“Apakah kamu sering merasa cemas akan pendapat orang lain? Bisa jadi kamu mengalami FOPO atau Fear of Other People’s Opinions. Ketakutan terhadap pendapat orang lain ini tentunya bisa sangat mengganggu kehidupan jika muncul secara terus menerus”, sebuah penggalan beberapa kalimat yang tertulis pada sebuah artikel tentang Fopo (https://www.ugm.ac.id/id/berita/23732-apa-itu-fopo-dan-dampaknya-bagi-kesehatan-mental-menurut-psikolog-ugm). Dalam artikel tersebut Psikolog UGM, T. Novi Poespita Candra, S.Psi., M.Si., Ph.D., Psikolog, menjelaskan bahwa saat ini FOPO telah menjadi fenomena di masyarakat tanah air. Bahkan, dalam beberapa waktu terakhir fenomena ini menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat. Mungkin kita yang dipandang sudah dewasapun sebagai guru tidak luput dari kejadian tersebut. Dalam paparan di artikel tersebut, Bu Novi menyampaikan jika ketakutan akan pendapat orang lain ini terus berlanjut dapat mengakibatkan gangguan kecemasan sosial. Kondisi tersebut bisa memunculkan dampak negatif bagi kesehatan mental seperti mudah stres apabila mengalami kegagalan. Selain itu juga menjadikan seseorang tidak mengetahui apa yang menjadi keinginan diri karena semua yang dilakukan untuk memenuhi harapan publik.
Ekosistem pendidikan dibuat agar anak-anak bisa tumbuh dengan percaya diri merupakan salah satu cara mencegah terjadinya FOPO. Apabila anak-anak memiliki rasa percaya diri yang baik maka akan tumbuh menjadi pribadi yang utuh dan mandiri. Sebaliknya, jika anak tidak memiliki rasa percaya diri yang baik maka sebagian hidupnya dipenuhi emosi negatif seperti malu, cemas, khawatir, tidak ada harapan, dan lainnya. Ungkap Bu Novi dalam paparan di artikel tersebut. Budaya dialektika ternyata mampu mengatasi kejadian FOPO pada anak didik. Inilah yang menjadi point penting untuk saya kembangkan di sekolah.
Tidak menunggu lama setelah saya membaca artikel tersebut, akhirnya segera saya share ke group kelas X Animasi dan group pengurus OSIS, sembari saya kirimkan tulisan pemantik. “Setelah kalian membaca artikel tersebut. Pernahkan kalian mengalami FOPO? Boleh bercerita dampak yang kalian rasakan? Terus bagaimana kalian mengatasi selama ini? Silahkan yang sudah membaca boleh berkomentar. Terima kasih”, sepenggal kalimat tanya dan ajakan untuk melakukan dialog meskipun melalui media tulisan. Beberapa waktu tidak sampai menunggu lama, sudah banyak siswa yang menyampaikan pendapatnya. Ada beberapa siswa yang tidak mengalami kejadian FOPO. Namun beberapa siswa yang mengalami kejadian FOPO memberikan pendapatnya secara panjang dan lebar.
“Saya pernah beberapa kali mengalaminya. Meskipun seharusnya saya mengabaikan perkataan mereka, tetapi perkataan mereka tetap terbayang dan membuat diri sendiri merasa cemas. Tetapi, saya yang sekarang sudah berusaha untuk mengabaikan itu semua. Karena masing masing orang memang memiliki pandangan yang berbeda dengan yang lain”, ungkap Alica. Ketika saya kejar dengan pertanyaan, bagaimana cara mengatasinya, Alica pun memberikan penjelasan lebih lanjut. “Mencoba untuk tetap berpikir positif, Pak. Memang tidak mudah, karena selalu terbayang-bayang. Apalagi selalu berpikir yang berlebihan (seperti pendapat orang lain tentang diri sendiri). Tetapi sekarang, saya sudah menemukan lingkungan yang cocok untuk saya. Saya merasa lebih nyaman dan pikiran-pikiran buruk itu mulai tenggelam, Pak. Saya juga sudah jarang memikirkan pendapat orang lain terhadap saya, karena saya berhak untuk melakukan apapun yang saya mau tanpa memikirkan pendapat orang lain terhadap saya. Meskipun terkadang pemikiran itu muncul kembali, saya berusaha untuk berpikir positif dan terus percaya diri”, ungkap Alica lebih lanjut. Segera saya berikan reaksi jempol untuk memberikan penguatan atas pendapatnya.
“Saya pernah mengalami FOPO. Bahkan sering, terutama pada saat SMP. Banyak dampak negatif yang saya rasakan waktu itu, salah satunya adalah tidak bisa bebas dalam mengekspresikan diri sendiri. Terkadang saat saya ingin memakai pakaian yang menurut saya bagus, muncul di pikiran bahwa orang lain mungkin akan bilang bahwa pakaian saya itu ‘norak’ atau ‘lebay’. Dan saat saya ingin melakukan suatu hal, saya terus memikirkan “Apa pendapat orang-orang jika saya melakukan ini?”, “Bagaimana jika hal ini tidak disukai oleh orang-orang?” Dan menurut saya mempunyai pemikiran negatif seperti itu sungguh menguras tenaga, saya jadi tidak bisa melakukan banyak hal hanya karena takut oleh pendapat orang lain. Tapi alhamdulillah saat masuk SMK saya menjadi sangat jarang mengalami FOPO, mungkin itu terjadi karena lingkungan pertemanan saya sekarang lebih positif dan tidak judgemental. Selain itu, seiring waktu saya mulai tidak takut dan tidak terlalu memikirkan pendapat orang lain, saya juga sekarang sesekali membaca artikel tentang bagaimana terlalu memikirkan pendapat orang lain itu sangat buruk untuk kesehatan mental, jadi saya dengan perlahan akan mengubah diri saya agar tidak takut lagi dengan pendapat orang lain”, ungkap Arika. Pendapat Arika ini membuat hati saya sedikit bahagia, karena lingkungan di SMK Negeri 11 Semarang dipandang Alica lebih memberikan iklim yang positif, sehingga kejadian FOPO tidak ia alami lagi.
“Saya pernah merasakan atau mengalami FOPO. Rasanya saya sangat takut sampai untuk berbicara dengan orang lain selain teman terdekat atau keluarga sangat takut, takut di kritik, takut mendengar opini-opini orang lain atau lainnya. Terutama saat ini usia saya sudah memasuki dimana saya harus mulai berusaha sendiri, melihat teman-teman yang ternyata sudah bisa berusaha bahkan memiliki pencapaian atau penghargaan membuat saya semakin ciut bahkan menjadi ragu kepada diri saya sendiri. Tapi perlahan saya mencoba mengatasinya dengan tidak terlalu banyak menelan semua yang dikatakan orang lain, kadang saya juga membicarakan masalah tersebut dengan teman saya, bahkan teman saya memberikan nasihat atau beberapa patah kata untuk meyakinkan saya bahwa tidak semua perkataan orang tidak harus di terima seluruhnya. Saya juga mencoba untuk bergerak keluar dari zona nyaman saya karena selain mendengarkan opini orang lain, menetap di zona nyaman juga salah satu yang membuat kita merasa terus tidak percaya diri”, ungkap Maesta.
“Saya pernah mengalami dan masih sampai sekarang FOPO. Dampak yang saya rasakan adalah saya kurang percaya diri , cepat untuk frustasi , takut . Itu karena sebagian orang yang saya dengar tidak mengerti dengan arti “pendapat” . Mereka lebih seperti mengejek. Tidak mudah mengatasi FOPO tapi salah satunya adalah dengan mengambil pendapat orang lain yang benar-benar pendapat dan mengabaikan yang bukan pendapat”, ungkap Febi.
“Jelas tentu saya pernah mengalami hal tersebut, mungkin bisa dibilang saya memiliki ketakutan tersendiri dengan FOPO atau pandangan orang lain/kritikan dari orang lain. Yang saya rasakan ialah ketika saya ingin melangkah ke depan saya masih berada di posisi ragu, bimbang , bahkan mempunyai ketakutan tersendiri akan pandangan orang lain terhadap saya. Hal hal seperti inilah yang memicu kurangnya kepercayaaan diri saya. Hal yang saya lakukan untuk mengurangi rasa seperti itu ialah, saya harus menekankan prinsip didalam hidup saya yaitu “berani mencoba , jangan dengar dulu apa kata orang lain”, dan berusaha tidak close minded terhadap kritikan dari orang lain ke diri saya”, ungkap Savira sebagai pengurus OSIS.
“Saya pribadi pernah mengalami FOPO, Dampak yang saya rasakan sewaktu saya masih sering mengalami FOPO saya jadi takut untuk memberikan pendapat kepada publik, bahkan untuk berbicara di dalam sebuah kelompok diskusi kecil, Karena takut dengan opini orang lain, namun saya memiliki keinginan untuk menjadi pribadi yang lebih percaya diri untuk berbicara di depan umum. cara saya menghadapi nya yaitu, pada awal nya saya mencoba untuk berbicara di dalam sebuah kelompok diskusi kecil, awalnya memang takut, ragu, namun saya mencoba membiasakan diri untuk berbicara, memberikan tanggapan maupun pendapat tanpa terlalu memikirkan pendapat orang lain, Sekarang saya masih mencoba menjadi lebih baik lagi untuk tidak terlalu memikirkan opini orang lain yang tidak terlalu penting”, ungkapp Hadasa sebagai pengurus OSIS.
“Terkadang saya dulu mengalami FOP pada masa SMP. Saya mengalami FOPO tersebut setiap kali saya ingin mengunggah sesuatu di instagram saya karena saya takut bila orang lain akan menilai karya saya buruk dan jelek. Seiring berjalan nya waktu saya mulai merefleksi diri. Saya juga menemukan banyak sekali video di media sosial yang memotivasi diri untuk menjadi percaya diri dan tidak peduli dengan opini buruk orang lain”, ungkap Marshal, sebagai pengurus OSIS.
Hasil dialog ini meskipun dalam bentuk tulisan, tanggapan mereka bermanfaat untuk teman lain yang sebenarnya mengalami, namun takut mengungkapkan di group. Mungkin inilah yang dimaksud dengan Bu Novi bahwa budaya dialektika akan mengurangi terjadinya FOPO. Karena dengan dialog, akan banyak bermunculan pandangan-pandangan yang berbeda sehingga menambah cakrawala mereka. Yang awalnya terbiasa dengan pandangan yang sama, seragam, akhirnya dengan dialog muncul kepercayaan diri untuk berpendapat. Berawal dari hal yang paling kecil inilah, ketakutan-ketakutan terhadap pandangan orang lain menjadi berkurang.
Sebagai penutup dalam dialog di malam ini, 23 Mei 2023, saya tuliskan sebuah kalimat, “Pengalaman yang bagus. Terima kasih yang sudah sharring dan bisa membukakan teman-teman yang saat ini mengalami FOPO. Sukses untuk kita semua”, ungkap saya dalam menutup dialog. Inilah yang kami lakukan, sederhana bukan? Budaya dialog sekecil apapun, perlu terus dilakukan untuk mengurangi dan mencegah FOPO.