Miris ketika membaca di media masa yang memberitakan tentang dugaan penganiayaan pada santri hingga tewas pada salah satu lembaga pendidikan pondok pesantren modern. Saya pun membaca status di whatsApp dari salah satu anak didik saya yang pernah mengenyam pendidikan menjadi santri di pondok tersebut selama 1,5 tahun. Akhirnya saya memberanikan diri untuk bertanya tentang sisi gelap di balik kehidupan santri yang ia jalani saat itu.
“Sebenarnya bukan bulying Pak tapi senioritas. Tingkatan yang ada di pondok modern tersebut adalah kelas 1 SMP sampai kelas 1 SMA itu anggota yang diasuh oleh kakak kelasnya yang kelas 2 SMA (pembina). Setiap peraturan yang diterapkan pondok harus dipatuhi. Dan yang membuat peraturan adalah ustadnya. Ustad adalah santri yang telah lulus dan wajib mengabdi selama 1 tahun. Jadi kalau ada adik asuh yang melanggar aturan, yang kena hukum itu pengasuhnya atau kakak kelas yang kelas 2 SMA, biasanya hukuman yang diberikan ustad pada pengasuh berupa fisik dan tidak jarang menggunakan senjata seperti pipa, kayu, selang dan lain-lain. Setelah pengasuh menerima hukuman biasanya membalaskan dendam pada adik asuhnya berupa hukuman fisik dan biasanya juga menggunakan senjata. Kalau kita membalas saat dipukul, hukuman yang diberikan adalah dikeluarkan dari pondok karena berani melawan seniornya. Dan selama saya pondok modern tersebut sudah ada 2 teman saya yang meninggal karena senioritas, dan juga biasanya keluarga korban itu disuruh menutup nutupi kejadian tersebut baru kali ini terpublish karna langsung ditangani oleh pengacara Hot Man Paris, ungkap anak didik saya yang pernah belajar di pondok tersebut.
Setelah membaca ungkapan dari salah satu siswa yang pernah mengenyam dan merasakan budaya senioritas di pondok modern tersebut, apa yang pembaca rasakan? Itulah dunia pendidikan kita. Pondok pesantren juga bagian dari pendidikan. Meskipun tidak untuk generalisasi, namun kejadian ini patut menjadi perhatian bahwa pendidikan kita masih mempercayai bahwa otak reptil yang mampu mengubah perilaku. Di Indonesia pendidikan masih memberikan ruang dan porsi besar pada penciptaan disiplin melalui rasa takut, ancaman dan hukuman, yang dipercaya mampu mengubah perilaku. Lupa membangunnya dengan cara kesadaran diri.
Otak reptil atau sering disebut sebagai sang penjaga. Otak ini terletak paling belakang di otak kita ia berupa batang yang menghubungkan otak dengan tulang belakang. Otak reptil berfungsi mengatur gerak reflek dan keseimbangan pada tubuh manusia. Otak inilah yang memerintahkan kita untuk bergerak saat jika terjadi bahaya ataupun melidungi kita dari bahaya fisik. Otak reptil akan aktif apabila orang merasa takut, stress, terancam marah atau saat lelah. Pada saat otak reptil aktif, orang tidak dapat berpikir. yang berperan adalah insting dan langsung bergerak.
Apa yang terjadi ketika proses pendisiplinan dengan cara ditekan dan ditakut-takuti? Alih-alih untuk menegakkan tata tertib di lingkungan pendidikan dengan skor-skor pelanggaran. Miris ketika dunia pendidikan dengan alih-alih untuk menertibkan dengan cara paksaan, tekanan dan ancaman. “Nanti, ketika anak-anak tidak bisa tertib memarkir pada tempatnya, jangan salahkan apabila ban rodanya digembosi”, ungkapan ini sering kali diungkapkan oleh petugas yang mengatasnamakan penegak disiplin. Apa bedanya cara mendisiplinkan mahkluk yang namanya manusia yang konon sebagai mahkluk paling mulia dengan binatang apabila cara-caranya masih memberikan tekanan dan ancaman? Manusia berasal dari kata sanskerta yaitu “mano” yang artinya pikiran. Manusia memiliki akal pikiran, yang seharusnya untuk mengubah perilaku dengan memperhatikan pada proses kesadaran diri. Budaya dialektika hendaknya lebih dikedepankan untuk mengubah perilaku. Itulah yang membedakan antara manusia dan binatang, yakni terletak pada kesadaran diri. Morning sharing, perlu digiatkan lagi, sebagai wadah dan sarana untuk membangun budaya dialektika.
Setuju, bahwa disiplin bisa ditumbuhkan dari kesadaran diri bukan dari paksaan, tekanan dan ancaman. Namun sayangnya kebiasaan ini terkadang juga msh dilakukan dan di praktikan di dalam rumah tangga masyarakat kita.