baik, Anjani dapat menyelesaikan seluruh soal. Kini Ia hanya dapat berharap, semoga ia diterima di kampus impiannya yang berada di Yogyakarta. Institut Seni Indonesia adalah kampus impian Anjani, selain itu berada jauh dari jangkauan orang tua membuat Anjani sedikit merasa tenang. Namun, saat ini Anjani hanya dapat membayangkannya saja. “Habis dari mana kamu?” ayah langsung bertanya kepada Anjani saat Ia baru saja memasuki rumah. “Aku dari rumah Aurel, Yah.” Anjani tidak sepenuhnya berbohong, setelah ujian Ia pergi ke rumah Aurel. Namun, suara ayah kembali menghentikan langkah Anjani untuk masuk kedalam rumah. “Ayah tau kamu ikut ujian masuk ke perguruan tinggi, kan?” Anjani diam mematung, seketika seluruh tubuhnya tidak dapat bergerak. Keringat dingin mulai bercucuran membasahi pelipisnya, suarah ayah benar-benar mengintimidasi Anjani saat ini. “Sudah ayah bilang berkali-kali kan, Jan? Kita gak punya banyak uang, udah lah kamu lulus
sekolah langsung kerja aja.” Tangan Anjani mengepal kuat, Anjani menahan amarah yang sedari tadi perempuan itu tahan. “Ayah gak perlu ngatur hidup Anjani! Anjani tau kok ekonomi kita kurang, Anjani udah mikirin hal itu dari jauh-jauh hari!!”
anjani berteriak, amarah yang sedari tadi Ia tahan membludak seketika. Satu tamparan keras membuat wajah Anjani memerah, hati Anjani remuk ketika mendapati ayahnya sendiri yang menampar pipi sebelah kanannya. Dengan menahan tangis, Anjani masuk ke dalam dan membanting pintu kamarnya.

Suasana sore di kediaman Anjani sangat dingin, beruntung perkelahian anak dengan bapak tadi tidak mengundang atensi warga sekitar untuk menonton. Anjani mengurung diri di kamar seminggu penuh, Ia keluar hanya untuk mandi. Perempuan
itu menghabiskan harinya di sekolah dan pulang ketika menjelang malam. Matahari semakin tinggi, kaki jenjang Anjani terus melangkah menyusuri trotoar. Perempuan itu berhenti di jembatan, menatap ke bawah kolong jembatan dan mendapati beberapa anak kecil sedang bermain. Anjani tertarik untuk datang ke bawah kolong jembatan itu, dengan berbekal beberapa makanan ringan yang Ia beli dari mini market sebelum turun ke bawah.

“Hai!” sapa Anjani ramah, anak-anak itu sedikit ketakutan dan berapa anak berlindung di balik tubuh yang lebih tua. “Aku bawain jajan buat kalian.” Anjani mengangkat tangan yang menenteng kantong plastik dengan penuh makanan ringan. “Kalian lagi apa? Seru banget. Anjani memperhatikan keadaan sekitar, kumuh dan sampah berserakan dimana-mana. “Kita lagi belajar berhitung kak” Anjani mengerutkan keningnya, berusaha memahami apa yang anak-anak ini lakukan. “Jadi kami menghitung sampah, sampah yang berserakan kami ambil dengan berhitung.” Anjani merasa kasihan pada anak-anak itu, matanya mulai berkaca-kaca. “Kalian gak sekolah?” Anjani membelai salah satu rambut anak perempuan yang masih balita. Beberapa anak menjawab dengan gelengan kepala, Anjani prihatin dengan mereka. Siang itu Anjani habiskan dengan anak-anak yang berada di bawah kolong jembatan, mengajari mereka cara membaca dan menghitung. Kakak pulang dulu ya, udah sore.” Anjani beranjak dari tempat, namun seorang anak laki-laki berlari memeluk Anjani. “Terimakasih kak” Air mata jatuh dari kedua mata cantik perempuan itu, andai saja Anjani terlahir di keluarga kaya Ia berjanji akan membawa anak-anak ini ke sekolah. Mulai hari itu, Anjani lebih sering berkunjung ke kolong jembatan dimana anak-anak itu bermain. Seperti hari ini, bukannya diam di rumah menunggu pengumuman hasil seleksi perguruan tinggi nya Anjani memilih berkunjung ke kolong jembatan. “Hai! Kakak bawain kalian cat, ayo kita coret-coret temboknya!” Anjani datang dengan semangat di wajahnya, dan anak-anak di sana yang melihat Anjani menjadi semangat berlari ke arahnya. Anjani duduk di tanah beralaskan plastik hitam dengan handphone di genggamannya menampilkan halaman utama pengumuman hasil seleksi perguruan tinggi, jantungnya berdebar namun wajah anak-anak polos itu membuat Anjani sedikit lebih tenang. Layar handphone Anjani menampilkan tulisan “SELAMAT ANDA DINYATAKAN LULUS SNBT 2024, Anjani senang bukan main air matanya jatuh membasahi kedua pipi putihnya. “Kak? Kakak kenapa?” Salah satu anak yang berada di sana heran mengapa Anjani tiba-tiba menangis. “Kakak lolos seleksi..” Seketika anak-anak yang berada di sana memeluk Anjani secara
bersamaan, air mata Anjani semakin deras mengalir. “Aku gak tau apa itu seleksi, tapi aku seneng lihat kakak lolos” Anak dengan jepit rambut yang sudah usang itu memeluk Anjani dengan mata berbinar. “Kakak lolos seleksi apa?” anak laki-laki berusia 15 tahun itu bertanya kepada Anjani. “Kakak lolos seleksi perguruan tinggi.” Beberapa anak terlihat tidak senang dengan pernyataan Anjani. “Itu artinya kakak gak akan ke sini lagi ya?” Anjani menatap anak perempuan itu, suaranya bergetar saat melempar pertanyaan itu. “Enggak kok, kakak janji. Kalian doain kakak ya? Biar kakak di sana cepat lulus terus bisa ketemu kalian lagi.” Suasana menjadi sedih, Anjani merasa bersalah meninggalkan anak-anak ini namun Anjani
berjanji sebisa mungkin akan mengunjungi mereka saat liburan menjelang. Kicauan burung menyapa pagi ini. Tiba saatnya Anjani pergi ke kota Yogyakarta, hari yang Anjani tunggu-tunggu akhirnya datang. Anjani keluar dari kamarnya, di ruang tamu sudah ada ayah, ibu dan kakaknya. “Yah, Bu.. doain Anjani ya, semoga ayah dan ibu masih bisa lihat Anjani di hari kelulusan nanti. Anjani bakal buktiin kalo perempuan gak selamanya ada di dapur, mengurus hal-hal rumah tangga.” Walaupun tidak mendapat jawaban dari kedua orangtuanya, Anjani tetap yakin jauh di dalam lubuk hati mereka berdua pasti mendoakan yang terbaik untuk Anjani. Kemarin, Anjani mengunjungi kolong jembatan untuk berpamitan kepada anak-anak disana, berat rasanya meninggalkan mereka. Anjani juga meninggalkan buku-buku usang miliknya dan beberapa Ia beli baru, berharap dengan hal kecil seperti itu mereka dapat belajar banyak. Setelah selesai menempuh pendidikannya, Anjani berjanji akan mengajari mereka hal-hal baru yang belum pernah mereka rasakan seperti bersekolah.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *